BALEBANDUNG – Hati-hati bagi warga yang merasa sering membuat polisi tidur sembarangan. Pemerintah menyatakan pemasangan polisi tidur yang tidak sesuai aturan bisa dipidana.
Aturan ini dilatarbelakangi atas banyaknya pemilik kendaraan bermotor yang mengeluh banyaknya polisi tidur yang dibangun di jalan-jalan tertentu. Bahkan sejumlah polisi tidur yang dibuat terkesan terlalu besar dan tinggi serta tajam, sehingga berpotensi menyebabkan kecelakaan pengendara dan mengakibatkan bagian bawah kendaraan rusak.
Bukan itu saja, keberadaan polisi tidur yang banyaknya keterlaluan di suatu ruas jalan juga kerap dikeluhkan bagi orang yang mengidap penyakit di bagian perut dan dada, termasuk ibu-ibu hamil.
Aturan Bikin Polisi Tidur
Aturan tetaplah aturan, bukan berarti membela kepentingan warga permukiman atau komplek perumahan, lantas tidak peduli pada masyarakat dan pengguna jalan yang lain.
Namun ini menyangkut nyawa seseorang, terutama buat pengendara sepeda motor dengan dua roda yang bergantung pada keseimbangan. Pada banyak kasus, pesepeda motor terjatuh sebab tidak siap “tersandung” polisi tidur “gaib” yang bikin kaget.
Padahal sebenarnya kelengkapan tambahan jalan itu juga wajib dibuat sesuai aturan dan memperhatikan keselamatan pengguna jalan seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor: KM.3 Tahun 1994 Tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan.
Diatur dalam Kepmenhub No 3/1994, untuk ukuran polisi tidur, dimensi tinggi 12 cm, dengan lebar ke atas 15 cm, dan kemiringan 15% atau 13,5 derajat.
Umumnya di jalan-jalan banyak sekali ditemui polisi tidur gadungan yang berpotensi bikin celaka. Pertanyaan besar pertama apa fungsi sebenarnya polisi tidur seperti itu. Lantas pertanyaan kedua, siapa yang buat?
Jika tujuannya agar pengemudi kendaraan bermotor melambat itu tepat, tapi jadi salah kalau dibuat tanpa izin karena pemerintah punya manajemen dan rekayasa lalu lintas. Selain itu, karena tidak memerhatikan acuan desain resmi malah bentuk dan posisinya jadi penyebab kecelakaan.
Hal itu berlaku bukan hanya untuk jalan arteri, tapi juga sampai ke jalanan sekitar perumahan atau komplek yang termasuk jalan kelas IIIC. Definisi kelas IIIC yakni jalan lokal yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak lebih dari 2,1 m, panjang 9 m, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan delapan ton.
Pada beberapa kondisi, jalan perumahan dibuatkan banyak polisi tidur atas keputusan warga. Alasan pembuatan bisa macam-macam, tapi paling sering perihal kecepatan kendaraan dan bising kendaraan yang mengganggu. Sekali lagi, hal ini tidak dibenarkan bila melanggar aturan.
Bisa Dituntut Denda & Penjara
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejumlah komplek-komplek di perumahan dan jalan-jalan kecil masih banyak ditemui polisi tidur atau speed bump yang dipasang secara sembarangan.
Banyak kita jumpai polisi tidur dibuat sangat tinggi dengan jarak antar satu dengan yang lain yang tak berperikemanusiaan. Padahal peraturan pembuatan polisi tidur telah tertulis dalam undang-undang.
Ada dua pasal yang mengatur pembuatan polisi tidur di jalan-jalan tertentu. Telah tertulis jika polisi tidur telah dijamin pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 25 ayat (1) soal Perlengkapan Jalan.
Namun pembuatan polisi tidur pun harus mendapat izin dari pihak yang berwenang sesuai dengan UU pasal 27 ayat (2), bahwa ketentuan mengenai pemasangan perlengkapan jalan pada jalan lingkungan tertentu diatur dalam peraturan daerah.
Khusus untuk wilayah Kabupaten Bandung, pembuat “polisi tidur gadungan” bisa dilaporkan. Sebab ketentuannya diperkuat Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bandung Nomor 5/2015 tentang Penyelenggaraan Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat. Dalam Perda tersebut polisi tidur tertulis tanggul pengaman jalan.
Perda Kab Bandung No 5/2015 pada BAB II tentang Tertib Jalan, Angkutan Jalan, dan Angkutan Sungai Pasal 5 ayat 1 butir f, berbunyi; “Setiap orang dilarang memasang tanggul pengaman jalan.”
“Polisi tidur itu sebagai pengingat apa malah bikin celaka pengguna jalan? Seharusnya memang ada sosialisasi berkesinambungan dari dinas terkait, sebab tidak semua RT atau RW paham (soal aturan polisi tidur),” kata anggota DPRD Kabupaten Bandung Dadang Supriatna.
Menurut Dadang, “polisi tidur gadungan” yang berbahaya bisa dilaporkan lebih dulu ke pihak RT dan RW untuk mendapat penjelasan soal izin. Setelah itu laporan bisa diteruskan ke pihak berwenang.
Bila segala jalan telah ditempuh, kata Dadang, termasuk melapor ke RT dan ingin menyelesaikan secara kekeluargaan, tetapi tidak ada penyelesaian, laporan bisa ditujukan kepada penegak Perda yakni Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selaku penegak Perda.
UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Telah disiapkan pula ketentuan pidana bagi yang melanggar Pasal 28 ayat (1) dan (2) dengan ancaman hukuman pidana. Sebagaimana diterangkan dengan rinci pada Pasal 274 dan 275 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu,
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24 juta.”
Kemudian pada pasal 275 ayat 1 tertulis, “Siapapun yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Fasilitas Pejalan Kaki dan Alat Pengaman Pengguna Jalan, akan dikenai sanksi kurungan paling lama satu bulan dan denda paling banyak Rp 250 juta.” Nah, lho! [iwa]