RANCAEKEK – Di Kecamatan Rancaekek ada namanya Jalan Radio, tepatnya di Jalan Raya Rancaekek-Majalaya, Kampung Rancabatok, Desa Rancaekek Wetan, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Di sekitar Jalan Radio itu ada sebuah bangunan bersejarah, merupakan gedung bekas stasiun PENERIMA radio gelombang pendek (SW, short wave) pada jaman penjajahan Belanda bernama NIROM (Nederlands Indische Radio Omroep Maatschappij, Maskapai Radio Penyiaran Hindia Belanda).
Stasiun Radio Penerima di Rancaekek, ditujukan untuk menerima siaran dari Stasiun Pemancar di Dayeuhkolot dan Stasiun Malabar. Nih, alur ceritanya;
Pada 1908-1916, seorang pria Belanda, Raymond Sircke Hessilken, merintis area untuk pembangunan kantor radio yang diawali dengan pembebasan lahan seluas 17 hektare di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung, sekarang Kabupaten Bandung Barat.
Pada 1916 dibangun Gedung Telepoonken Cililin KBB, yang ternyata siarannya sering terganggu, karena letaknya berada di lembah.
Pada November 1918, Raymond memperluas area dengan menambah sekira 10 hektare. Di dataran paling tinggi, dipasang antena PEMANCAR radio. Siaran radio di sana bisa ditangkap sampai Eropa dan Amerika. Lewat saluran radio itulah para penjajah Belanda berkomunikasi dengan negaranya.
Pada 1923, Gedung Telepoonken Cililin dipegang dan dioperasikan Sukinta, petugas Telepoonken pindahan dari Manokwari. Saat itu, dibangun tiga bangunan pendukung dan gedung bawah tanah untuk menaruh generator.
Tahun 1924, Telepoonken berubah nama jadi Radio Nirom. Namun, Radio Nirom ternyata kurang berfungsi dengan baik. Pemancar dan penerima radio dan berbagai peralatan di sana kemudian dipindah ke Rancaekek dan Dayeuhkolot.
Setelah berbagai peralatan dipindah, gedung radio Nirom di Cililin praktis tidak berfungsi lagi. Radio Nirom yang baru kemudian beroperasi di kawasan Gunung Puntang yang kini masuk Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung melalui tangan Dr. Ir. De Groot. Dari Stasiun Relay Gunung Puntang ini didirikan stasiun penerima di Alun-alun Bandung, Dayeuhkolot, dan Rancaekek.
Pada Maret 1927, stasiun penerima di Rancaekek MENERIMA sebuah pancaran dari laboratorium Philips di Eindhoven pada gelombang pendek. Di situ berdiri antena menjulang sekitar 75 meter.
Pada tanggal 18 Juni 1927 berdirilah PHOHI (Phillips Omroep Holland Indie), yang menyelenggarakan siaran-siarannya dari Huizen.
Tidak banyak diceritakan tentang Stasiun Penerima Radio Nirom di Rancaekek ini. Sebab yang lebih melegenda adalah radio pemancarnya (stasiun relay) di Gunung Puntang Cimaung Kab Bandung yang lebih dikenal dengan Station Radio Malabar.
Segera sesudah beroperasinya stasiun relay di Malabar, mulai bermunculanlah kelompok-kelompok pendengar baik dari kalangan orang-orang Belanda yang tinggal di sini maupun dari lingkungan Bumiputera sendiri. Dari hanya sekedar kelompok pendengar, lama kelamaan timbul keinginan untuk mendirikan stasiun radio siaran sendiri, yang tentunya bisa diisi dengan program yang lebih sesuai dengan kondisi di negeri ini.
Di kota-kota besar, mereka ini mendirikan perkoempoelan (kelompok) radio siaran yang pada umumnya beranggotakan tidak lebih dari beberapa ratus orang, yang secara patungan (bersama-sama) mengumpulkan dana untuk membiayai siaran-siaran mereka.
