BANDUNG – Saat peringatan Hari Pendidikan Nasional, di benak sebagian orang tentu akan tertuju tentang Taman Siswa. Taman Siswa merupakan sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantoro pada 3 Juli 1922.
Namun jauh sebelum itu, tokoh pendidikan asal Jawa barat, Dewi Sartika telah mendirikan Sakola Istri di Pendopo Kabupaten Bandung, 16 Januari 1904.
Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sakola Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. Kemudian pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat. Lalu berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten di Jawa Barat pada tahun 1920. Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sakola Raden Dewi.
Tepatnya berada di Jalan Kautamaan Istri, sekolah tersebut kini masih terlihat kokoh dan masih seperti aslinya. Dengan bagunan yang khas, tembok yang tebal dan depan kelas menggunakan ram kawat, salah satu ciri khas bangunan sekolah yang bernilai artistik.
Terdapat dua kelas yang menapung sekitar 70 murid itu khusus diisi untuk Sekolah Dasar Dewi Sartika saja. Sekolah tersebut juga merupakan sekolah inklusi yang ada di Kota Bandung. Sekolah inklusi merupakan sekolah regular (biasa) yang menerima ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) dan menyediakan sistem layanan pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan Anak Tanpa Kebutuhan Khusus (ATBK) dan ABK melalui adaptasi kurikulum, pembelajaran, penilaian, dan sarana prasarananya.
Selain bangunan yang masih kokoh, di sekolah itu juga ada tugu tepat posisi pojok sebelah kanan sebagai ciri bahwa sekolah itu adalah sekolah yang didirikan oleh RD Dewi Sartika, jelas dengan tulisan dan tahun lahir pahlawan wanita itu.
Saat ini dengan perkembangan yang signifikan dan siswa yang ingin menjalani pendidikan di sekolah itu, sudah berdiri tegak dua tingkat bangunan kelas baru.
“Kalau bangunan bertingkat ini khusus untuk SMP Dewi Sartika saja, karena murid semakin tahun bertambah, maka kami bangun saja untuk menampungnya,” kata pengurus Yayasan Dewi Sartika, Sukaesih, Senin (30/4/18).
Menurut Sukaesih, untuk merawat bangunan sekolah itu, dilakukannya peremajaan setahun sekali, baik itu cat ulang maupun membenarkan beberapa bagian yang rusak.
“Kalau ini dicatnya setahun sekali, dibersihkan, pokoknya terlihat dan terasa nyaman. Terus kalau ada yang rusak atau bocor di atap, itu juga kami bereskan, agar bangunan ini terjaga dengan baik,” jelasnya sambil menunjukan beberapa ornamen di dalam kelas.
Ia berharap, agar bangunan bersejarah ini menjadi salah satu bangunan heritage yang diketahui warga Bandung maupun wisatawan lokal dan asing, bahwa di Bandung itu terdapat sekolah pertama yang didirikan oleh pahlawan wanita.