Balebandung.com – Meski ribet Ukur tetap memuatkan tiga buntalan harta yang telah dikumpulkan kawanan Ki Blontang itu ke kudanya. Ia sadar, jerih payahnya membawa buntalan sarung itu akan terbalas lunas dengan kegembiraan orang-orang miskin esok hari, manakala mereka mendapati harta yang ia bagi-bagi itu di depan pintu rumah mereka masing-masing.
Sempat hati Ukur bimbang, mengingat secara hukum harta benda yang ia bawa itu milik tengkulak dan rentenir yang hingga kini masih pulas tertidur bagai babi mabok di ranjangnya. Tetapi mengingat harta itu lebih berguna bila tersebar di antara warga, rasa bersalah Ukur itu terlunaskan.
Belum lagi kalau ia berpikir bahwa rentenir itu pun mendapatkan harta tersebut dengan cara memeras dan mencekik para petani dan buruh yang kesusahan. Bukankah pula Allah pun tak suka dengan harta tak berguna, mengendap di bawah bantal atau pundi-pundi para orang kaya yang serakah, tanpa berguna buat perekonomian warga?
Tadi sebelum meninggalkan rumah rentenir itu Ukur sudah menawan ketiga orang itu dengan mengikat mereka bertiga ke tiang paling kokoh di rumah itu. Tak mungkin ketiganya lolos dari tali dadung yang terikat ke tangan dan badan mereka. Ketiga utusan Senapati Ronggonoto yang sudah jadi perampok itu hanya bisa menunggu pagi, saat adzan subuh melenyapkan pengaruh aji sirep mereka. Entah apa yang akan mereka hadapi esok pagi, Ukur tak mau berpikir sejauh itu. Biarlah, toh mereka orang-orang yang telah dewasa, yang tahu risiko apa yang mereka kerjakan.
Malam itu Ukur sibuk membagi-bagi harta rajakaya milik si rentenir. Sedikitnya orang-orang miskin di tiga dusun bisa ia bagi. Lumayan, bila dipergunakan dengan bijak, bagian masing-masing itu bisa untuk menghidupi keluarga tiga anak selama tiga bulan ke depan. Untuk itu, sama seperti yang dilakukan ketiga penjahat itu, Ukur pun harus merapal aji sirep dari sisi lain. Sisi putih. Ia tak ingin apa yang dikerjakannya diketahui petugas ronda atau siapa pun yang memergoki dirinya.
Usai melakukan hal itu Ukur menuju Masigit. Itu nama umum buat masjid agung Tatar Ukur. Ia sempat mengerjakan beberapa rakaat shalat tahajud, sebelum marbot terbangun dan mengumandangkan adzan subuh. Hati Ukur tergetar. Inilah adzan subuh pertama yang ia dengar di tanahnya sendiri, setelah sekian lama berada di pangumbaraan, tempat merantau yang jauh di Tatar Wetan.
Usai subuh dilihatnya orang-orang tengah mengerumuni unggun yang berkobar-kobar. Penasaran Ukur melipat sarungnya, menyimpannya di bawah pelana sebelum berjalan menghampiri. Ternyata orang-orang itu para pekerja dan pedagang keliling yang siap bekerja. Mereka tengah mengerumuni seorang nenek tukang surabi. Apa yang tadi dari dalam masigit dilihatnya sebagai unggun itu ternyata kayu terbakar yang dipakai untuk mematangkan surabi.
“Euleuh, ngeunah temen ieu mumuluk isuk-isuk ku surabi,” katanya, mendekati mereka, lalu duduk di bangku panjang yang masih menyisakan ruang kosong untuk dua orang. “Wah, enak sekali ya, pagi-pagi sarapan surabi.”
“Euh, sumuhun Aden, mangga calik. Hatur lumayan,” kata si nenek penjual, menyilakan dengan penuh hormat. Ia sebentar berdiri dari duduknya di hadapan tungku, dengan kedua jari tangan masing-masing beradu dalam posisi menyembah. Ukur segera memintanya duduk dan kembali beraktivitas. Orang-orang yang lain pun agak menyibak, tak enak terlalu dekat duduk dengan kaum menak. Beberapa bahkan segera andeprok[1] di tanah.
Mereka hanya mau kembali duduk setelah Ukur paksa-paksa berkali-kali. Itu pun tampak jelas bahwa mereka sungkan dengan kehadirannya. Bagaimanapun keberadaan Ukur memang tak dapat ditutup-tutupi. Meski ia hanya menggunakan pakaian yang sama dengan yang mereka pakai, tutur kata, gerak-geraknya tak mampu menyembunyikan dirinya yang berdarah biru, terah menak Sunda itu.
Di sana Ukur mengisi perutnya dengan tiga surabi. Dua surabi oncom yang kata pedagangnya dijual para penjual oncom dari Pasir Reungit, sepotong lagi surabi yang ditaburinya dengan potongan pisang. Nikmat sekali makan surabi pagi-pagi, apalagi didorong dengan kopi hitam yang direbus, bukan diseduh.
Kopinya konon diambil dari Gunung Galunggung, dipetik hanya buah-buah yang masak memerah, berlomba dengan para codot dan luwak pemakan kopi. Setelah dibersihkan dari kulit dan dijemur hingga kering, kopi-kopi itu disangrai hingga hitam mengarang, mengeluarkan bau harum yang tak tertandingi.
“Haturan, Aden. Kopi nu ditutu ku nini-nini,” katanya merendah, menyodorkan batok kelapa berisi kopi pahit dengan kopi tubruk yang masih mengambang. “Silakan Raden, kopi yang ditumbuk nenek-nenek.“ Ia juga mengangsurkan sebongkah gula merah dari nira yang berwarna merah bening menggiurkan.
“Kalau yang di depan itu bangunan apa, Pak?” tanya Ukur pada seorang lelaki tua di dekatnya.
“Oh, itu Bale Watangan, Den. Penjara.”
“Kalau itu?” Ukur menunjuk sebuah rumah besar di seberang masjid. Rumah itu tampak mewah, dan terjaga ketat. Beberapa penjaganya terlihat mondar-mandir melihat ke arah mereka. Tapi tak ada seorang pun yang beranjak. Mungkin bau kopi yang wangi dan ruap surabi matang membuat perut mereka lapar.
“Itu mah rumah Kanjeng Bupati Sutapura,” jawab si bapak.
Sukar sekali Ukur mendapatkan jawaban tentang siapa sebenarnya Bupati Sutapura. Kebanyakan rakyat kecil itu takut untuk berkata jujur tentang perilaku bupati itu. Mereka banyak menutup-nutupi. Tapi Ukur memang tak ingin menyusahkan orang-orang kecil itu. Ada banyak cara orang kecil untuk membuka persoalan, mengutarakan kekecewaan.
Tak harus dengan bicara gamblang tentang apa yang mereka rasakan. Senyum yang mereka kembangkan sebagai jawaban pertanyaan, tawa renyah namun terdengar ada nada getir di sana, atau jawaban pendek semacam,”Yaa, begitulah..” sudah merupakan jawaban bagi para pejabat yang sensitif.
“Bagaimana kalau orang itu kita ganti saja?” tanya Ukur, seolah berkelakar. Pertanyaan itu hanya dijawab dengan tawa riuh orang-orang kecil itu. Namun dari mata mereka Ukur tahu, bahkan kalau pun Bupati Sutaputa perlaya dibunuh seseorang, mereka tak keberatan. [bersambung/gardanasional.id]
[1] Bersila di tanah dengan sikap hormat
Dipati Ukur ; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [21]: Dari Kelambu Ranjang yang Terbuka