Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale BandungSaat Sang Bentang Panggung Tampil di Rancakasumba

Saat Sang Bentang Panggung Tampil di Rancakasumba

SOLOKANJERUK – Jaman baheula, sebelum jadi lembur (kampung) seperti jaman kiwari (masa kini), Kampung Sagalaherang, Desa Rancakasumba, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, tadinya merupakan hutan belantara yang dikelilingi lautan. Makin sini makin kesini, lautan itu pun jadi makin dangkal, bahkan sering kekeringan di kala musim kemarau panjang. Lautan itu baru terairi lagi jika musim hujan deras. Sampai akhirnya lautan itu jadi tanah rawa.

Pada saat itu, sekitar abad ke-16, Abdijaya mulai mengobrak-abrik memapas hutan itu untuk dijadikan tempatnya bernaung. Awalnya dia sendirian, hanya dibantu keluarganya. Tapi lama kelamaan, datanglah orang-orang yang baru, yaitu Alijaya dan Ingajaya. Buat Abdijaya mah, dia senang saja, sebab berasa punya teman baru buat membabat hutan yang begitu luasnya. Kalau dia mengerjakannya sendiri, tentu bakal lebih berat dan lama beresnya.

Saban hari mereka menebang pepohonan sampai lahan hutan agak kelihatan cerah. Tidak semua pepohonan ditebang, tapi sekadar cukup untuk dijadikan tempat tinggal. Tentu karena saban hari bersama, baik Abdijaya, begitu pula Alijaya dan Ingajaya, lama kelamaan jadi merasa bersaudara. Malah ngakunya tunggal sadulur (sesaudara).

“Kakang Abdijaya, setelah hutan kita dibabat, tentu kita juga harus membuat sumur kehidupan. Apa tidak salah kalau kita bikin sumur aja dulu?” tanya Alijaya.
“Oh, tentu saja,” timpal Abdijaya. “Tapi, untuk menggali air kehidupan mah, tidak boleh sembarangan. Tentu harus ijin dulu ke sesepuh,” tukas Abdijaya.
“Lebih baik, Kakang Abdijaya saja yang jadi sesepuh.”
“Ah, tidak baik begitu. Harus ngumpul semua. Yang membuka lembur ini teh, kan bertiga. Ya, ketiganya harus ngumpul bersepakat.”

Tidak ketahuan dari mana datangnya, Ingajaya sudah ada di hadapan mereka berdua.
“Setuju pisan, Kakang Abdijaya saja yang jadi sesepuh tanah ini,” tandas Ingajaya.
“Tuh, kan begitu, Kakang Abdijaya,” Alijaya seolah menebak isi hati Abdijaya.
“Alijaya, kenapa tidak mau diangkat jadi sesepuh?” Abdijaya malah balas balik nanya ke Alijaya.
“Lebih baik Kakang Abdijaya saja, sebab Kakang lah yang lebih dulu membuka lahan ini.”
“Kalau saya mah bagaimana kalian berdua saja. Cuma saya tidak berkeinginan untuk dituakan yah..,” Abdijaya akhirnya menerima kesepakatan jadi sesepuh kampung.
“Ya, sudahlah. Besok lusa, kalian berdua mulai menggali sumur. Biar saya yang minta ijin ke keprabon (kerajaan).

Sebagaimana biasanya waktu itu, kalau mau bikin sumur kehidupan, harus seijin raja. Mendapat restu dari raja. Sebab membuat sumur baru waktu itu dianggap membangun wilayah baru. Yang namanya wilayah pan punya aturan. Terutama aturan untuk menjaga kampung dibarengi dengan kerukunan warga seisi kampung dan taat aturan, tetap berpijak pada adat istiadat yang sudah ada dari jaman baheula.

“Gimana hasilnya Kakang Abdijaya?” tanya Alijaya sekembali Abdijaya dari keprabon.
“Semua petinggi pada setuju. Mereka pada mendorong berdirinya wilayah ini. Sok aja kerja yang rajin, beres-beresin secepatnya. Kalau udah beres, saya harus secepatnya menyampaikan ke keprabon,” jawab Abdijaya tampak gembira.

