Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale BandungDipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Sunda ; Ini Hari Terbaik untuk Mati!

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Sunda [35]; Ini Hari Terbaik untuk Mati!

Balebandung.com – Pada sore Tumenggung Bahureksa mengirimkan carakanya ke Dipati Ukur, yang dituju tengah berkumpul bersama para pemimpin pasukannya. Tak seorang pun dari pimpinan pasukan yang alpa hadir waktu itu, kecuali beberapa Umbul yang telah perlaya.

Ukur menerima caraka itu langsung di depan para anak buahnya. “Silakan, apa yang Tumenggung amanatkan padamu, ceritakan. Jangan kau tutupi bahkan pada bagian yang kau pikir akan membuatku marah. Insya Allah, aku tak akan marah padamu. Kau sekadar penyambung lidah, tak lebih,”kata Ukur. Ia lihat sejak awal kedatangannya caraka itu terlihat gundah.

Caraka itu sebentar terkesiap. Ia beruntung bertemu pejabat tinggi seperti Ukur yang mengerti posisi petugas seperti dirinya.

“Sendika Kanjeng Dipati. Hamba akan menuturkan seperti apa yang hamba dengar. Semoga Kanjeng Dipati bisa bersabar,” kata Caraka. Tetap saja ia merasa tidak sepenuhnya aman untuk menuturkan pernyataan Tumenggung Bahureksa secara apa adanya.

“Katakan saja. Aku minta kau percaya akan diriku. Kepercayaanmu sungguh merupakan penghormatan yang tinggi untukku,” jawab Ukur.

Tidak perlu diminta kedua kalinya, Caraka itu segera menuturkan ulang apa yang didengarnya dari penuturan Tumenggung Bahureksa. Alih-alih hanya menyampaikan amanat Bahureksa yang meminta Ukur saat itu datang sendiri menghadapnya di Marunda, Caraka juga menyampaikan kondisi pribadi Tumenggung Bahureksa saat itu.

“Kanjeng Tumenggug sangat marah karena Kanjeng Dipati dan pasukan, begitu pula Kanjeng Tumenggung Mandurareja tidak menunggu kedatangan pasukan Kanjeng Tumenggung yang datang lewat laut. Kanjeng Tumenggung sampai bicara soal aturan hukum keprajuritan Mataram soal pembelotan. Bagi Kanjeng Tumenggung, apa yang Kanjeng Adipati lakukan tak lain dari pembelotan,” kata dia, lancar.

“Hm…begitu ya,” kata Ukur. Ia sempat tercenung sejenak. Soal itu bukan tak pernah ia pikirkan. Ia juga mendapatkan latihan dan didikan keprajuritan Keraton Mataram hingga tahu pasti apa yang ia hadapi. Hanya tadinya ia berpikir Bahureksa akan tahu diri dan mempertimbangkan kesalahannya dulu yang menjadi penyebab semua ini: ia telat datang hingga sepekan lebih. Apa saja yang ia lakukan di laut sehingga telat begitu lama untuk misi yang ia tahu sepenting itu? Apa kecantol sebuah stasiun tv dan ikut dulu acara Mancing Mania? Yang benar saja!

Ukur akhirnya menganggap memusyawarahkan hal itu sangatlah penting. Bagaimanapun nasib yang menunggunya di kapal Tumenggung Bahureksa, akan berdampak kepada nasib sekian ribu anak buahnya di sini.

“Caraka!,”kata Ukur kemudian. “Pulanglah kembali. Katakan kepada majikanmu, aku akan memusyawarahkan dulu apakah aku harus ke sana atau tidak. Bila rapat memutuskan harus, aku akan ke sana menghadap. Bila tidak, jangan ditunggu. Namun jangan pernah menganggap diri dan pasukanku membelot. Majikanmu harus lebih dulu melihat dirinya sendiri, melihat apa yang telah ia lakukan hingga membuat tak ada pasukanku dan pasukan Tumenggung Mandurareja yang menunggunya di Karawang.”

Usai berkata demikian Ukur membuka kanjut kundangnya, mengeluarkan beberapa koin perak yang segera ia berikan kepada caraka itu.

“Kau menghadapi kemungkinan buruk. Ini untukmu. Apapun yang kau lakukan sekeluar dari area pasukanku, itu sepenuhnya hakmu,” katanya kepada Caraka itu. Artinya, bila Caraka itu kabur karena takut menyampaikan pesannya, setidaknya koin-koin itu bisa berguna dalam pelariannya.

