–Setelah jatuhnya Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.–
Balebandung.com – Keberatan dengan bobot tubuhnya, kerbau gila itu memerlukan waktu cukup lama untuk kembali berdiri. Sementara si pemuda dengan santai kembali memasang kuda-kuda, menunggu. Manakala merasa sudah ajek menapak tanah, si kerbau segera menyerang pemuda itu. Kali ini lebih kalap, seolah jadi babi buta.
Tapi si pemuda sejak tadi memang sudah menantikan serangan tersebut. Ketika tanduk kerbau itu menunduk untuk mencungkil selangkangannya, tangan pemuda itu menepis tanduk, membuatnya menjadi semacam pijakan seraya melompat menyamping ke atas punggung kerbau.
Sekejap kerbau itu sudah ditungganginya. Sambil mencondongkan badan ke depan, tangan kiri si pemuda terentang ke belakang, meraih ekor kerbau tersebut. Setelah ekor itu terasa tergenggam di jemarinya, dilipatnya ekor itu sebelum diremasnya kuat-kuat, yang membuat kerbau itu serta merta berlari cepat.
Tangan kanan si pemuda tak ongkang-ongkang. Diraihnya tanduk kerbau dan diperlakukannya bagai tali kekang untuk mengarahkan kemana kerbau itu berlari. Meski menghambur kesetanan, laju kerbau itu kini sedikit terarah. Sesekali orang-orang yang sejak tadi berdesakan di pinggir alun-alun kerajaan Mataram menonton peristiwa itu, berteriak ketakutan setiap kali kerbau itu seperti hendak melabrak mereka sebelum dibelokkan si pemuda.
Si pemuda sendiri kini seolah menikmati kelakuannya di atas punggung kerbau. Sesekali diremasnya ekor yang terlipat itu lebih keras. Selalu, kerbau gila itu meresponsnya dengan berlari tunggang langgang lebih kencang lagi. Atraksi itu tak urung mendapat tanggapan meriah orang-orang seputaran alun-alun. Tepuk tangan membahana mengagumi kelihaian si pemuda.
Tiba-tiba semacam kesadaran melintas di benak si pemuda. “Tidak pada tempatnya aku menyiksa binatang ini,” pikirnya. “Toh Sinuhun pasti memintaku membunuh kerbau ini karena sudah tak mungkin lagi dijinakkan.” Kini si pemuda merasa kelakuannya itu tak layak bagi seorang ksatria seperti dirinya. Mempermainkan hewan, apalagi yang jelas-jelas segera menuju kematian.
Hanya perlu beberapa detik berpikir sebelum tekad pemuda itu bulat. Sejak awal memang Sinuhun Kerajaan Mataram, Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, memintanya menaklukkan kebo edan itu. Kerbau jantan, besar dan kokoh yang sebelumnya sama sekali bukan kerbau gila. Kerbau itu dibuat gila agar sempurna untuk lawan uji coba dirinya.
Dari sisi itu saja sebenarnya sudah cukup pemuda itu bisa berpikir bahwa si kerbau itu benar-benar dizalimi: dibuat gila untuk diadu, kemudian mau tak mau harus dibunuh karena tak mungkin lagi disembuhkan dari kegilaan.
Pemuda itu ingat, kata menaklukkan dalam terma pribadi Sang Sultan tak pernah lain kecuali membunuh, menghancurkan, membuat lawan-lawannya sirna tanpa daya, bahkan jika perlu sampai keturunanan yang akan menjadi penerus lawannya itu.
Itu artinya ketika Sultan memintanya menaklukkan kerbau gila tersebut sebagai uji coba kedigjayaannya, Sang Sultan jelas-jelas memintanya membunuh, bukan menjinakkan kerbau itu untuk kembali menjadi hewan ternak buat bantu-bantu mengerjakan sawah.
Tak pernah terdengar cerita Sang Sultan berlaku setengah hati dalam hal ini. Seperti juga ketika Sultan memerintahkan seorang senapati Mataram untuk membunuh utusan Kompeni alias VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Belanda, Jacob van der Marct, yang diutus Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen, penguasa Batavia yang lebih dikenal dengan sebutan Murjangkung.
Van der Marct ditugaskan berangkat ke Jepara untuk membeli beras bagi keperluan VOC. Tugas itu tentu dengan mudah diselesaikannya. Yang membuat Mataram gusar, dengan dalih membalas serangan Mataram pada kantor dagang VOC di Jepara, 18 Agustus 1618, atau sekitar tiga bulan sebelumnya, Van der Marct setelah itu menghancurkan kantor dagang Mataram di Pelabuhan Jepara. Rumah-rumah di sekitar kantor dagang itu dibakar hingga luluh lantak.
Sedikitnya 30 orang Jawa terbunuh dalam insiden penyerangan oleh 160 personel pasukan VOC tersebut. Sultan Agung murka karena pada insiden itu puluhan perahu Jung Mataram yang tengah merapat di Jepara dan Demak dibakar, setelah beras muatannya dirampok pasukan Kompeni. [Bersambung/gardanasional.id]
https://www.balebandung.com/dipati-ukur-pahlawan-anti-kolonisasi-pasundan-1/