KUB Vs Jawara, Ki Jarwo pun Kerasukan Kacapinya Sendiri
Cirebon, 2022, Dini hari yang berbahagia, di jam setengah dua dini hari. Ini saya dari sore diteleponin sama nggak tahu siapa namanya. Dia mau ketemu saya. Dia terkenal jawara.
Saya diundang ke rumahnya. Ya, ada undangan itu sore makan malam ngopi. Ini dini hari 01.30. Saya sih niatnya silaturahmi saja. Salam hormat saya. Bagi saya seduluran selawase. Tidak ada orang hebat tidak ada orang kuat hebat hanya milik Allah
Saya tidak benci spiritual. Saya dukung karena semua dikasih kelebihan sama Allah. Tapi dengan catatan jadilah orang yang khoirunnas anfaun minnas. Jangan buat yang aneh-aneh apalagi untuk aduh pengemprutan, itu saya enggak setuju sekali. Enggak cocok lah.
“Assalamualaikum..(3x) ..Bapak punya telinga?”
“Ya, punya. Gimana sih?”
“Dari tadi saya asslamualaikum nggak dijawab-jawab. Kenapa?”
“Gaak..kamu ganggu aja sih”
“Ganggu kenapa?”
“Kamu maksutnya gimana? Siapa? Darimana kamu?”
“Saya Ujang Bustomi dari Cirebon. Salam silaturahmi, salam hormat. Saya datang ke sini karena diundang Bapak. Tadi ada orang saya yang menghubungi saya bahwa saya diundang sama Bapak. Ada apa ya?”
“Oh, Ujang Busthomi ya?”
“Saya sudah datang di sini. Dari tadi saya dicuekin saja sama Bapak.”
“Pantesan banyak yang ngomong kamu sombong orangnya. Baru tahu, benar omongan teman saya ya namanya Ustaz Ujang Bustomi begini caranya ya”
“Caranya gimana Pak? Kalau saya ada salah, saya mohon maaf. Apa ada yang salah dengan saya? Saya enggak kenal Bapak dan juga enggak kenal saya.”
“Kamu ngomong punya telinga, ya punya saya telinga!”
“Ya, mohon maaf karena dari tadi saya assalamualaikum ngga dijawab. Makanya saya tanya Bapak punya telinga? Wajar kan. Kenapa Bapak langsung marah?”
“Begini caranya kamu ya, enggak sopan banget ya!”
Begini caranya gimana Pak? Mohon maaf sebelumnya kalau saya salah. Saya tidak ada maksud istilahnya untuk menghina atau meledek. Karena dari tadi saya assalamualaikum tiga kali enggak dijawab. Wajar kalau saya bilang punya telinga Bapak? Kan dengan bahasa halus.”
“Jangan banyak ngomong. Gimana, emang kamu punya kelebihan apa?”
“Saya enggak punya apa-apa. Saya hamba Allah yang dhaif (lemah) yang fakir. Saya tidak hebat, saya tidak kuat saya. Saya tahulah Anda di sini semua warga sudah mengenal Anda. Anda orang hebat, anda orang berpengaruh, banyak juga pasiennya, saya tahu! Makanya saya datang ke sini, saya menghormati Anda sebagai senior.”
“Jangan banyak ngomong lah!”
“Jangan banyak ngomong gimana?”
“Teman saya semua risih karena adanya kamu itu. Jadi saya pikirannya enggak karuan. Banyak yang ngomong sama saya.”
“Tapi saya kan enggak mengganggu teman-teman Anda. Enggak ganggu tamu-tamu Anda.” tukas KUB.
“Katanya Anda orang berilmu, orang jagoan, orang luar biasa, makanya saya undang ke sini. Kamu gak tau ya, ini semua di sekelliling saya udah pada bisikin semua nih sama saya.”
“Saya paham Anda punya kelebihan seperti itu. Makanya saya datang ke sini itu apa salah saya? Anda langsung ngomong seperti itu.”
“Begini ya. Biar kamu tahu ya. Kan saya ini sudah ke mana-mana. Ibaratnya saya sudah datangi ujung ke ujung. Tapi saya ini saya sangat tersinggung dengan adanya kamu. Banyak orang yang mengagung-agungkan kamu, banyak yang membicarakan kamu. Saya ini jawara tahu gag? Saya ini kisro ya, asli dari Krowokan Cirebon, tahu enggak? Saya mau melenyapkan kamu. Enggak lama! Satu setengah jam juga udah habis kamu, denger gag kamu?