Mendengar kabar seperti itu, Alijaya dan Ingajaya makin semangat. Keesokan harinya pagi-pagi betul mereka sudah gali menggali membuat sumur. Belum juga beranjak siang, apalagi sampai keringat mereka bercucuran, Alijaya dan Ingajaya sudah sontak berhenti menggali dan meninggalkan galian. Padahal baru sampai selutut galiannya juga, mereka tidak meneruskan penggalian.

“Kenapa sudah pada pulang? Nasi pun belum ngebul…” Abdijaya bertanya heran.
“Lebih baik, Kakang Abdijaya ke tempat galian sumur dulu. Sebab ada benda yang aneh!”
“Aneh gimana maksudnya?” Tak menunggu jawaban, Abdijaya langsung menuju tempat galian sumur. Euleuh-euleuh,… betul saja di dalam galian sumur tampak ada sebuah barang.
“Rupanya seperti goong? Coba angkat! Abdijaya melirik ke Alijaya.
“Karuan saja atuh, Kakang Abdijaya. Kalau mampu mah dari tadi juga sudah kita angkat,” jawab Alijaya diiyakan Ingajaya.

Mendengar seperti itu, Abdijaya cuma menggeserkan badan sedikit, kemudian melapalkan mantra kesaktiannya. Tak lama, turunlah ia ke galian. Memungut goong yang sudah terlumuri tanah basah. Hanya ditepuk beberapa kali oleh Abdijaya, goong pun sudah tampak di atas.

Seiring disingkirkannya goong, galian yang tadinya masih kering mulai terembesi air. Lama kelamaan makin curcor mengalir dari lubang-lubang mata air, meski tidak banyak ngagolontor.

“Cuma harus diingat, jangan berani-berani memukul goong sepanjang itu untuk hiburan. Sebab ini mah goong kabuyutan (pusaka leluhur) yang gunanya bukan untuk main-main. Tentunya hanya untuk upacara-upacara yang sifatnya instropeksi diri,” kata Abdijaya sambil menyerahkan goong ke Alijaya dan Ingajaya. Goong itu diterima kedua tangan mereka, kemudian disimpan disandarkan di bawah pohon.

“Tuh, ternyata ada ijin dari Yang Maha Suci. Kehendak Yang Maha Besar. Sumur airnya sudah menggenang. Semoga saja sumur kehidupan ini jadi perlambang bagi kemakmuran lembur, sugih mukti kerta raharja (makmur, bahagia sejahtera),” Abdijaya bergumam sendiri sambil terus menatap air sumur yang putih jernih menggelontor.

Setelah jadi sumurnya, tak lama kemudian pihak keprabon mengirimkan utusan. Di antara para utusan dari para pejabat dan keluarga kerajaan, juga turut hadir juru pantun. Saat itu juga kampung ini pun diresmikan jadi bagian dari kekuasaan keprabon yang disebut umbul. Umbul artinya wilayah kekuasaan yang warga seisi kampungnya hanya beberapa pasangan atau kepala keluarga saja. Meski Cuma beberapa keluarga, tapi perlu ada yang dikolotkeun atau dituakan di situ.

Kebetulan, untuk sesepuh kampungnya, mereka semua sudah sepakat menunjuk Abdijaya. Jaman itu, ciri umbul yang sudah diresmikan oleh pihak keprabon, diantaranya memberi nama untuk sumur, yang kemudian disebut Sumur Bandung. Artinya, sumur air indung (ibu). Secara filosofis, sumur untuk mengayomi kehidupan masyarakatnya yang terus menerus memberi kesejahteraan.

Dalam waktu yang tak begitu lama, yang tadinya sekadar wilayah umbul, lama kelamaan mekar menjadi perkampungan. Makin banyak yang menetap dan bertambah sanak saudara, seanak cucu.

Sebagaimana tatatanan kehidupan waktu itu, yang namanya wilayah umbul harus memelihara nilai-nilai budaya agar memelihara betul lembur dengan tetap menjunjung tinggi adat istiadat jaman dulu. Salah satu kebiasaan yang tidak boleh ditinggalkan yaitu mengadakan hajat lembur. Dalam acara ini, selain untuk menunjukkan rasa syukur terhadap Penguasa Alam Semesta akan hasil panen berlimpah, rakyat juga biasa mengundang kelompok kesenian.

