Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale BandungDipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan : Di Tengah Kerakusan Penghuni...

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [12] : Di Tengah Kerakusan Penghuni Istana

–Setelah jatuhnya Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.–

Ingin rasanya ia beradu kekuatan mata dengan raja Mataram itu. Tak cukup banyak rasa hormat yang bisa membuatnya menghargai raja

Balebandung.com – Kini Sultan Agung sudah duduk di singgasananya. Sebelum berbicara, ia layangkan pandangannya menyapu seluruh ruangan. Pas giliran pandangannya tertumbuk pada Ukur dan Pangeran Aria Suradiwangsa, ia berhenti agak lama.

Ukur sempat bertatap mata dengan Sultan. Ingin rasanya ia beradu kekuatan mata dengan raja Mataram itu. Tak cukup banyak rasa hormat yang membuatnya bisa menghargai raja tersebut. Di matanya Sultan Agung hanyalah semacam anak kecil yang setiap permintaannya harus diluluskan, tak penting berapa ongkos harus dibayar untuk itu, bahkan bila ongkos itu artinya ribuan kepala lepas dari lehernya, alias sekian banyak darah dan kematian.

Sayang, sekian banyak kepentingan membuat Ukur sadar ia harus tunduk, paling tidak menundukkan kepala kepada Sinuhun.

“Hm, Kau Bekel Ukur, kan?” kata Sinuhun. “Apa kabarmu? Sudah kerasankah tinggal di keraton Mataram ini?”

Senyum mengembang di bibirnya. Ah, andai saja raja ini lebih banyak tersenyum dibanding memberi perintah perang, Ukur merasa dirinya layak, bahkan wajib berbakti hingga mengorbankan nyawanya sendiri untuk raja ini. Sayangnya, raja ini lebih suka memperluas wilayah, melebarkan kekuasaan yang lebih sering justru tak hanya membuat rakyat wilayah jajahannya sengsara, tetapi begitu juga dengan rakyatnya sendiri. Memangnya perang tak banyak makan biaya?

“Sendika, Gusti Prabu. Bekel Ukur sehat, tambah gemuk dan nyaman tinggal di sini. Tentu itu hanya mungkin bila hamba kerasan, Tuanku,” Ukur menjawab setelah sebelumnya bersikap sembah.

“Ho ho, baguslah. Kau harus kerasan, karena ke depan aku akan banyak mengandalkan dirimu, Ukur,” kata Sultan.

“Hinggih, Gusti Prabu.”

Lalu Sultan Agung memulai pembicaraan serius dan resmi. Tampaknya pembicaraan awal soal penyerahan diri Kerajaan Sumedang Larang sudah dibicarakan sebelumnya. Semalam atau mungkin lebih awal lagi. Kini Sultan lebih banyak bicara soal posisi Sumedang Larang dalam kekuasaan Mataram ke depan. Dengan penyerahan diri itu otomatis Sumedang tak lagi sebuah kerajaan sehingga Pangeran Aria Suradiwangsa pun tentu tak lagi berkedudukan sebagai raja.

“Raden Aria, mulai hari ini Adinda kula angkat sebagai wedana Kawedanan Sumedang Larang, mengepalai beberapa bupati di Tanah Sunda. Bupati Sindang Kasih, Bupati Sukabumi, Bupati Bandung, Bupati Cianjur, berada di bawah kendali Adinda,” kata Sultan.

“Sendika, Sinuhun,” kata Pangeran Aria Suradiwangsa, tegas.

“Mulai hari ini Adinda juga kuberi gelar Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata atau Rangga Gempol I,” Sang Sinuhun melanjutkan.

“Beribu terima kasih, Gusti Prabu.” Kalimat-kalimat itu saja yang diulang-ulang Aria Suradiwangsa, yang kini telah berganti nama menjadi Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Setelah pernyataan takluk itu kini statusnya turun menjadi sekadar Wedana, bukan Raja Kerajaan Sumedang Larang yang kini juga telah hilang. Pernyataan serah bongkokan itu tercatat dilakukan tahun 1620 Masehi[1].

