Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale BandungSangkuriang, Bukan Sekedar Sasakala

Sangkuriang, Bukan Sekedar Sasakala

Film Sangkuriang dan Dayang Sumbi, diperankan Cliff Sangra dan Suzzanna, 1982. by ist

Balebandung.com – Sasakala Sangkuriang menjadi cerita rakyat atau folklore yang begitu familiar di Tatar Sunda. Bukan sekedar dongeng atau sasakala, kisah Sangkuriang dikenal juga sebagai kisah dibalik terbentuknya konstur Bandung Raya yang berbentuk cekungan yang dilingkung, dikelilingi gunung-gunung. Ya, sah-sah saja, namanya juga dongeng.

Cerita kisah tentang Sangkuriang, tak hanya ditemukan di Gunung Tangkuban Parahu. Nama Sangkuriang juga ada di balik Gunung Burangrang dan Bukit Tunggul, tentunya Danau Purba Bandung, yang saat ini sudah menjelma menjadi Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.

Ngaprak di Bandung Barat yang pernah saya lakukan, carita Sangkuriang tidak ditemukan di Lembang saja, tempat Tangkuban Parahu dan Bukit Tunggul berada. Termasuk tidak hanya di Kecamatan Cisarua dan Cikalong Wetan di mana Burangrang bagian selatan berada.

Carita Sangkuriang, jejaknya saya temukan juga di Cipongkor, tempat di mana Sangkuriang kecil hidup. Di Saguling Sungai Kahuripan diyakini tempat mandinya Dayang Sumbi kala itu.

Kisah Sangkuriang juga saya temukan juga di Kecamatan Cipatat, ceritanya hidup di masyarakat di mana nama-nama tempat seperti Gunung Pabeasan, Pasir Hawu, Pasir Bancana, Pasir Manik, tidak lepas dari kisah Sangkuriang saat berkelana. Termasuk, Karang Panganten tempat di mana pertemuan kembali antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi.

Gunung Lagadar, di Kecamatan Batujajar adalah tempat di mana Dayang Sumbi mengibarkan kain putih, sebagai upaya menggagalkan usaha Sangkuriang mencapai tujuannya.

Hmmm…, ternyata sasakala Sangkuriang adalah lebih banyak bercerita tentang Bandung Barat. Termasuk ceritanya ada di balik Sanghyang Poek, Sanghyang Heuleut, dan Sanghyang Tikoro yang terkenal itu.

“Tentu saja buat kita, orang-orang awam yang bukan sejarawan, kisah Sangkuriang yang diungkap oleh Drs. Warsito S. Benar benar memukau dan menimbulkan surprise. Kisah Sangkuriang yang sementara ini dianggap sebagai legenda atau mitologi tanpa dasar kenyataan, menurut pengungkapan sumber di atas ternyata merupakan peristiwa untaian sejarah Indonesia kuno, sungguh membingungkan ….(Semerbak Bunga di Bandung Raya, Haryoto Kunto, hal 82-83).

Berikut adalah Kisah Sangkuriang dari salah satu referensi yang ditemukan, benar tidaknya saya pun tidak bisa memberikan keyakinan atau otentifikasi lebih. Yang patut saya sampaikan bahwa Sangkuriang bukan sekedar mitos, namun benar-benar untaian sejarah peradaban Bandung kuno.

***

Syahdan di sebuah pegunungan, hiduplah seorang guru yang juga tokoh masyarakat yang dihormati dan disegani oleh warganya karena pengalaman hidupnya dan karena pemikirannya.

Ki Astana namanya. Masyarakat dalam hidupnya menjalankan falsafah-falsafah, nilai-nilai yang diajarkan oleh Ki Astana. Ki Astana punya istri nan cantik jelita bernama Dayang Sumbi. Masyarakat sekitar mengenal Dayang Sumbi sebagai orang pintar (supranatural). Dari pernikahan keduanya lahir seorang anak tampan bernama Sangkuriang.

Sangkuriang beranjak remaja, dalam kungkungan dogma-dogma kehidupan yang didoktrinkan ayahnya Ki Astana. Akan tetapi pemuda Sangkuriang lebih memilih mencari jalan pemikiran sendiri.

Hingga ujung proses pencarian tersebut, Sangkuriang menemukan agama keselamatan, Aslama, Islam. Dan dari sinilah konflik pemikiran muncul, antara Ki Astana dan anaknya Sangkuriang.

Ki Astana berpikiran bahwa manusia (fisik/raga) adalah hamba dari pemikirannya. Maka fisik atau raga ini harus setia pada pemiliknya, pada tuannya, yakni pemikiran tentang kehidupan dan kebijaksanaan yang selama ini Ki Astana sampaikan kepada rakyat di sekitarnya.

