BANDUNG – Bandung bisa disebut Kota Cagar Budaya. Ribuan artefak peninggalan sejarah, khususnya pada zaman kolonial, bertebaran di hampir seluruh penjuru kota. Pada tahun 2010, pemerintah pusat mencatat ada 100 cagar budaya yang wajib dilindungi di Bandung.
Di tahun 2016, melalui Peraturan Wali Kota, Pemerintah Kota Bandung menambah jumlah bangunan yang diproteksi sebanyak 271 unit. Wali Kota Bandung M. Ridwan Kamil bahkan berencana untuk menambahi lagi 1.500 cagar budaya untuk diproteksi.
Hal itu disampaikan walikota saat jadi pembicara dalam Simposium Nasional Pelestarian Cagar Budaya di Hotel Prama Grand Preanger Hotel, Kamis (30/11/17). Di hadapan para ahli cagar budaya se-Indonesia, Ridwan memaparkan kemajuan perlindungan cagar budaya yang pemkot lakukan di Bandung.
“Bandung adalah kota yang istimewa. Dilihat dari sejarah, Bandung ini kota baru. Kita tidak punya tradisi kerajaan seperti di Yoyakarta, juga tidak tumbuh dari tradisi keagamaan seperti di Bali. Bandung ini adalah melting pot, pertemuan dari berbagai budaya, sehingga menjadi kota yang multikultural,” papar Ridwan.
Ia menjelaskan, sejarah dan budaya adalah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di dalam sebuah kota, keduanya melebur membentuk identitas dan wajah dari tempat tersebut.
Di sisi lain, pemerintah dihadapkan pada kebutuhan pembangunan kota yang juga memiliki tujuan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyatnya. Hal itu membuat pemerintah perlu membuat kebijakan agar kebutuhan tersebut bisa beriringan dengan perlindungan cagar budaya.
Oleh karena itu, ia mengupayakan agar pengelolaan cagar budaya itu juga bisa meningkatkan nilai ekonomi situs tersebut melalui berbagai kebijakan. Seperti halnya ia mendesak kepada sektor swasta yang membangun bisnisnya di kawasan kota tua untuk menyesuaikan tema bangunan dengan lokasinya.
“Cagar budaya itu fisiknya dipertahankan, isinya boleh silih berganti. Seperti Gedung Concordia itu kan tempat entertainment, jadi Gedung Merdeka, tidak masalah. Yang penting wajahnya, kualitas fisiknya jangan dirusak,” kata pria yang mendalami ilmu arsitektur dan tata kota itu.
Simposium tersebut memang dirancang untuk mempertemukan para ahli dan pemerhati cagar budaya untuk saling berbagi dan berdiskusi tentang isu terkini pengelolaan cagar budaya. Simposium selama dua hari itu akan berujung pada pemberian rekomendasi kepada pemerintah daerah tentang bagaimana menyinergikan kebijakan tata ruang kota dengan perlindungan cagar budaya.
Ketua Panitia Simposium Pelestarian Cagar Budaya Nasional Aji Bimarsono mengungkapkan pertemuan semacam ini sangat penting, sebab Indonesia yang kaya budaya ini tengah berhadapan dengan dinamika pembangunan, sehingga mengalami tingkat kompleksitas yang tinggi dalam upaya pelestarian budaya itu.
“Tim Ahli Cagar Budaya sebagai kelompok ahli yang dibentuk oleh pemerintah untuk membantu memberikan pertimbangan teknis dalam penetapan dan pengelolaan cagar budaya, diharapkan dapat menjadi ujung tombak yang menjadi mitra pemerintah dalam mengelola dan melestarikan cagar budaya yang beraneka ragam ini, serta menjadi jembatan bagi kemitraan atau kerja sama dengan masyarakat,” terang Aji.
Ia menyebut, ada tiga isu utama yang dibedah dalam simposium ini, yakni bidang cagar budaya arkeologis, cagar budaya perkotaan, dan cagar budaya vernakular. Cagar budaya arkeologis tengah berada pada permasalahan pencurian artefak dan interpretasi tentang kesejarahan.
Sementara itu, cagar budaya perkotaan harus menghadapi masalah kepentingan bisnis dan tekanan pembangunan yang berpotensi menghancurkan kawasan dan bangunan cagar budaya kota. Isu kedua ini juga membahas tentang kawasan cagar budaya yang ditinggalkan akibart permasalahan ketidaksesuaian dengan kebutuhan masa kini.
Sedangkan cagar budaya vernakular fokus pada permasalahan penggunaan standardisasi masa kini yang kurang mengindahkan kearifan lokal, serta menguak tantangan untuk mempertahankan tradisi dalam kehidupan modern.
“Cagar budaya dengan jenis yang berbeda menghadapi permasalahan utama yang berbeda pula dalam upaya pelestariannya. Penggalian terhadap isu-isu utama dan aktual pelestarian cagar budaya diharapkan dapat membuka wawasan terhadap aspek-aspek apa saja yang perlu diantisipasi dan ditangani, baik oleh TACB secara khusus, maupun pelaku-pelaku pelestarian cagar budaya pada umumnya,” tandasnya.