Caraka Mataram tersebut menerima koin-koin perak itu dengan raut muka yang sukar digambarkan. Ada kegembiraan di sana, tapi bukan perasaan itu yang terlihat mendominasi. Ia bahkan terlihat sedih, ngungun, seolah kehilangan seorang yang selama ini sangat ia sayangi. Setelah menyembah kaki Ukur yang dengan segera pula Ukur tolak dengan mengangkat bahunya, caraka itu segera bergegas menuju kudanya, lalu berangkat meninggalkan markas pasukan Ukur di Jatina Nagara.

“Bagaimana menurut kalian semua, pimpinan prajurit? “ tanya Ukur kepada para pemimpin pasukannya. Semua Umbul memberikan pandangan mereka. Mayoritas meminta Ukur tak datang menghadap. Menurut mereka, tumenggung Mataram itu hanya tengah mencari kambing hitam yang bisa dia berikan kepada tuannya di Keraton Wetan. Bukan untuk mencari solusi penyerangan yang gelagatnya akan meminta waktu lama ini. Bagaimana pun sampai saat ini baik pasukan Sumedang-Ukur maupun pasukan Mataram belum bisa mencari strategi jitu untuk bisa mengalahkan pasukan Kompeni.

Tetapi ada juga sementara Umbul yang mengusulkan sebaliknya. Mereka meminta Ukur datang dengan alasan itu yang terbaik bagi pasukannya. Mereka tak banyak, di antaranya dikenal Ukur sebagai umbul-umbul yang selama ini pun memang sering kali bermuka dua. Ada empat umbul, yakni Ki Somahita dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti dan Ki Wirawangsa dari Sukakerta. Ada lagi seorang umbul yang kurang Ukur kenal, Umbul Indihiang Galunggung.

“Baiklah, terimakasih untuk kalian semua. Apapun yang kalian nyatakan tentu menjadi bahan pertimbanganku. Aku telah mengambuil keputusan pribadi, sebelum meminta pendapat kalian semua. Kini setelah mendapatkan pandangan kalian masing-masing, tekadku sudah kuat. Aku tak akan datang menghadap Tumenggung Bahureksa. Bukan aku takut, tapi yang lebih kutakutkan adalah nasib kalian andai saja.

Tumenggung Bahureksa memang sengaja menjadikan aku tumbal dari kesalahan awal yang ia lakukan, telat sampai sepekan lebih. Kupikir lebih baik kita bertahan menyerang dari sini, menunggu para Kompeni itu lengah atau bahkan kehabisan bubuk api. Kalau kita beranjak dari sini, kupikir itu akan membuat klaim Bahureksa bahwa kita memberontak akan dipandang nyata oleh Raja Mataram,” kata Ukur panjang lebar.

“Sendika!”

“Sapuuk!”

“Setuju! Buat apa menghadap orang keras kepala yang tak mau mengakui kesalahannya sendiri? Kita tetap di sini, menyerang Kompeni!” kata Bupati Karawang.

***

Pasukan Ukur tetap bermarkas di Jatina Nagara, sebagaimana pasukan Tumenggung Bahureksa bermarkas di Marunda dan pasukan Tumenggung Mandurareja di daerah yang kemudian bernama Mataraman. Nyaris tak ada komunikasi yang baik di antara ketiga pasukan itu, terutama dengan pasukan Ukur. Setiap pasukan seolah-olah bertempur sendiri, menjalankan strategi dan taktik perang sendiri tanpa koordinasi dengan pasukan lain yang sebenarnya memiliki cukup personel.

Alhasil, hingga nyaris dua pekan lebih penyerangan, tak ada kemajuan yang dihasilkan ketiga pasukan yang menjalankan pengepungan pasukan Kompeni yang berdiam di banteng-benteng itu. Apalagi pasukan Mataram pun tak memiliki armada laut yang kuat yang mampu menutup jalur pasukan dan logistik pasukan Kompeni yang selalu dipasok dari arah laut oleh kapal-kapal Kompeni yang sebagian merapat di Dermaga Pulau Onrust.

Pada 11 September 1628[1], Pasukan Dipati Ukur mulai menggali garis pertahanannya ke arah depan mendekati Kota Batavia. Garis pertahanan tersebut diperkuat dengan kayu dan tumpukan tanah. Pembangunan garis pertahanan tersebut dilakukan sejak awal dan memakan waktu sekitar setengah bulan.

Kejadian yang ditunggu-tunggu Ukur pun akhirnya terjadi juga. Pada 12 September 1628[2], mendadak pasukan Kompeni keluar benteng mereka. Bagaimana pun itu lebih baik dibanding terus menyaksikan anak buahnya terbunuh manakala mencoba memanjat benteng kukuh yang mereka jaga dengan sangat ketat. Hampir tak ada waktu semenit pun penjagaan benteng itu lengah.

