Balebandung.com – Alkisah dahulu kala setelah Situ Sipatahunan mengering, di sebelah barat situ berdiri sebuah kerajaan bernama “Megamendung. Rajanya Sang Purwakarta bergelar Raja Mandala. Sang raja mempunyai prameswari bernama Sang Dewi “Nyimas Plered”.
Sang Raja dikaruniai sembilan putra laki-laki. Nama para putra raja tersebut dinamai dengan sebutan Mandala. Putra sulung bernama Mandalawangi, kedua Mandalagiri, ketiga Mandalacipta, keempat Mandalarsa, kelima Mandalajati, keenam Mandalabraja, ketujuh Mandalaseta, kedelapan Mandaladenta, dan kesembilan Mandalaraga.
Sekalipun kerajaan itu terkenal subur makmur gemah ripah lohjinawi, namun Sang Maharaja tetap saja murung. Sebab ia menginginkan lahirnya seorang putri sebagai momongan. Kemudian, sang raja dianjurkan oleh para pendeta untuk bertapa di puncak gunung di atas kawah air panas.
Maka, berangkatlah sang raja bertapa untuk mendapatkan petunjuk Hyang Widi. Akhirnya, permohonan dalam tapanya itu dikabulkan. Saat sang raja pulang, Sang Dewi “Nyimas Plered” hamil dan melahirkan seorang putri yang cantik jelita. Putri tersebut diberi nama Dewi Mandalasari.
Betapa sayangnya sang raja terhadap putrinya tersebut. Sampai-sampai ia melupakan putra-putranya yang lain. Bahkan, urusan pemerintahan dan kepentingan rakyatnya pun diabaikannya. Setiap harinya, sang raja hanya bermain dan menimang-nimang putrinya di Kaputren.
Keadaan itu membuat Sang Dewa murka. Seorang raja tak sepantasnya berlaku demikian. Pemimpin tidak boleh mementingkan kesenangan pribadinya, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat dan negaranya.
Maka, Sang Dewa menurunkan penyakit kulit yang tiada obatnya. Penyakit kulit itu mewabah pada hampir seluruh rakyat Megamendung. Selain itu, seluruh wilayah kerajaan mengalami kekurangan air karena kemarau panjang.
Kenyataan demikian, membuat Sang Raja tersadar dari kekhilafannya. Ketika beliau menerima laporan dari para petinggi kerajaan, tampak begitu sedih dan menyesali. Ia tak tahu harus berbuat apa untuk rakyatnya. Sang Raja mengutuk dirinya sendiri atas apa yang telah diperbuatnya. Begitu pula kepada putra-putranya, ia minta maaf karena selama ini telah mengabaikannya.
Kemudian Sang Raja mengadakan “Simewaka” semacam sidang para petinggi dan abdi dalem kerajaan. Beliau meminta saran dan pendapat dari para pembantunya dalam mengatasi keadaan “Tigerat” yang melanda negerinya.
Salah seorang pendeta “Mpu Sadang “ menyarankan agar Sang Raja bersemedi di hulu sungai, tempat “cai raat” untuk meminta petunjuk Hyang Widi. Menurut para pendeta itu, hanya sang rajalah yang akan diterima permohonannya oleh Dewa. Maka, akhirnya usul tersebut disetujui oleh sang raja. Ia pergi bertapa dengan perasaan berat harus meninggalkan putri kesayangannya.
Berbulan-bulan Raja Mandala bertapa, belum juga Ia mendapat wangsit Dewa. Sementara itu, rakyat Kerajaan Megamendung makin dicekam kelaparan dan penyakit. Hujan pun tak kunjung datang. Pohon-pohon mulai layu, rumput pun menjadi kering, hamparan kerajaan Megamendung tampak kusam berdebu. Nyimas Plered mengajak para wanita untuk membuat kendi atau gentong untuk sekedar menampung embun agar bisa mendapatkan setetes air.
Hinggga pada suatu malam purnama, tiba-tiba terdengar petir menyambar, dan bumi bergunjang. Seluruh rakyat Megamendung ber-”rame-rame” berteriak “cai-cai….!!!”. Namun sampai pagi pun tiba, hujan tak kunjung turun.
Ternyata, pada malam itu, sang raja mendapat wangsit dari Dewa. Wangsit itu bersabda, jika ingin negerinya kembali subur makmur dan terhindar dari wabah penyakit, maka sang raja harus membuang putri bungsunya ke hulu Sungai Citarum, di hutan sebelah selatan Situ Sipatahunan.
Sesaat Sang Raja tercenung dengan menerima wangsit tersebut. Ia dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Jika ia memilih kebahagiaan dirinya, maka rakyat dan negara akan binasa. Bila ia memilih rakyat dan negaranya, maka ia harus menderita dengan kehilangan putri kesangan satu-satunya.
Lama sang raja berpikir tentang hal itu. Namun sebagai seorang raja, ia harus rela berkorban demi negaranya. Lalu ia bergegas pulang ke kerajaan, dan mengabarkan hal itu kepada istrinya.
