Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale BandungDipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Sunda : Pasukan yang Menyerbu dalam Lapar

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Sunda [31]: Pasukan yang Menyerbu dalam Lapar

Ukur beberapa saat tepekur. Tak mungkin dirinya menggerakkan pasukan yang tengah diamuk lapar pada saatnya nanti

Balebandung.com – Pagi berikutnya, pasukan Sumedang-Ukur kembali bergerak. Dari Jayagiri mereka turun ke Subang, membelok ke kiri mengarah Purwakarta. Tengah hari berikutnya rombongan delapan ribu prajurit itu telah berada di tepian Dermaga Cimanuk, tempat kapal-kapal bertambat di Karawang.

Di situlah titik pertemuan pasukan Sumedang-Ukur yang dipimpin Dipati Ukur dengan pasukan Mataram. Pasukan yang lewat laut akan dipimpin Tumenggung Bahureksa. Sementara sebagaimana yang Ukur ketahui, ada pula ribuan pasukan darat dari Mataram yang juga direncanakan bergabung di sini. Ukur belum mendengar siapa yang akan memimpin pasukan darat. Yang pasti, komando tertinggi pasukan Mataram berada di tangan Tumenggung Bahureksa.

Persoalannya, siapa yang lebih tinggi dalam komando penyerangan itu di antara dia dan Bahureksa? Tak ada satu penjelasan pun dalam surat yang diterimanya tentang hal itu. Menilik pangkat, Tumenggung Bahureksa adalah Bupati Kendal, seorang bupati. Sementara dirinya saat ini adalah seorang wedana, pejabat yang mengatur beberapa bupati yang membawahi kabupaten.

Dengan kata lain, dari jenjang kepangkatan, Ukur lebih tinggi dari Bahureksa. Persoalannya, tentu saja tak setiap pangkat yang lebih tinggi harus selalu menjadi komando tertinggi di dalam peperangan. Hanya tentu saja, bila ada keterangan tertulis soal itu, itu jauh-jauh lebih baik daripada terjadinya kesimpangsiuran seperti yang tengah dihadapi Dipati Ukur.

“Dirikan tenda, kita berkemah di sini, menunggu sampai para wadya bala Mataram datang. Baru setelah itu kita menggempur Batavia bersama-sama,” kata Ukur kepada para senapatinya.

Para senapati segera memerintahkan para anak buah mereka untuk mendirikan tenda. Tak berapa lama seluruh lahan kosong di sepanjang Dermaga Cimanuk itu sudah penuh dengan tenda. Para prajurit pun sudah diperintahkan beristirahat. Sebagian langsung berbaring dalam tenda. Ada pula yang terjun ke batang sungai, mandi membersihkan diri, melunturkan daki dan debu yang menempel sepanjang perjalanan. Namun tak kurang-kurang pula yang langsung berjalan-jalan, berkeliaran entah mencari apa.

Esoknya pasukan Sumedang-Ukur belum bergerak karena pasukan Tumenggung Bahureksa pun belum juga kelihatan batang hidung mereka. Kesepakatannya jelas, tanggal 15 Agustus kedua pasukan akan bertemu di sini di Dermaga Cimanuk. Pasukan Tumenggung sebagian datang dari laut, masuk ke muara Cimanuk dan bertemu dengan pasukan Sumedang-Ukur. Sebagian lainnya yang jumlahnya berkali lebih banyak diperkirakan sudah akan datang dari arah jalanan pantai utara Jawa. Pasukan itu berangkat dari Mataram dengan menyusuri tepian pantai, hingga bergabung juga di tempat ini.

Hingga hari ketiga pasukan yang mereka tunggu tak juga datang. Bila pada hari pertama dan kedua keterlambatan kedatangan pasukan itu disyukuri karena membuat mereka bisa beristirahat dan membuka peluang para prajurit nakal untuk sedikit mencari kesenangan, tidak demikian saat ini.

Terlambat tiga hari dari perencanaan yang longgar, membuat pasukan Sumedang-Ukur bertanya-tanya, ada apa gerangan dengan pasukan Mataram? Benarkah mereka jadi berangkat dan pada saatnya bersama-sama menyerbu Batavia? Atau tidakkah hanya pasukan Sumedang-Ukur yang sebenarnya diminta menyerang Kompeni, sementara Keraton Jawa sendiri tak mempersiapkan wadya bala?

Pada hari kelima dan enam, rumor sudah mulai meruap kuat di antara prajurit. Diam menunggu hanya membuat para prajurit Sumedang-Ukur bisa bertukar desas-desus yang akhirnya hanya membuat mental mereka kian terganggu. Ada kabar, Kompeni telah mencium gerakan itu dan menyerang Mataram lebih dulu. Timbul desas-desus saat itu pasukan Mataram telah dihancurkan sebelum mereka tiba di Cirebon!