Ukur menyaksikan berapa banyak wadya bala Mataram pimpinan Tumenggung Mandurareja berkelojotan kehilangan nyawa manakala mencoba memanjati benteng untuk bertarung dari jarak dekat yang masih mungkin mereka menangkan.

Serangan itu dipimpin seorang kapten tampaknya. Paling tidak dari epaulet yang terpampang di bahunya. Sebagian penyerang menggunakan kuda, sementara sebagian besar lainnya dari aneka bangsa menyerang dengan berlari. Yang membuat kedua penyerang itu sama adalah masing-masing personel menggunakan setidaknya sepucuk bedil dan sebuah bedil yang lebih pendek lagi.

“Mungkin itu yang kudengar sebagai flintok[3], tampaknya,” kata Ukur membatin. Ia sempat mendengar saat bertugas sebagai prajurit Mataram, pada 1610 ditemukan senjata genggam yang bisa meledak sama seperti bedil. Mekanismenya juga sama, dengan memasukkan bubuk api, memadatkannya dengan merojok-rojoknya kuat-kuat sebelum memasukkan sebutir peluru. Dengan sebuah sentilan kecil pada pemicu, maka peluru besi pun terlontar ke arah musuh yang disasar.

Ukur segera memacu kudanya ke tengah pasukan. Dengan teriakan dahsyat ia mengeluarkan perintah. “Bentuk formasi Ratuning Bala Sariwu! Bentuk formasi Ratuning Bala Sariwu! “

Teriakan Ukur bersambut gerakan pasukan. Pasukan yang tadi tersebar tiba-tiba seolah menemukan semangat dan kesadarannya untuk kembali bertempur, bahkan menghadapi pasukan dengan persenjataan jauh lebih mutakhir dibanding yang mereka miliki.

“Prajurit, siap mapag nyawa. Teuing nyawa musuh atawa nyawa dia. Siap-siap urang begalan nyawa! Prajurit, persiapkan diri untuk menghadapi ajal. Tak tahu apakah nyawa musuhmu atau nyawamu sendiri. Persiapkan diri untuk bertaruh nyawa!” teriak Umbul Tarogong, diikuti hampir semua pimpinan pasukan.

Mata Umbul Tarogong berkaca-kaca terhalang air matanya yang hendak tumpah. Telah lama ia menantikan momen-momen ini, momen seorang prajurit Sunda menghadapi kematian yang nyata di depan. Dulu, sekian ratus tahun lalu karuhun atau moyangnya disebut-sebut perlaya di medan Bubat, bertarung mencari kematian bersama-sama Prabu Linggabuana, maharaja Pajajaran saat itu. Kini, meski bukan dengan raja Pajajaran yang memang telah musnah ditelan masa, kebanggaan Umbul Tarogong tak berkurang.

“Aing rek paeh ngabelaan lemah cai Sunda. Aing paeh lain sabab sumerah ka Raja Jawa. Aing begalan nyawa lantaran ceuk ageman aing, Islam, begalan nyawa ngabela hak eta jihad inyana! Bismillahi Allahu Akbar! Mungkin sebentar lagi aku perlaya meregang nyawa membela tanah Sunda. Aku akan mati tidak karena kewajibanku terhadap Raja Jawa. Aku bertaruh nyawa karena menurut agamu, Islam, bertaruh nyawa membela hak itu tak lain dari jihad. Bismillahi Allahu Akbar!” teriak Umbul Tarogong.

Sebentar para umbul lain dan sekian ratus pasang mata prajurit memandangnya. Lalu tanpa komando ratusan orang tadi meneriakkan kata-kata sama, menggelagar membelah udara Batavia. Sekian ratus orang siap mati demi membela hak dan harga diri. [bersambung/gardanasional.id]

[1] http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/viewFile/15/6
[2] ibid
[3] Pistol flintlock sudah dikenal sejak abad ke-16. Flintlock juga kadang disebut kunci (lock) Prancis, karena ditemukan Marin le Bourgeoys, seorang pembuat senjata dari Prancis yang bekerja untuk Raja Henry IV. Ia menemukan mekanisme ini sekitar tahun 1610. Cara kerjanya sangat sederhana, ketika pelatuk ditarik, percikan api akan muncul dan meledakkan bubuk mesiu.

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Sunda [32]: Dari Ronin Sampai Pria Taucang Pelindung Benteng

spot_img
BERITA LAINYA

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img