Ki Astana mengibaratkan anjing yang dibesarkan oleh tuannya, hingga akhirnya anjing tersebut setia dan menjadi penurut terhadap tuannya yang mengurus.

Ya.., anjing ibarat manusia dan tuan adalah pikiran dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Inilah yang kemudian mendasari berubahnya kisah tersebut, sehingga menjadi dongeng dan hingga kini dongeng telah tersampaikan, sampai opini terbentuk, bahwa ayah Sangkuriang adalah seekor anjing.

Perdebatan dan pertentangan akan perbedaan keyakinan antara ayah dan anak semakin tajam. Sangkuriang menginginkan ayahnya mengikuti agama yang dia yakini sekarang. Sementara ayahnya tetap bersikeras mempertahankan pengetahuan dan keilmuan yang dia miliki dari perjalanan hidupnya.

Sayang, pertentangan tersebut berujung pada terbunuhnya Ki Astana oleh Sangkuriang. Kematian Ki Astana inilah yang membuat Dayang Sumbi murka kepada Sangkuriang, dan mengusir Sangkuriang dari kehidupan Dayang Sumbi.

***

Babak baru, babak pengembaraan Sangkuriang dimulai. Yang dia lakukan adalah menuntut ilmu, mempelajari ajaran Islam yang baru ia temukan itu. Hingga tiba akhirnya, Sangkuriang karena rasa sayang kepada ibunya, Dayang Sumbi, maka ia datang kembali kepada ibunya dan mengajak Dayang Sumbi agar ikut dalam agama yang semakin diyakini Sangkuriang.

Sementara semenjak kematian Ki Astana suaminya, Dayang Sumbi karena cintanya pada Ki Astana semakin meyakini dan menjalankan keyakinan dari almarhum suaminya.

Pada titik tertentu, akhirnya Sangkuriang berpandangan bahwa dalam konteks kemanusiaan tidak ada yang salah dalam ajaran ayahnya yang sekarang dianut oleh ibunya. Hanya konsep ketuhanan saja yang tidak dimiliki oleh ajaran ayahnya ini.

Akhirnya Sangkuriang memaksa kepada ibunya Dayang Sumbi agar menyatukan atau mengawinkan ajaran yang dianut ibunya, dengan ajaran Islam yang diyakini Sangkuriang. Namun Dayang Sumbi menolak dengan keras, dan dia menghindar pertemuan dengan Sangkuriang, tetapi anaknya itu terus mengejar dan mencarinya.

Hingga suatu ketika pada titik lelah, akhirnya Dayang Sumbi menyerah dan siap menyatukan pokok-pokok pikir ajaran suaminya dengan ajaran agama Islam yang dianut oleh Sangkuriang.

Tentunya dengan syarat, yakni membuat danau sebagai simbol dunia dan perahu sebagai pelayaran. Karena pada hakekatnya manusia hidup di dunia itu bagaikan perahu yang berlayar di lautan.

Lalu bekerja keraslah Sangkuriang, membendung Citarum dan membuat beberapa perahu besar. Dalam kapasitasnya sebagai supranaturalis, Dayang Sumbi gagalkan usaha Sangkuriang, dengan mengibarkan kain putih dan ayam pun berkokok tanda pagi datang. Maka habislah waktu bagi Sangkuriang dalam memenuhi syarat yang diajukan Dayang Sumbi.

Murkalah Sangkuriang, hingga beberapa perahu dia tendang, dan ada beberapa perahu jatuh ke tanah dalam posisi tengkurap (nangkub).

Dalam benak Sangkuriang berkata, “Ibuku sayang Dayang Sumbi, anakmu hanya sekedar ingin berikan bukti akan cintaku pada ibu yang melahirkanku. Kalau ibu berpandangan bahwa perahu adalah alat berlayar di kehidupan, maka berlayarlah di jalan yang benar. Tentunya saya akan marah jika kita berlayar di jalan yang salah. Akan saya tendang mereka seperti perahu itu, hingga akhirnya perahu tersebut sujud (nangkub) di atas bumi-Nya.

***

Suatu ketika, berceritalah Sangkuriang atas apa yang dialaminya kepada Bujangga Manik. Sejarah dan sejak kapan kisah ini ada, tidak pernah diketahui secara jelas. Namun, naskah yang ditulis oleh Pangeran Jaya Pakuan atau lebih dikenal dengan nama Bujangga Manik pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, memuat kisah Sangkuriang ini. Naskah berisi lima baris bait sastra berbahasa Sunda kuno ditulis pada daun nipah kering tersebut, tersimpan di perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford Inggris sejak tahun 1627.

Catatan sejarah dalam naskah ini berisi 29 lembar daun nipah, masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang tersusun atas delapan suku kata Bahasa Sunda. Sebuah catatan sejarah yang mengejutkan bukan? *** by Iwan Hd, berbagai sumber.

spot_img
BERITA LAINYA

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img