“Ya saya dengar. Anda keturunan orang-orang hebat, saya paham.”
“Liat tampang kamu aja saya udah muak!”
“Aduh. Salah saya apa Pak? Mohon maaf perkenalkan nama Anda siapa? Biar saya juga kenal”
“Kijarwo kalau mau tau nama saya itu. Titisan langsung dari kisro”
“Oh, iya paham.”
“Semua orang pada tahu sama saya. Dari Indramayu sampai ke seluruh Nusantara tahu nama saya semua. Kamu apa sih ya buat saya?”
“Percaya ..Nah, ini tadi alat apa yang dimainkan. Mohon maaf saya tadi mendengarnya itu ada kekuatan energi”
“Kamu mau tahu alat ini? Ini alat dari Pangeran Krowokan. Ini langsung diserahkan ke saya. Enggak sembarang orang yang menerima alat ini. Alat ini datang sendiri jam 12 malem.”
“Termasuk benda-benda yang di sini semua?”
“Termasuk semuanya!”
“Nah, kalau gitu kan kita ngobrol enak nih pak, diskusi kita nanya-nanya ini barang apa. Kenapa langsung marah-marah sama saya. Saya ini cuma anak kemarin sore. Saya mohon dibimbing. Kalau saya ada salah, nasehatin saya.”
“Sudahlah! Kamu sudah bikin marah saya aja kamu tuh!” Semua laporan sama saya, dengan adanya kamu semua jadi resah, tamu-tamu saya semua tuh jadi resah semua. Makanya saya penasaran pengen ketemu dengan kamu tuh. Keistimewaannya apa sih kamu? Punya kelebihan apa kamu?”
“Saya nggak punya kelebihan apa-apa. Emang anda punya kelebihan apa ?”
(Ki Jarwo masukin rokok menyala ke mulutnya)
“Berarti banyak tamu ke sini ya, ada yang minta antibacok apa segala macam?”
“Wuah jelas! Banyak sekali ke saya semua. Makanya saya gelisah dengan adanya kamu. Saya jujur saja, marah sekali saya sama kamu!”
“Ya, kalau saya salah kan bisa mohon maaf”
“Enggak ada maaf. Kalau masalah itu sih gampang lah. Saya pengen tahu, saya pengen ngetes kamu aja!”
“Kenapa harus sampai dites?”
“Saya penasaran ini, kamu diomongin orang banyak, kelebihannya apa? Kelebihan kamu apa dibanding saya?”
“Saya ngga punya kelebihan apa apa Pak, mohon maaf sebelumnya”
“Kamu berani sama saya?”
“Saya kan datang ke sini cuma mau silaturahmi Pak, kenapa harus ada marah-marah seperti itu?”
“Sok, jadi gimana kamu maunya? Apa kamu mau jadi jagoan di sini?”
“Aduh, yang mau jadi jagoan siapa? Saya datang ke sini saya menghormati Anda. Saya datang ke sini ingin silaturahmi, ngopi bareng, diskusi apa masalahnya.”
“jadi maunya gimana sok sama saya?”
“Maunya gimana apa. Sok duduk lagi. Duduk kita diskusi, ayo ngobrol apa enaknya”
“Saya tersinggung Ini masalahnya!”
“Kesinggungnya apa? Kita garisbawahi, kita jabarkan dulu dari awal, apa tersinggungnya? Saya masih menghormati Anda, saya masih menghormati semua keluarga Anda. Makanya saya jauh-jauh datang ke sini. Sok, apa masalahnya? Kita diskusikan.”
“Semua benda di sini berbisik semua ke saya ini. Pada goyang ke saya gara-gara kedatangan kamu. Kamu mau maksud jelek sama saya ya?”
“Maksud jeleknya apa? Kalau saya bermasud jelek ngapain saya datang ke sini. Kita baik baik saja. Lebih baik kita jalani silaturahmi.”
“Sudah. Ini kamu ini luar biasa ini. Kamu sengaja membawa artmosfir negatif buat saya. Semua benda ini bunyi ke telinga saya ini”.
“Mau bunyi, mau apa, terserah. Wis, gini aja. Sok, gimana enaknya?”
“Gimana enaknya.. gimana enaknya.. Sekarang udah tarung sama saya. Sok, tunjukkan kelebihanmu!”
“Udah duduk dulu santai. Bapak kan punya pusaka, silahkan ambil pusakanya. Tes, suara apa yang ada di sini. Kan Bapak orang sakti, orang hebat, ambil pusakanya saya mau tahu.”