Persoalan makin rumit manakala senapati bagian perbekalan datang melapor bahwa logistik menipis. “Makanan hanya cukup buat tiga hari ke depan, Kanjeng Dipati,” kata dia saat datang melapor kepada Ukur. “Setelah itu prajurit kita akan bertempur dengan perut kelaparan.”

Ukur beberapa saat tepekur. Tak mungkin dirinya menggerakkan pasukan yang tengah diamuk lapar pada saatnya nanti. Ia kini dihadapkan kepada dilema, apakah harus sendirian menyerang Batavia tak bersama-sama pasukan Mataram, atau menunggu sampai kapan pun pasukan yang dijanjikan itu datang dan sama-sama maju menggempur?

“Kita tunggu sampai besok siang, bagaimana?” tanya Ukur kepada para senapatinya. Wajahnya meminta pertimbangan sahabatnya, Ngabei Tarogong.

“Iya, sebaiknya memang begitu. Bila besok siang wadya Mataram tak juga datang, mungkin kita bisa segera berangkat ke Batavia, tetap pada tujuan semula,” kata Ngabei Tarogong menjawabkan yang lain.

“Kaula berpendapat lain,” tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan rapat. Ki Somahita ternyata. Ukur mempersilakan Umbul Sindangkasih itu meneruskan bicara.

“Kita tetap di sini, menunggu pasukan Mataram benar-benar datang. Bila mereka datang, kita bergerak bersama mereka menyerbu Batavia…”

“Kalau tidak?” Ngabei Tarogong memotong.

“Kalau tidak, ya kita tetap menunggu di sini.”

“Sampai kapan? Sudah enam hari kita menunggu, belum ada tanda-tanda hidung mereka jebul.[1]” Suara Ngabei Tarogong meninggi. “Lagi pula, lihat ke dapur umum. Bekal kita sudah tipis. Kalau empat hari lagi pun mereka jadi datang, prajurit kita bertempur dalam lapar.”

Ki Somahita diam. Hanya mulutnya yang terkatup sebal dan roman wajahnya menunjukkan ketidaksukaaannya kepada Ngabei Tarogong. Tentu saja, gampang dipastikan bahwa ia pun tak menyukai Ukur.

“Masih ada yang mau bicara dan mengajukan pendapat?” tanya Ukur. Rapat yang dihadiri para senapati dan umbul itu tetap hening.

“Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu sampai besok siang. Bila mereka tak muncul, kita jorag Batavia dengan kekuatan kita sendiri. Jangan pernah merasa dipermainkan Keraton Mataram. Sudah jadi garis tangan kita untuk menjaga harkat dan martabat prajurit Sunda. Kita tetap menggempur, ada atau tidak prajurit Mataram.”

Ukur berkata sambil menelisik satu demi satu wajah para senapatinya. Ia tak ingin satu wajah pun lolos dari tatapannya. Ia ingin tahu seberapa dalam semangat bertempur para senapatinya.

Malam itu para prajurit Sumedang-Ukur telah mendapatkan kepastian. Kini mereka rata-rata tidur lebih tenang, meski kepastian tentang apa yang akan dilakukan esok hari pun tetap saja membuat sebagian prajurit justru tegang. Terutama para prajurit baru dan tenaga relawan yang belum pernah mengalami jurit. Belum pernah membunuh, tegasnya. Mereka tak bisa membayangkan bahwa esok hari atau lusa harus membenamkan mata tombak ke lambung atau dada lawan, menebas leher lawan dan membuat para musuh perlaya. Harus, karena kalau tidak artinya merelakan nyawa mereka sendiri yang lepas meninggalkan raga.

Esoknya, waktu penentuan itu pun datanglah. Sejak pagi para senapati Sumedang-Ukur dan segenap prajurit yang ada berdebar-debar menantikan apa yang terjadi. Bila pasukan Mataram datang, setidaknya wadya bala mereka jauh lebih besar sehingga serbuan mereka akan menjadi laiknya air bah menerjang para Kompeni. Bila tidak, ya tak apalah. Banjir setidaknya. Atau mungkin hanya akan disebut genangan oleh para warga pinggiran Batavia yang gemar memakai pakaian bermotif kotak-kotak.

Waktu lohor datang dan pasukan yang dijanjikan itu pun tak juga kelihatan. Pasukan Sumedang-Ukur pun menggelar shalat jamaah. Saat matahari mulai bergeser dari ubun-ubun, Ukur mulai terlihat tak sabar. Seolah gatal, ia tak bisa diam duduk di satu tempat.

“Siapkan pasukan, kita berangkat!” akhirnya ia berkata kepada Ngabei Tarogong yang segera mengumpulkan senapati untuk menghimpun pasukan. Masih perlu sehari perjalanan kaki dengan istirahat yang cukup untuk tiba di Batavia. Lusa adalah hari yang menentukan apakah saat itu dirinya masih hidup dan menemani sahabat dan tuannya,Ukur, atau tidak. [bersambung/gardanasional.id]

[1] Datang

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Sunda [30]: Seperti Barisan yang Berangkat ke Bubat

spot_img
BERITA LAINYA

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img