BALEBANDUNG – Pada 29 Juni 1893, Asisten Residen Sukapura Kolot, Paten, memberitahukan tentang adanya telegram dari Residen Harders yang berisi keputusan Gubernur Jenderal di atas kepada RAA Martanegara.
Patih Sumanagara yang juga mendapat pemberitahuan tentang pengangkatan itu, merasa kecewa dan sakit hati. Ia pun segera mengadakan pertemuan dengan para pendukungnya. Mereka sepakat untuk membunuh bupati yang baru diangkat dan para pejabat Belanda, yaitu residen, asisten residen, dan kontrolir.
Caranya, meledakkan beberapa tempat keramaian dengan dinamit agar menarik perhatian para pejabat untuk datang ke sama. Tempat-tempat tersebut adalah arena pacuan kuda Tegalega dan Jembatan Cikapundung. Bila para pejabat datang ke sana, disitulah para pembunuh akan beraksi. Selain itu, di bagian bawah kereta residen akan dipasang dinamit pada waktu tengah malam supaya kereta meledak bila sedang dipakai.
Untuk melicinkan rencananya, Patih Sumanagara menjanjikan akan memberikan hadiah dan kedudukan bila ia sudah menjadi Bupati Bandung. Misalnya, Raden Kartadireja (Wedana Conggeang) dijanjikan akan dijadikan Patih Bandung, sementara R Wira Sudibja akan dijadikan sesepuh Kabupaten Bandung. Juga, Patih Sumanagara menyuruh mencari para jawara untuk melaksanakan pembunuhan dengan janji akan diberi f500,00 bila berhasil membunuh para pejabat. Sementara Patih Sumanagara sibuk mempersiapkan pesta penyambutan bupati baru di pendopo kabupaten, pembantu-pembantunya sibuk memasang dinamit.
Pada 10 Juli 1893, RAA Martanegara tiba di Bandung dan pada 14 Juli 1893 (malam hari). Saat pesta penyambutan bupati dilangsungkan, dinamit meledak di Tegalega dan di Jembatan Cikapundung. Ternyata, RAA Martanegara hanya menyuruh Patih Sumanagara dan Raden Kartadireja untuk memeriksa ledakan itu. Para pejabat Belanda juga tidak datang ke lokasi.
Pada 15 Juli 1893, RAA Martanegara dilantik sebagai Bupati Bandung dengan dihadiri oleh patih, wedana-wedana, camat-camat, para juru tulis, kepala desa se-Afdeling Bandung, serta para pejabat Eropa beserta istri.
Mengetahui bahwa rencananya gagal, Patih Sumanagara berusaha melemparkan kesalahan kepada orang lain. Ia menyuruh Natanagara dan Lurah Ciateul menyimpan dinamit di rumah Raden Nata Ambia, saudara bupati yang baru meninggal. Sebagian lagi disimpan di rumah penduduk di daerah Kejaksaan agar hoofd jaksa dituduh terlibat. Selanjutnya, disebarluaskan berita simpang siur tentang peledakan itu untuk membingungkan polisi.
Hasil penyelidikan polisi yang dibantu oleh mata-mata (telik sandi) bantuan Bupati Sumedang, Garut dan Cianjur membuktikan bahwa Patih Sumanagara dengan kawan-kawannya telah merencanakan pembunuhan. Sebelum Sumanagara ditangkap (karena penyidikan itu memerlukan waktu cukup lama), ia sempat dimutasikan menjadi Patih Sukapura Kolot.
Patih Sumanagara ditangkap dan diadili. Hukuman pengasingan harus dijalaninya di Ternate hingga meninggal di sana. Kelak ia sering disebut sebagai Patih Ternate. Para pendukungnya, yaitu Raden Rangga Kartadireja, dibuang ke Banjarmasin, Raden Demang Suriadipraja dibuang ke Pontianak, Raden Wira Sudibja dibuang ke Menado, Raden Danunagara dibuang ke Tanjung Pinang, Raden Natanagara dibuang ke Timor, Argawijaya dan Kiai Abdul Kahar dibuang ke Ambon, sedangkan Ba Kamsiah dan Jahali dibuang ke Padang.
Khusus mengenai Raden Natanagara, dalam besluit Gubernur Jenderal 20 Spetember 1893 dinyatakan bahwa sering terlibat dalam berbagai pencurian dan terlibat dalam percobaan pembunuhan yang gagal. Raden Natanagara dilaporkan telah menyuruh Haji Bahar dan Muhalin membeli cyankalium untuk meracuni sumur Bupati RAA Martanegara. Tetapi usahanya itu gagal.
Selain itu, ia juga dilaporkan pernah meminta bantuan Konsul Inggris di Batavia dan Susuhunan Surakarta untuk melakukan pemberontakan terhadap Belanda. Sebagai akibat dari kejahatan yang bertubi-tubi ini, Raden Natanagara yang semula didakwa melakukan tindakan kriminal biasa, menjadi terdakwa politik dengan tuduhan mengacau keamanan dan ketertiban. [Hanca]
Di-online-kan Dalam Rangka Memperingati Hari Jadi Kab Bandung ke-375, 20 April 2016.
Sumber :
– Garlika Martanegara
– Nina H Lubis, Konflik Elite Birokrasi; Biografi Politik Bupati RAA Martanagara