Keinginan untuk mempunyai jaringan penyiaran sendiri juga tersalurkan lewat berdirinya NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij), yang didirikan pada tahun 1928 di Amsterdam (walaupun operasinya di Hindia Belanda). Stasiun NIROM yang pertama dibangun di Tanjung Priok pada 1 April 1934, dengan pemancar berkekuatan 1 kW.
STASIUN RADIO MALABAR adalah pemancar radio yang digunakan untuk komunikasi pertama kali antara Belanda dan tanah jajahannya di Hindia Belanda yang dirintis oleh Dr. de Groot, seorang sarjana teknik lulusan Universitas Delft di Belanda.
Dalam uji cobanya, kalimat yang terdengar pertama kali dari negara Kincir angin itu adalah “Halo-Halo Bandoeng”, sehingga menginspirasi Ismail Marzuki untuk menggubah lagu pembangkit semangat “Halo Halo Bandung”.
Stasiun Radio Malabar merupakan sebuah mega proyek pemerintah Hindia Belanda saat itu. Sebuah pemancar radio yang sangat fenomenal karena antena yang digunakan untuk memancarkan sinyal radio memiliki panjang 2 Km, membentang di antara gunung Malabar dan Halimun dengan ketinggian dari dasar lembah mencapai 500 meter. Sulit untuk dibayangkan bagaimana cara mereka membangun dengan menggunakan teknologi yang ada pada masa tersebut.
Ada bagian dasar lembah, dahulu terdapat suatu bangunan yang cukup besar yang berfungsi sebagai stasiun pemancar guna mendukung komunikasi ke negeri Belanda yang berjarak 12.000 km. Uniknya, mereka bisa mendapatkan lokasi yang sangat ideal, karena arah propagasi struktur antena tersebut memang menuju Negara Kincir Angin terebut. Terlebih tempat ini cukup tersembunyi.
Stasiun ini adalah murni pemancar, sedangkan penerimanya ada di Padalarang (15km) dan Rancaekek (18km).
Hebohnya lagi, karena teknologinya masih boros energi, Belanda membangun PLTA di Dago, PLTU di Dayeuhkolot, dan PLTA di Pangalengan, lengkap dengan jaringan distribusinya hanya untuk memenuhi kebutuhan si pemancar ! Pemancar ini antara lain masih menggunakan teknologi kuno yaitu busur listrik (Poulsen) untuk membangkitkan ribuan kilowat gelombang radio dengan panjang gelombang 20 km s/d 7,5 km.
Selain bangunan utama berupa stasiun radio pemancar, pada area Gunung Puntang ini dahulunya juga terdapat perkampungan yang dihuni oleh awak stasiun pemancar dengan fasilitas yang cukup lengkap. Perkampungan yang dikenal dengan Kampung Radio (Radio Dorf) ini juga dilengkapi rumah-rumah dinas petugas, lapangan tenis, bahkan konon gedung bioskop juga tersedia di masa tersebut.
Namun sayang, sekarang hanya tinggal reruntuhannya saja, karena bahan bangunan semi permanen (setengah tembok dan setengah kayu). Ada penuturan saksi, bangunan itu sengaja dihancurkan karena dianggap sebagai sarang spionase pada zaman perang kemerdekaan.
Adalah Djaka Rubijanto, pernah bekerja di Stasiun Radio Penerima Telkom di Rancaekek, Bandung. “Salah seorang teman kerja saya yang lebih senior, H.Entang Muchtar (alm) sebelumnya pernah bekerja di Stasiun Radio Pemancar Malabar (Gn. Puntang), bercerita bahwa demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan, ia terpaksa menjalankan tugas untuk menghancurkan stasiun radio tersebut, sebagai politik bumi hangus, agar tidak dimanfaatkan oleh NICA,” tutur Djaka. [] by iwa ahmad sugriwa