Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale KBBSepenggal Sejarah dari Wajit Cililin

Sepenggal Sejarah dari Wajit Cililin

Proses pembuatan Wajit Cililin Hj Siti Romlah di Jalan Raya Radio No 1 Cililin. by ist

CILILIN – Wajit Cililin melegendaris hingga kini. Adalah Samsul Ma’arif (39) generasi keempat pelopor pengrajin wajit ini mengisahkan, Juwita dan Uti lah yang pertama membuat penganan yang bernama wajit tahun 1916.

Nama wajit berasal dari bahasa Jawa yaitu Wajik. Dahulu orang-orang kebingungan memberi nama penganan tersebut. Namun ada yang pernah mencoba penganan yang sama persis dengan penganan yang satu ini yaitu wajik.

Kemudian ada perubahan pengucapan atau gejala bahasa dari wajik ke wajit, karena urang Sunda itu jarang menggunakan huruf K sehingga beralihlah menjadi huruf T dan munculah kata wajit yang dikenal sampai sekarang.

“Muncul penganan yang bernama wajit ini karena melimpahnya bahan baku yang kurang dimanfaatkan terutama beras ketan,” kata Samsul mengawali cerita.

Awalnya membuat penganan tersebut untuk dimakan sendiri. “Tapi banyaknya warga penasaran kelezatan wajit mulai berdatangan ke rumah Juwita dan Uti hanya untuk merasakan penganan tersebut,” tutur Samsul.

Dari situ muncul kebiasaan pagi-pagi atau sore-sore makan wajit ditemani teh pahit. Karena waktu itu beras ketan bahan baku yang sangat mewah, jadi hanya kaum kolonial saja yang bisa merasakannnya. Warga pribumi tidak dibolehkan untuk memakan penganan tersebut. Adanya penjajahan terhadap pribumi meski tidak seperti penjajahan secara politik, tetap saja warga pribumi tidak boleh untuk memakan penganan itu.

“Dulu pribumi hanya dibolehkan makan gaplek saja (singkong yang dijemur hingga kering lalu ditumbuk untuk dibuat penganan). Pribumi bisa membuat penganan tersebut asalkan disetorkan ke pihak kolonial,” ungkapnya.

Namun setelah Juwita dan Uti meninggal diteruskan oleh anaknya pada tahun 1936 yaitu Hj. Siti Romlah yang nama aslinya Irah. “Dia yang menjadi penentang kepada kaum Belanda karena bahannya dari kita, dari sawah kita, pembuatannya oleh kita, kenapa kita tidak boleh memakannya? Dari situlah wajit Siti Romlah bisa dijualbelikan,” tuturnya.

Meski ada intervensi dari pihak kolonial, tapi masih berjalan dan terus berkembang. Dulu pertama diperjualbelikan dilaksa (dipersatuan) dengan cara ditanggung di sekitaran Bandung. Seiring dengan perjalanan waktu Siti Romlah secara ekonomi meningkat, hingga bisa menunaikan ibadah haji tahun 1950-an.

Selama Siti Romlah di Tanah Suci, pembuatan wajit ini sempat tidak di produksi. “Namun tidak lama kemudian ada saudaranya yang meneruskan, tapi resepnya tidak diberikan, sehingga wajitnya berbeda dengan buatan Siti Romlah dan memiliki penggemar yang berbeda pula,” ungkapnya.

Setelah Siti Romlah pulang dari Tanah Suci Mekah, mengubah nama wajit itu dengan Hj Siti Romlah. “Mungkin dari situlah awal perkembangan Wajit Cililin yang menjadi identitas sebuah daerah di Kabupaten Bandung.

Wajit ini terbuat dari beras ketan pilihan, gula merah (gula aren) yang memiliki tekstur yang keras dengan warna kekuningan, dan kelapa yang tidak tua ataupun muda sehingga rasa dari wajitnya pun menjadi berbeda.

Pengolahan kelapa dikupas dahulu lalu dihilangkan kulit yang tuanya dan hanya diambil bagian dalamnya saja. Proses pemarudan kelapa dilakukan secara tradisional, hanya ada diproduksi Hj Siti Romlah saja yang masih mengunakan parud tradisional. “Mengolah secara tradisional tidak akan menghilangkan sari kelapa tersebut,” kata Samsul.

Proses pembuatan wajit ini menghabiskan waktu kurang lebih satu hari dari awal perendaman beras ketan, hingga proses pengolahan tiga bahan tersebut, pemasakan yang berbeda yaitu mengunakan bahan bakar areng dari batok kelapa sehingga menimbulkan wangi yang khas. Waktu yang dibutuhkan empat sampai lima jam hingga pembungkusan dengan daun jagung kering.

“Inilah yang membedakan dari makanan yang lain yaitu dalam segi kemasannya,” tutur Samsul. Daun jagung dimaanfaatkan untuk membungkus karena memiliki tekstur yang bergerigi dan itu salah satu yang membuat wajit ini bisa bertahan beberapa hari .

Wajit Hj Siti Romlah bisa bertahan lima hari bila sudah dikemas, tapi bila diangin-anginkan bisa bertahan tiga minggu. Namun jika ingin lebih tahan lama lagi, bisa dimasukan ke dalam kulkas.

“Wajit itu masih bisa bertahan selama sebulan lebih, maka ada bahan yang dikurangi misalnya kelapa sehingga tidak gampang berjamur (berbau buluk). Penganan ini masih dijaga keasliannya dari proses pengolahan hingga pemilihan bahannya, dan tidak mengunakan bahan pengawet,” beber Samsul.

Penganan ini tidak dijual di sembarang tempat. Jika ingin membelinya kita harus datang ke toko Jalan Raya Radio No 1 Cililin atau bisa pesan secara online dengan harga yang cukup terjangkau yaitu untuk satu kemasan hanya Rp15 ribu dengan berat ½ kg. Keunikan dari penganan ini memliki tekstur yang cukup menarik, luarnya kering dalamnya basah itu yang menjadi ciri khas dari wajit Hj.Siti Romlah.

Wajit ini juga menjadi penganan yang turun temurun sehingga rasa dan tekstur wajit ini tidak akan hilang selama masih ada yang meneruskan. Usaha yang dijalankan banyak sekali manfaat, dari segi ekonomi maupun dari segi status sosial yang mudah diingat oleh orang lain.

Berkat Hj Siti Romlah sebuah penganan menjadi identitas suatu daerah yaitu Cililin yang terletak di tengah Kabupaten Bandung Barat ketika kita sebut daerah tersebut sudah pasti membicarakan wajit dan sudah menjadi oleh-oleh dari Cililin.

Penganan buatan j.Siti Romlah ini juga pernah mendapatkan piagam penghargaan Upakarti dari Menteri Perindustrian dalam pengembangan industri nasional dan piagam penghargaan dari BandungTV tahun 2006 yang telah menginspirasi banyak orang mengenai usaha dalam bentuk penganan. ***

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img