Kebetulan, waktu itu dihadirkan kelompok kesenian dari Sagalaherang, Subang. Kedatangan rombongan kesenian ini begitu dinanti-nanti pisan oleh rakyat. Apalagi setelah dibewarakan atau dikabarkan bahwa kelompok kesenian yang sedang kesohor itu juga membawa serta juru kawih andalan. Salahsatunya yang kahotna atau yang sedang naik daun adalah Sang Bentang Panggung.

Kalau peralatan keseniannya mah, sudah didatangkan dari Subang terlebih dahulu. Hanya goong saja yang tidak dibawa. Soalnya ada goong yang disimpan di rumah sesepuh lembur, turunan Abdijaya atau Alijaya dan Ingajaya. Tapi, tak ada seorang pun yang mengingatkan bahwa goong kabuyutan mah tidak boleh dipakai untuk tetabuhan yang sifatnya hiburan. Sedangkan kesenian yang akan ditampilkan justru kesenian yang sifatnya untuk menghibur.

Kejadian tak disangka-sangka, sedang hangat-hangatnya suasana lembur oleh acara hiburan kesenian, di puncak acara hiburan yang sedang mementaskan Sang Bentang Pannggung, ujug-ujug ada pemuda yang naik ke atas panggung, menemani Bentang Panggung menari.

Atuh, melihat pentas begitu mah, memancing pemuda lainnya untuk ikut ngibing menari. Mulanya ikut-ikutan saja pada naik ke atas panggung. Breg, seisi panggung pun penuh oleh para pemuda meski panggung tidak begitu luas.

Yang ikutan ngibing pun kemudian saling dorong, saling rebutan untuk bisa menari dekat Sang Bentang Panggung. Pada ngiri saling menerobos sambil senggol menyenggol dan menubruk, saling sikut sesama temannya. Buntutnya, ya timbullah kekacauan. Dari saling tarik, kemudian saling singgung, senggol bacok tea pokona mah, sampai dimulai adu keberanian dan adu kesaktian. Nayaga (penabuh alat seni) dan sinden tak sempat terselamatkan. Ada yang kadupak, ketubruk, terinjak-injak. Malah ada yang kena timpuk peralatan yang dilempar-lemparkan.

Goong kabuyutan yang tadinya berada di gantungannya, nggak ketahuan ternyata sudah raib entah kemana. Tampaknya ada yang mengamankan atau bahkan ada yang melemparkannya. Yang paling miris mah Sang Bentang Panggung sendiri, sebab perutnya tertebas senjata tajam. Sudah tentu di kalangan pemuda yang sedang silih rebut mah, tak sedikit yang mengalami cacat sampai tewasnya.

Dalam kondisi kalap campur amarah seperti itu mah, tak seorang pun yang mau melerai. Biarpun ada yang mau melerai, ujung-ujungnya malah terlibat langsung pertikaian, antara terpukul, dipukul dan memukul.

Setelah banyak korban yang tersungkur dan terkapar, percikan darah berceceran membasahi tanah, air selokan yang tadinya jernih, jadi tampak keungu-unguan, darah memberi warna kasumba (ungu). Air selokan yang warna keunguan itu terus mengalir ke tanah ranca atau rawa.

Air ranca (rawa) yang berubah jadi warna kasumba (ungu), awalnya dijadikan nama lahan blok Rancakasumba di seputaran tanah tempat kejadian perkara (TKP). Hingga kini dinamai Desa Rancakasumba. Sedangkan lembur di mana TKP terjadi, disebut Kampung Sagalaherang, diambil dari nama asal tempat Sang Bentang Panggung yang sudah mendatangkan kejadian tragis (Sagalaherang, Subang). Sebab bukan saja para pemuda yang jadi korban tewas, termasuk Sang Bentang Panggung sendiri yang sudah memikat hati puluhan pemuda, nyawanya pun tidak tertolong.

Ti harita, sejak itulah..di Kampung Sagalaherang ada pacaduan (pantangan) dilarang memukul goong. Hingga kini, urang Sagalaherang masih ada yang percaya, pamali kalau nabeuh goong.***

 

spot_img
BERITA LAINYA

1 KOMENTAR

  1. Min ada cerita lain tentang Ali Jaya, soalnya itu leluhur saya yg berasal dari sana dan memang beliau tokoh yg terkenal dengan sumur bandung. apakah ada referensi lain sy pengen menggali tentang beliau ? ( Ali Jaya )

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img