“Kamu enggak tahu siapa saya berarti ya!”
“Saya sudah tahu. Saya sudah paham. Makanya saya datang ke sini. Semua warga juga tahu dan segan sama anda”
“Banyak ngomong kamu lah! Kurang ajar..”
“Kamera nggak apa-apa di-shooting aja!”
(bawa keris pusaka dan mau cabut keris dari sarungnya), tapi..
“Berarti kamu memang mau menguji saya ya! Biasanya saya bisa tarik pusaka ini, tapi sekarang nggak bisa saya tarik ini. Gimana ini. Kamu ngerjain saya berarti ya!”
“Ngerjain gimana? Bapak duduk dulu kita ngobrol diskusi lagi. Saya masih menghormati Anda semuanya, sok gimana?”
“Kamu yang jelas sudah menyinggung perasaan saya. Saya ini sudah ke mana-mana ya, enggak ada orang seperti kamu itu, berani mengusik saya! Anak buah saya seluruhnya pada ngomong sama saya. Mereka mengadu sama saya, yang namanya Ustaz Ujang Bustomi itu pengen tahu apa kelebihannya. Kalau kamu memang sudah siap oke, tarung sama saya!”
“Duduk dulu. Kita belum selesai diskusi. Santai. Dinginkan suasana. Duduk dulu lagi. Kita main musik saja. Enak kan?” (KUB petik kecapinya)
“Wey! Jangan asal pegang-pegang. Enggak sembarangan orang asal pegang ini. Ini punya Kyai Kasdim dari Krowokan. Nggak boleh asal pegang kamu! Kamu kok ngga sopan sih!”
“Iya, sok makanya Anda main musik, saya akan mendengarkan. Biar saya merasakan.”
“Enggak usahlah. Enggak usah diatur-atur kayak gitu”
“Ya, makanya sok dengan kepala dingin kita. Sudah punya anak berapa Bapak? Istri punya berapa?”
“Banyaklah..”
“Oh, istrinya banyak..”
“Enggak usah banyak ngomong masalah itu. Kita selesaikan saja. Takut nggak kamu sama saya?”
“Tamu kebanyakan di sini minta apa, Pak?”
“Ya, macam-macam..Semuanya juga udah terbukti!”
“Di antaranya minta apa, Pak?”
“Ya, ada yang minta pelet, ada yang minta naik pangkat. Semuanya minta ke sini!”
“Pejabat banyak yang ke sini ya. Banyak artis-artis”
“Terus maunya gimana kamu? Kayak wartawan aja nanya-nanyain saya”
“Iya kita kan ngobrol diskusi dulu. Bapak belajarnya dari mana semua itu?”
“Nggak perlu tahu!”
“Saya belajar banyak dari kecil. Turun temurun dari kakek saya!”
“Oh, turunan. Dulu orangtua juga punya kelebihan seperti ini ya. Bapak ini meneruskan berarti?”
“Meneruskan dari kakek saya langsung!”
Berarti turunan orang-orang hebat yah?”
“Pastilah! Kalau dibandingkan sampean, menurut saya nggak ada apa-apanya sampean!”
“Ya, kan Anda keturunan orang-orang hebat. Tentunya Anda juga hebat. Gimana kalau kita mengedepankan akhlak yang baik, kan begitu? Kita diskusi, persaudaraan, kita saling melengkapi, kan begitu..”
“Nggak usah khotbah sama saya lah. Udah jangan banyak bicara kamu, hah!”
“Duduk-duduk dulu..kalau begitu Anda maunya gimana?”
“Saya pengen tahu kelebihan kamu!”
“Oke, saya terima. Sekarang mau gimana? Di sini? Saya tungguin langsung atau gimana?”
“Oke! kamu jangan lari ya!”
“Oke, saya tunggu di sini!”
Tunggu dulu aja, dari tadi marah-marah aja. Saya sih enggak apa-apa di sini nungguin dia mau ritual apa. Saya tungguin biar clear masalah ini.
KUB menunggu Kijarwo, sambil mengajak ngobrol pasien Ki Jarwo. Lantas, Ki Jarwo pun kembali dari dalam ruangannya.
“Yah, gimana bah?” tanya KUB.
“Ngomong apa kamu sama tamu saya?”
“Saya kenalan aja. Kebetulan kan beliau pasien”
“Kenalan kayak sama cewek aja, gimana kamu! Itu pasien saya, kamu jangan ganggu! Nanti kamu macem-macem lagi”
“Oh, saya nggak macam-macam. Tenang aja. Gimana diskusinya? Jadi gimana, lanjut?”
