Rabu, November 27, 2024
spot_img
BerandaBale JabarPertumbuhan Ekonomi 2017 Cenderung Stagnan

Pertumbuhan Ekonomi 2017 Cenderung Stagnan

Anggota DPR RI Komisi XI Fraksi PAN Ahmad Najib Qodratullah,SE.
Anggota DPR RI Komisi XI Fraksi PAN Ahmad Najib Qodratullah,SE.

BALEBANDUNG – Buruknya prediksi serta antisipasi terhadap fenomena alam yang beriringan dengan data-data hasil kinerja pemerintah dalam bidang ekonomi, sepertinya menunjukan kalau tahun 2017 betul-betul tahun suram bagi perekonomian kita.

Bencana berkepanjangan di berbagai wilayah tidak hanya akan berdampak pada ekonomi masyarakat setempat, tetapi juga ekonomi nasional sehingga pemasukan negara pun akan tersendat. Cuaca ekstrem di pusat-pusat produksi pangan di Jawa, tentu akan berimbas pada produksi beras. Pada akhirnya harga beras naik, memicu inflasi, jumlah warga miskin meningkat dan mengganggu keseimbangan moneter.

Begitu juga bila kita melihat data-data capaian pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017 diperkirakan hanya akan berada di angka 5,05%. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di angka 5,02%, angka ini bisa dikatakan stagnan.

Sepanjang 2017 pun pemerintah berulangkali merevisi target pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan karena konsumsi rumah tangga yang jadi motor perekonomian, hanya mencapai angka 56% terhadap PDB, tumbuh di bawah ekspektasi. Tutupnya beberapa ritel dan kecenderungan masyarakat menahan belanja dan mengalihkan uangnya ke simpanan perbankan, menjadi pertanda konsumsi memang sedang mengalami tekanan.

APBN yang diharapkan menjadi trigger pertumbuhan ekonomi nasional, juga ternyata bermasalah. Tidak hanya karena kualitas belanja Kementrian dan Lembaga, tetapi juga setoran pajak yang terus meleset dari target. Per Oktober 2017, setoran pajak yang masuk baru Rp 869,6 triliun atau 67,7% dari target. Ada selisih Rp 369 triliun yang harus dicapai dalam waktu hanya dua bulan.

Stagnannya pertumbuhan ekonomi juga bisa dilihat dari lesunya output industri manufaktur. Lebih dari 14% tenaga kerja terserap di sektor industri manufaktur. Sementara porsi industri manufaktur terhadap PDB terus menurun dari 27% pada awal reformasi menjadi 19% di triwulan III 2017.

Begitu juga dengan data-data dari dunia perbankan. Pada tahun 2017 ini, Bank Indonesia sudah dua kali merevisi target pertumbuhan kredit. Semula Bank Indonesia mentargetkan pertumbuhan kredit sebesar 12%, lalu direvisi pada Agustus menjadi 8-10% dan terakhir direvisi kembali pada November menjadi 7-9%. Kredit perbankan yang tidak tumbuh pesat mencerminkan kegiatan ekonomi yang melamban.

Data lain perbankan juga menunjukan hal yang sama. Hingga akhir Oktober, jumlah kredit yang harus diatur ulang jadwal pembayarannya sudah mencapai Rp 267,6 triliun. Sebagai perbandingan, pada akhir 2012 posisinya masih berkisah Rp 50 triliun. Hal ini menunjukan betapa beratnya iklim usaha bagi banyak korporasi sehingga mereka kesulitan membayar utang dan bunganya tepat waktu. Masalah bertambah berat ketika BI rate juga tidak menunjukan angka yang bersahabat bagi pengusaha dan penurunannya berjalan lambat.

Harapan sempat datang dari sektor ekspor yang meningkat 17% sepanjang Januari-November 2017. Hanya masalahnya impor juga tumbuh 15,4% sehingga pertumbuhan net ekspor hanya tinggal 1,6%. Harapan lain juga sempat muncul dari rancangan pembangunan infrastruktur yang targetnya sangat ambisius mencapai 18,6% dari total belanja di APBN.

Ada 245 Proyek Strategis Nasional hampir mencakup seluruh infrastruktur dasar, pembangkit listrik, jembatan, jalan tol, bendungan dan pelabuhan. Hanya faktanya realisasi pembangunan infrastruktur berdasarkan data Komite Percepatan Pembangunan Infrastruktur baru mencapai 2% dari target. Begitu juga dengan mega proyek 35 ribu MW listrik yang baru selesai 2% saja.

