SUMEDANG – Sedikitnya 158 santri mualaf asal Timor timur di Kampung Babakan Mulia, Desa Gunung Manik, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, dalam kondisi memprihatinkan. Mereka harus hidup dari serba kekurangan makanan dan fasilitas pesantren yang apa adanya.
“Kami orang miskin. Kami rela berpisah dari keluarga kami di Timor timur demi Indonesia, walaupun kami hingga hari ini diabaikan pemerintah Indonesia,” ucap H Hasan Basri, Kamis (15/3/18).
Hasan Basri adalah seorang mualaf dari Timor timur pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Latiful Muhtadin di Kampung Mualaf, Dusun Babakan Mulia, Desa Gunung Manik, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Pada 1 Januari 1995, ia memutuskan memeluk Islam di tengah-tengah gejolak Timor timur yang ingin berpisah dari Republik Indonesia (RI).
Hingga akhirnya konflik itu mencapai puncak dan Timor timur memerdekakan diri, Hasan Basri memilih tetap menjadi warga negara Indonesia (WNI). Pada 1999, ia dan sejumlah sanak saudara serta kawan sejawat hijrah ke Sumedang untuk mencari suaka. Di tahun itu pula Hasan Basri mendirikan pondok pesantren menampung anak-anak dari Timor timur untuk melanjutkan hidup.
“Sampai sekarang kadang-kadang kami sehari makan nasi lalu sehari besoknya tidak makan nasi, dan hanya makan singkong pemberian dari kebun warga sekitar. Kadang-kadang juga anak-anak santri menunggu saya pulang hingga malam dan berharap membawa nasi baru bisa makan,” ungkap Hasan Basri, lirih.
Kini Hasan Basri memiliki tanggung jawab besar bagaimana agar 158 santri di pondoknya bisa hidup dan terus belajar. Dari 158 santri tersebut hampir seluruhnya yakni 150 orang adalah anak-anak dari Timor timur, sisanya dari Makassar, Palembang, Batak Kristen, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jawa Barat seperti Garut dan Ciamis. Kebanyakan mereka sudah tinggal di pondok 3-17 tahun.
“Tapi kami sadar ini adalah salah satu bentuk perjuangan kami menegakkan Islam. Sudah menjadi keputusan kami untuk tetap tinggal dan mencintai Indonesia,” ungkap Hasan Basri dengan suara tegas namun lembut.
Seiring waktu, pondok pesantren yang dipimpinnya pun berkembang. Karena banyaknya santri dan anak-anak yang sudah tidak memiliki orang tua, maka pondoknya pun menjadi rumah panti asuhan serta terbuka untuk umum. Perlahan Hasan Basri pun membangun masjid berukuran 7×10 meter dan asrama 19×29 meter yang hingga hari ini belum juga rampung, bahkan terhenti sejak beberapa tahun silam karena persoalan dana.
Terlalu banyak yang harus dipikirkan, sehingga ia harus memprioritaskan bagaimana anak-anak bisa makan dan melanjutkan pendidikan.
“Alhamdulillah sampai sekarang sudah ada 26 anak asuh kami yang menjadi mahasiswa di Universitas Kebangsaan. Untuk mereka pun saya harus membayar sedikitnya Rp17 juta per tahun untuk membayar kos-kosan di dekat kampus dan uang kuliah,” ujar pria yang dulunya aktivis dan tokoh muda Islam di Timor-timur ini.
Hasan Basri mengaku tidak pernah ada donatur tetap untuk pembangunan masjid dan pesantrennya. Selama ini hanya mengandalkan dari dana perorangan yang peduli. Sumbangan dana dari pemerintah pun ada, namun pencairannya terlalu lama.
“Jadi kami akhirnya gali lubang tutup lubang untuk memenuhi kebutuhan para santri, karena sudah lewat 4-5 bulan dana dari pemerintah itu baru bisa cair,” tutur Hasan Basri.