“Jangan ngomong aja kamu lah!”
“Jangan ngomong aja gimana, ya kan tadi katanya tunggu, lanjut tidak?”
“Pasti lanjut lah! Sekarang gini aja udah. Kamu sekarang saya tes sama saya, pengin tahu ini saya, yang sebenarnya kamu kekuatannya seperti apa. Saya tes sekarang, saya coba, dengan adu ilmu sama kamu!”
“Oh, begitu. Silahkan”
“Kamu bikin rese aja!” (mainkan kacapi)
a Few Moment Later
“aahhh… Cukup.. cukup-cukup!”
“Gimana, Pak? Kalau saya salah mohon maaf”
“Memang bener sesuai dengan pembicaraan teman saya, ya. Sampean punya kelebihan. Sekarang saya sudah anggap sampean saudara. Bener-bener omongan temen-teman sama pasien-pasien saya.”
“Saya tidak kuat, saya tidak hebat. Saya mohon maaf kalau saya salah”
“Kita juga mohon maaf Pak Ustadz. Ternyatak kita salah paham mohon maaf yah!”
“Kita ngobrol enak, diskusi”
“Iya, mohon maaf ya ini …”
“Sama-sama mohon maaf”
“Tadi saya emosi, Pak Ustadz. Karena informasi dari teman saya ya kan, pikir saya enggak seperti ini, ternyata benar. Sekarang saya akui, saya salut. Mohon maaf sekali ya
“Kalau boleh tahu ini (hiasan dinding) apa?”
“Ini Macan Ali. Ini kenangan dari daerah seberang”
(Macan Ali dapat merujuk pada Laskar Agung Macan Ali, paguyuban silaturahmi, atau istilah yang merujuk pada Sayyidina Ali).
“Tadi ngelihat di sana.. Saya sangat tertarik sekali itu, apa ini? Auranya luar biasa sekali”
“Ini Berokan Radang, termasuk Bengberokan primitif. Itu gamelan dari Krowokan”
“Kalau ini kotak apa?”
“Ini dulunya ya kotak uang, kotak emas”
“Itu saya tadi tertarik kecapi itu. Ketika dimainkan itu mengandung suara-suara yang saya sampai hampir telinganya itu sakit. Boleh saya memainkan?”
“Silahkan..” (KUB mainkan kecapi, Abah kerasukan)
“Assalamulaikum, ini siapa?” Kenapa? Saya mengganggu?
“Mengganggu..”
“Mohon maaf kalau saya mengganggu”
“Kamu sangat menggangu!”
“Ya, mohon maaf. Anda siapa? Penunggu di sini? Wujud Anda seperti apa?
“Angin..”
“Apa hubungan Anda dengan abah ini?”
“Anak cucu saya. Jangan ganggu!”
“Oh begitu ..Saya tidak mengganggu, salam hormat saya, salam silaturahmi saya. Sampaikan kepada anak cucu Anda tolong taburkan kebaikan. Saya tidak ada niat apa-apa, yang penting niatnya silaturahmi.”
“Terima kasih. Jangan ganggu”.
“Saya tidak ganggu. Assalamualaikum”
“Wa alaikumsalam”
“Stop, Pak” pinta Ki Jarwo.
“Ini luar biasa. Ketika saya mainkan kecapi ini pasti ada yang kesurupan. Khodam-khodam di sini luar biasa. Mudah-mudahan silaturahmi kita terus terjalin erat. Doakan saya dan saya selalu mendoakan sampean. Saya tidak hebat, saya tidak kuat. Hebat kuat hanya milik Allah.”
“Saya mengakui ini, jujur saja. Ini bukan informasi angin atau semacam omongan bualan. Tapi saya tahu sendiri. Makanya saya salut lah.” sahut Ki Jarwo.
“Yang penting saya doakan semoga sampean panjang umur, banyak rezeki. tamu-tamunya makin banyak dan tetap Istiqomah serta menjadi orang yang khoirunnas anfaum min nas ala kulihal. Salam buat keluarga dan mudah-mudahan saya bisa silaturahmi lagi. Mohon maaf kalau saya salah dan kalau ada kata-kata yang menyinggung. Nanti kapan-kapan saya main ke sini lagi. Assalamualaikum.”
Jadi, yang penting saya sudah jalin silaturahmi. Yang penting tidak ada masalah lah. Biar kita ada win-win solution. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.***