“Sekarang untukmu, Bekel Ukur,” kata Sultan. “Mulai hari ini kau kuangkat sebagai Adipati Tanah Praiangan, mencakup wilayah Sukakerta, Sindangkasih, Indihiang, Bandung, Sukapura, Parakanmuncang, Galuh dan Cianjur,”kata Sultan. Sinuhun diam sejenak, seperti hendak mengetahui apa respons Ukur terhadap karunia yang barusan ia berikan.

Ukur yang sadar akan hal itu langsung bangkit dan berlutut melakukan tepak deku. Satu lutut menyentuh lantai, sementara lutut lainnya sejajar dengan pahanya. Sementara itu kedua telapak tangannya terbuka, bersentuhan satu jari dengan jari tangan lainnya, ia rapatkan ke dahi, layaknya orang memuja.

“Terimakasih banyak, Sinuhun Agung Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kula menerima dengan gembira, bungah amarwatasuta bungah kagiri-giri. Perasaan kula laksana kaghunturan madu, kaurugan menyan putih,” kata Ukur. Nadanya meski terdengar menerima, namun tetap saja terdengar tegas.

“Syukurlah kalau Kau senang menerima pemberianku,” kata Sultan. “Hanya sengaja tak akan kuutus caraka untuk membawa suratku kepada Wedana Dayeuh Ukur yang saat ini memerintah. Kau bawa dan serahkan sendiri surat resmiku kepada Bupati Sutapura. Surat pemberhentian dirinya, sekaligus pengangkatanmu menggantikannya, Ukur.”

“Sendika, Gusti Prabu.”

Setelah itu Sultan Agung memberikan masing-masing ksatria Tanah Sunda itu sebilah keris bereluk tujuh. Keris tersebut juga merupakan simbol otoritas yang ia berikan kepada keduanya untuk mengelola wilayah masing-masing. Wilayah yang secara resmi kini hanya menjadi daerah taklukan Mataram.

“Aku minta kalian berdua berangkat besok. Memerintahlah kalian di sana atas namaku. Pada saatnya, aku akan meminta balas terhadap segala karunia yang hari ini kuberikan kepada kalian. Tunggu saja saat itu,” kata Sultan.

Penobatan itu diakhiri dengan makan siang di meja yang begitu panjang, berisikan segala rupa makanan enak. Dari mulai segala jenis ikan yang digoreng, dipindang, dibakar, dibubuy alias ditanam dalam abu panas, sampai diseupan atau dikukus, hingga segala macam daging yang dibakar, digoreng minyak kelapa, digoreng dengan gajih atau lemak kambing, hingga daging yang direbus dan digulai dengan santan kental dan gula nira pilihan.

Buah-buahan? Ada sekitar 10 jenis buah-buahan yang terhidang, mulai dari rambutan, mangga, pepaya, nenas, duku kiriman Kerajaan Palembang, jambu, salak, buah buni, buah kecapi, jamblang, nangka, durian dan sebagainya. Pisang? Ada sekitar 10 jenis pisang yang terhidang.

Ukur sampai pusing memilih apa yang harus ia ambil dan dahulukan masuk memenuhi perutnya. Ukur sering mendengar, para cacah kuricakan alias rakyat kebanyakan meyakini bahwa para menak pemimpin negara itu makan dengan penuh tata krama, juga ancin atau berpura-pura makan hanya sedikit. Ia juga dulu sangat percaya mitos itu, sebelum memasuki lingkungan keraton, baik di Tanah Sunda atau pun di tanah wetan ini.

Yang terjadi sebenarnya justru berlawanan diametral. Para menak justru kebanyakan orang-orang serakah, yang tak hanya makan apapun yang ada di dekatnya, melainkan bisa makan satu,dua atau tiga jenis makanan dalam satu suapan. [bersambung/gardansional.id]

1] tercatat dalam Babad Limbangan

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [11]: Raja Mataram yang Melipat Waktu

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img