Betapa terkejut Sang Dewi Nyimas Plered mendengar hal itu. Ia menangis sejadi-jadinya. Ibu mana yang akan rela kehilangan putri satu-satunya, terlebih dengan cara seperti itu.
Konon menurut cerita, air mata Nyimas Plered ini memenuhi kendi yang sedang dibuatnya sampai-sampai “cai rata” dengan bibir kendi tersebut. Namun ia tiada kuasa menolak perintah wangsit Dewa, sekalipun hatinya hancur harus kehilangan belahan jiwanya.
Maka berangkatlah sang raja membawa putrinya ke Hulu Sungai Citarum di hutan sebelah selatan danau Situ-Sipatahunan, walaupun sudah “pada melarang” oleh para pembantunya. Namun Sang Raja tetap kukuh pada pendiriannya. Kata Sang Raja, “aku rela melakukan ini demi rakyatku, yang penting cai mahi untuk sanagara”.
Kepergian Sang Raja diam-diam diikuti oleh ketiga putranya yaitu : Mandalawangi, Mandalagiri, dan Mandalacipta. Mereka bertekad untuk menjaga adiknya yang dibuang sambil mencari kedigjayaan.
Ketika sampai di suatu bukit, Sang Raja berdiri di atas batu untuk “Sindang” istirahat sejenak. Di atas batu itu, pikiran Sang Raja melayang-layang pada masa lalu “nyoreang katukang.” Saat ia begitu bahagianya menimang-nimang putri kesayangannya ini. Namun sekarang, belahan jiwanya ini harus dibuang ke hutan.
Walaupun demikian, ia pun berkeyakinan bahwa dewa akan menjaga putrinya ini. Konon tempat istirahat Sang Raja itu di sebut Sindang Kerta, Batu Layang, dan Soreang.
Saat Sang Raja beristirahat dan melihat ke belakang, ia kaget melihat tiga pemuda yang diam-diam mengikutinya. Lalu dipanggilnya ketiga pemuda itu yang ternyata putra-putranya. Betapa marah Sang Raja dan menyuruh ketiga anaknya itu berdiri di atas “batu berjajar.”
Sang Raja bersabda, “kalian jangan meragukan kekuasaan Hyang Widi atas semua ini. Pasti kelak di kemudian akan menjadi banjaran bagja bagi kita semua”. Betapa malu dan takutnya ketiga putra mahkota tersebut. Maka mereka pun berpamitan pada ayahandanya untuk pergi berkelana.
Sesampainya di Hulu Sungai Citarum, Sang Raja meletakkan bayinya itu di sela-sela akar pohon yang bercabang. Raja berdoa dan memohon kepada Hyang Widi, “Ong santi-santi, semoga Dewata mengabulkan pengorbananku ini”.
Berlinanglah air mata Sang Raja ketika melihat bayinya tersenyum saat diletakkan di bawah pohon itu. Pergilah Sang Raja meninggalkan putrinya itu dengan rasa berat hati. Konon ceritanya daerah Hulu Sungai Citarum dikenal dengan nama Cisanti.
Syahdan, segerombolan penyamun (badog) yang begitu kejam di bawah pimpinan Ki Dasta, sampailah di tempat itu. Ketika mereka mau istirahat di bawah pohon yang rindang, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi yang diiringi suara gamelan.
Tiba-tiba dalam pikiran Ki Dasta terbayang-bayang hidup tenang di rumah dengan rengekan bayi. Dan saat suara tangis bayi itu semakin keras Ki Dasta memerintahkan anak buahnya mencari asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari bawah pohon yang bercabang.
Aneh juga, keajaiban terjadi. Ki Dasta yang begitu kejam tanpa belas kasihan, hatinya menjadi lemah dan terenyuh melihat bayi perempuan itu. Timbullah kasih sayang dalam hatinya untuk merawat dan membesarkan bayi itu.
Kata Ki Dasta, “Karena aku temukan bayi ini di sela-sela pohon tarum dan tiba-tiba aku mengasihinya, maka bayi ini akan kurawat dan kujadikan Raja dengan nama Sela Asih”.
Semua anak buah Ki Dasta merasa kaget bercampur bahagia. Akhirnya mereka akan menetap di satu tempat, tidak berpetualang lagi. Sampai di tepi rawa di sisi Situ Sipatahunan, Ki Dasta memerintahkan anak buahnya membangun padepokan. Maka berdirilah bangunan kokoh yang terbuat dari bambu atau “galah” sebagai tempat berlatih kedigjayaan.
Tempat itu dinamai “Kedathon Saung Galah”. Di tempat itu pula Sang Dewi Mandalasari atau Dewi Sela Asih dididik dan dibesarkan menjadi seorang putri yang sakti mandraguna. Dan setelah dewasa, Dewi Sela Asih dinobatkan menjadi Ratu Saung Galah dengan gelar Raja Dasta. Konon tempat-tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kadatuan, Cisunggalah, dan Raja Desa.