Di sisi lain, besarnya alokasi untuk infrastruktur, ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat penyerapan tenaga kerja. Per Agustus 2017, penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi hanya sebesar 6,73% lebih rendah dari periode yang sama dengan tahun sebelumnya sebesar 6,74%. Bahkan di tahun 2016, serapan tenaga kerja sektor konstruksi berkurang 230 ribu orang.

Di samping BI harus menerapkan suku bunga yang bersahabat bagi dunia usaha, maka pada tahun 2018 ini pemerintah mau tidak mau harus mau merevisi beberapa target juga strateginya. Seperti pada beberapa proyek ambisius pemerintah terhadap infrastruktur. Dari 245 proyek strategis nasional, harus betul-betul dievaluasi yang benar-benar feasible untuk dikerjakan dan memberi dampak langsung ke perekonomian.

Bahwasannya infrastruktur itu adalah hal yang penting dan menjadi variable utama turunnya global competitiveness Indonesia, itu bukan hal yang perlu diperdebatkan lagi. Tetapi ketika infrastruktur ternyata tidak berefek pada pertumbuhan ekonomi nasional, maka pemerintah harus bertanya apa yang salah dalam proyek infrastruktur itu.

Sebagai gambaran kekeliruan pemerintah dalam rancangan pembangunan infrastruktunya adalah ketika pemerintah berkali-kali membandingkan infrastruktur Indonesia dengan China. Jalan tol China sudah mencapai 280 ribu km, sementara jalan tol Indonesia baru 820 km. Tetapi pemerintah abai terhadap perbedaan signifikan antara jalan tol yang dibangun di China dengan di Indonesia.

China di masa Den Xiaoping pada tahun 1984, membangun infrastruktur untuk menunjang proyek industrialisasi dengan konsep kawasan ekonomi khusus. Jalan tol bukan untuk mobilitas orang tapi mendorong biaya logistik barang industri supaya lebih murah dan mudah.

Sebaliknya, pembangunan infrastruktur di Indonesia dimulai dengan kondisi pemanfaatan industri manufaktur yang belum siap. Jalan tol dan rel kereta dibangun tapi tidak berkaitan dengan jalur distribusi di kawasan industri. Ground Breaking jalur kereta ke Tanjung Priok pada tahun 2015 tidak ada kabarnya lagi sampai sekarang. Kawasan ekonomi khusus dibangun, namun kawasan industri yang sudah ada kurang mendapat perhatian. Ada keterputusan dalam proyek pembangunan pemerintah.

Pemerintah mesti fokus pada infrastruktur padat karya sehingga alokasi APBN yang begitu besar terhadap infrastruktur bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.

Begitu juga dengan proyek pembangkit listrik 35 ribu MW. Tidak masuk akal bila terus dilanjutkan karena asumsi awalnya menggunakan pertumbuhan ekonomi di angka 7%, sementara faktanya dalam jangka waktu dekat pertumbuhan angka 7% sulit untuk diwujudkan. Selain itu, produksi listrik sudah over supply mencapai 5-8 giga watt dan itu memberatkan PLN. Proyek mubazir seperti ini mau tidak mau harus dikaji ulang.

Hal mungkin yang perlu menjadi perhatian di tahun 2018 adalah pertumbuhan ekonomi digital. Di luar negeri, sektor ini menjadi penawar kelesuan ekonomi global, sekaligus menjadi magnet baru pengerek investasi. Gelita ekonomi digital, menjadi penawar terhadap kecemasan harga komoditas yang sedang labil.

Pada tahun 2015, orang berbelanja online baru 7,4 juta jiwa dengan nilai transaksi Rp 48 triliun. Tahun lalu angka ini naik menjadi 11 juta dengan total transaksi Rp 68 triliun. Tahun ini, ditaksir total transaksi mencapai 95,48 triliun. Sementara trend investasi ekonomi digital sampai kuratal I 2017 mencapai Rp 40 triliun, peringkat ketiga setelah minyak dan tambang.

Padahal menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pada tahun 2016 jumlah pengguna internet di Indonesia ada 132,7 juta orang atau 52% masyarakat Indonesia, di mana 98,6% nya sudah tahu internet bisa dipakai untuk jual beli barang dan jasa dan 63,5% sudah melakukan transaksi online. Angka ini tentunya pasti akan bertambah pesat terlebih ketika proyek Palapa Ring akan selesai di tahun 2019. by Ahmad Najib Qodratullah, SE (Anggota DPR RI Komisi XI Fraksi PAN)

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img