BANDUNG – Lakon “Hutbah Munggaran di Pajajaran” karya Prof. Yus Rusyana dipentaskan di Grha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran, Bandung, Selasa (27/11/18). Pementasan yang disutradarai Asep Supriatna ini merupakan sajian Pidangan Rumawat Padjadjaran ke-79.
Lakon berdurasi 1,5 jam ini mengisahkan Prabu Anom Kian Santang Aria Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi, yang pulang setelah berkelana dari Tanah Mekkah. Dalam kembaranya, Prabu Kian Santang telah memeluk agama Islam. Kedatangannya kembali ke Pajajaran adalah untuk mengajak ayahnya masuk Islam.
Upaya mengislamkan Kerajaan Pajajaran akhirnya harus berbuah perang. Perang antar saudara sendiri. Kepada pasukannya, Prabu Kian Santang berpesan untuk tidak merusak kota hingga tidak membunuh warga sipil. Hal ini sesuai dengan ketentuan perang menurut Islam, agama yang diyakini Prabu Kian Santang.
Di antara prajurit Kian Santang, ada seorang yang bernama Djaya Antea. Kehadiran Djaya menjadi musuh dalam selimut bagi Kian Santang. Ia berhasil memprovokasi prajurit lain untuk melakukan kerusuhan, membakar kota dan merenggut nyawa tidak berdosa. Kerusuhan ini menimbulkan kerusakan dan perpecahan.
Upaya provokasi Djaya Antea bukan tanpa alasan. Ia menyamar menjadi prajurit Kian Santang adalah untuk mewujudkan ambisi pribadinya, yakni menguasai Pajajaran dan merebut Putri Purnamasari. Kabar ini kemudian sampai ke telinga Kian Santang. Di tengah amarahnya kepada Djaya Antea, Kian Santang kemudian menyadari bahwa perang antar saudara ini telah banyak menghilangkan kejayaan Pajajaran.
Satu per satu, prajurit musuh pun takluk. Mereka memeluk Islam dan perang pun usai. Di akhir lakon, Kian Santang kemudian menyampaikan dakwah perdananya di Tanah Pajajaran.
Penasihat tim produksi lakon Prof. Ganjar Kurnia mengatakan lakon “Hutbah Munggaran di Pajajaran” diharapkan menjadi salah satu wahana efektif dalam menyiarkan agama Islam. Syiar Islam melalui jalan perang hanya akan berdampak pada kerusakan dan perpecahan.
Dalam pementasan ini, tidak ada batasan yang pasti antara penonton dan pemain. Pasalnya, arena teater ditempatkan di lantai yang sejajar dengan penonton. Ini membuat penonton seolah-olah ikut menjadi “rakyat” Kerajaan Pajajaran.
Adapun para pemain dan penari dalam lakon ini merupakan para siswa dari Yayasan Mutiara, Palabuhanratu.* by Humas Unpad