Kerajaan Saung Galah yang berada di tengah-tengah pesisir Situ Sipatahunan, kemudian dikenal sebagai wilayah Madyalaya. Daerah yang subur banyak mengandung emas, dan berbagai macam sumber makanan bagi penduduknya.
Kerajaan Saung Galah begitu kaya, sehingga setiap gerbang masuk wilayah kerajaan dibangun dengan emas. Gerbang tersebut dinamai Dorawati yang artinya pintu gerbang kerajaan perempuan. Konon sampai sekarang dikenal tempat-tempat atau nama desa Drawati.
Pada suatu ketika, Ki Dasta Sang Maha Patih mengumumkan suatu sayembara untuk calon suami pendamping Dewi Sela Asih. Siapa saja yang mampu menundukan Dewi Sela Asih, ia akan dijadikan suami Sang Dewi dan sekaligus menjadi Raja di Madyalaya.
Tentu saja sayembara atau perang tanding itu diminati oleh para ksatria dari berbagai negara. Berlangsunglah adu tanding melawan Dewi Sela Asih. Namun tak seorang pun yang mampu memenangkannya.
Tersebutlah seorang pengembara bernama Mandalawangi yang datang ke tempat itu. Ia mendengar kabar bahwa Kerajaan Madyalaya sedang mengadakan sayembara untuk calon suami Ratu Sela Asih.
Atas dukungan Mandalagiri dan Mandalacipta, Raden Mandalawangi turut serta dalam sayembara itu. Setelah pertarungan tujuh hari tujuh malam, akhirnya, cuma gara-gara tersentuh ujung payudara Sang Dewi, maka ia pun menyatakan kalah dari Raden Mandalawangi. Dan akhirnya Raden Mandalawangi dinyatakan sebagai pemenangnya.
Pesta perkawinan dilaksanakan begitu meriah selama tujuh hari tujuh malam. Pada saat malam pengantin, tiba-tiba terjadi gempa yang dahsyat disertai hujan badai dan halilintar. Rupanya Hyang Widi tidak merestui pernikahan mereka yang ternyata kakak beradik seibu sebapak. Bumi pun menjadi gelap dan halilintar bersahutan.
Kedua mempelai itu terpental bersama tempat tidurnya “kasur” ke arah timur. Keesokan harinya berdiri kokoh tiga gunung yang berjajar yaitu Gunung Selasih, Gunung Kasur, dan Gunung Mandalawangi.
Begitulah dongeng rakyat tradisional ini. Konon Gunung Selasih itu adalah jelmaan Dewi Selasih, sehingga selalu rimbun ditutupi pohon. Syahdan, katanya kalau kemarau panjang, dan melakukan pembersihan rumput di Gunung Selasih, maka akan turun hujan. Katanya hal ini karena Sang Dewi merasa malu.
Kemudian Guagarba Sang Dewi, konon diidentikan dengan Gua Karang Gantungan. Dan gunung Mandalawangi sebelah timur Gunung Salasih berdiri kokoh melindunginya.
Kini, di sebuah bukit bernama Karanggantungan, terdapat sebuah batu bergantung terlilit akar-akar pepohonan. Di bawahnya ada sebuah makam kuno. Banyak yang percaya itu adalah makam Raja Majapahit, Hayam Wuruk. Konon, seusai Perang Bubat, Hayam Wuruk pernah lama tinggal di daerah ini dan menjadikannya sebagai pusat pelatihan jagabaya dalam rangka membantu pertahanan Kerajaan Sunda Galuh setelah masa Prabu Linggabuana.
Sementara di kaki Gunung Selasih, Desa Karangtunggal, tak jauh dari situs Sawung Galah, terdapat beberapa makam tua yang dikeramatkan. Salah satunya adalah makam Embah Karang, seorang resi yang berpengaruh besar dari Kerajaan Sawung Galah. Di kawasan ini terdapat habitat kera dengan jumlah yang selalu tetap 40 ekor.
Di puncak Gunung Selasih, ada situs makam Dewi Sela Asih Cakraningrat. Kawasan gunung ini termasuk dalam hutan larangan yang tidak boleh sembarang dimasuki. Saat pasukan Banten menyerbu, Ratu Sawung Galah, Nimbang Waringin, meminta agar seorang tumenggung membawa putrinya, Dewi Sela Asih, kepada Embah Karang. Namun tumenggung yang malah jatuh cinta itu membawanya ke sebuah bukit yang sekarang dikenal dengan nama Pasir Tumenggung.
Sementara itu kerajaan Sawung Galah telah hancur dan mereka tak mungkin kembali lagi. Dewi Sela Asih meminta agar setelah wafat dimakamkan saja di puncak gunung yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Selasih. ***
Reka carita : Aom Vanriest/E.T. Rustanto, 2008.