Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale BandungMengenang Sukarno & Inggit Garnasih

Mengenang Sukarno & Inggit Garnasih

by Harjoko Sangganagara, Dosen & Politisi

Balebandung.com – Sukarno (1901-1970) termasuk salah satu lulusan HBS yang sedikit itu. Ia pun termasuk mahasiswa dan lulusan THS (Technische Hogere School) yang pertama. THS didirikan di Bandung dalam rangka politik etis di Hindia Belanda. Tugas akhirnya di THS mengenai konstruksi jembatan. Ia kemudian mampu menjembatani keanekaragaman pandangan politik dan keyakinan bangsa Indonesia dan menjadi bangsa yang merdeka.

Sukarno lahir di Surabaya, 6 Juni 1901. Ayahnya Raden Sukemi Sosrodihardjo berprofesi sebagai guru sekolah kelas dua. Ibunya bernama Ida Nyoman Rai. Lahir dengan nama Kusno, namanya diganti menjadi Sukarno saat berumur lima tahun, karena sakit-sakitan. Nama Sukarno diilhami dari nama Karna dalam pewayangan, tokoh ksatria yang pandai membalas budi. Sukarno sejak kecil menyukai wayang dan mengagumi tokoh bernama Bima yang tegas dan selalu berjuang menegakkan keadilan.

Ia mempunyai seorang kakak bernama Sukarmini. Sukemi mendidik Sukarno dengan disiplin keras. Sarinah (pembantu di rumahnya) amat menyayanginya. Tidak heran nama Sarinah diabadikan menjadi toko serba ada yang pertama di Indonesia.

Sukarno menuntut ilmu di sekolah desa di Tulungagung hingga kelas lima. Kemudian ayahnya menyekolahkannya di ELS (Europese Lagere School). Ia harus mengikuti les Bahasa Belanda untuk menutupi kekurangannya dalam mata pelajaran itu. Setamat ELS pada usia 15 tahun ia diterima di HBS (Hogere Burger School) di Surabaya atas bantuan Tjokroaminoto. Ia pun mondok sambil berguru pada Ketua Sarekat Islam itu.

Di tempat itu mondok Muso, Alimin, Kartosuwiryo dan Darsono. Bahkan Tan Malaka pernah mondok di rumah ini. Mereka pun sering bertukarpikiran satu sama lain. Di kota ini pula pada usia 16 tahun ia menjadi anggota Tri Koro Darmo (Tiga Tujuan Suci) yang kelak bernama Jong Java.

Dari berbagai muridnya Tjokroaminoto paling suka dengan Soekarno hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Soekarno. Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”.

Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.

Setelah menamatkan studinya di HBS, pada Juni 1921 ia melanjutkan studinya di THS (Tenische Hogere School) di Bandung. Atas bantuan Tjokroaminoto pula ia mondok di rumah Haji Sanusi. Di kota ini ia bergabung dalam Algemene Studieclub yang dididirikan di Bandung pada 29 November, atas inisiatif bekas anggota Perhimpunan Indonesia, tokoh nasionalis kota Bandung dan para mahasiswa THS.

Ia pun menjadi singa podium dan dipercaya memimpin majalah bulanan Indonesia Moeda. Di majalah ini Sukarno menulis Nasionalisme-Islamisme-Marxisme dan melihat kesamaannya dalam menentang kapitalisme imperialisme dan kolonialisme.

Sukarno sempat cuti dari kuliahnya karena mertuanya, Tjokroaminoto, sakit. Ia pun harus bekerja di jawatan kereta api untuk membiayai keluarga. Pada saat itu ia pun menceraikan istrinya, Oetari, dan menyerahkannya kepada Tjokroaminoto.

Tidak lama kemudian ia menikah dengan Inggit Garnasih, induk semangnya. Setelah menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1926 ia terjun sepenuhnya ke politik dan mendapat dukungan sepenuhnya dari Inggit.

Sukarno sempat menjalankan profesinya sebagai insinyur dan turut merancang beberapa bangunan di Bandung seperti Hotel Preanger dan sebuah sekolah serta rumah di Jl. Gatot Subroto. Namun panggilan politik lebih kuat dan iapun mendirikan partai bernama PNI (Partai Nasional Indonesia).

Suatu ketika Sukarno mendayung sepedanya di pesawahan Bandung Selatan dan bertemu seorang petani bernama Marhaen. Nama itu kemudian digunakannya sebagai nama paham hasil penggaliannya, Marhaenisme.

Pada tahun 1930 pemerintah kolonial menyeret Sukarno dan rekan-rekannya ke pengadilan Kabupaten Bandung. Pengadilan menuntut Sukarno dengan hukuman 4 tahun, Gatot Mangkupradja dengan hukuman 2 tahun, Maskun dengan hukuman 20 bulan dan Supriadinata dengan hukuman 15 bulan.

Sukarno mengajukan pembelaan yang kemudian dibukukan menjadi Indonesia Menggugat. Buku ini menarik perhatian dunia internasional. Bung Karno menjalani hukuman di Penjara Banceuy, kemudian Penjara Sukamiskin. Sementara itu PNI dibekukan oleh Sartono, tokoh PNI yang tidak ikut ditangkap. Sementara Mohammad Hatta dan Sjahrir membentuk PNI-Baru.

Saat keluar dari penjara Sukarno mencoba menyatukan keduanya namun tidak berhasil. Ia pun bergabung dengan Partindo yang dipimpin Sartono. Pada kongres Partindo yang pertama ia terpilih menjadi ketua, membuka cabang di berbagai kota dan menerbitkan majalah Fikiran Ra’jat. Pada saat inilah ia menulis risalah Mencapai Indonesia Merdeka (1933).

Pemerintah Belanda di bawah Gubernur Jendral De Jonge menangkapnya. Tanpa proses pengadilan Sukarno dibuang ke Ende, Flores. Pada 17 Februari 1934 Sukarno – yang terkenal dengan panggilan Bung Karno- berlayar menuju tempat pembuangan didampingi istrinya Inggit Garnasih, ibu mertua dan putri angkatnya, Ratna Djuami.

Di Ende, Sukarno memperdalam agama Islam dan berkorespondensi dengan A. Hasan, ulama dari Bandung. Surat menyurat mereka diterbitkan dengan judul Surat-surat Islam dari Ende.

Pada awal 1938 Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu. Di sini ia menjadi ketua bidang pengajaran Muhammadiyah dan aktif menulis artikel keislaman pada majalah Panji Masyarakat.

Selain itu ia juga turut merancang arsitektur Masjid Raya Bengkulu yang masih terpelihara hingga saat ini. Ia juga mendirikan kelompok sandiwara seperti waktu berada di Ende. Ia menulis naskah menjadi sutradara dan bermain. Kegemarannya melukis nampaknya tidak tersalurkan seperti saat di Ende.

Ia justru jatuh cinta pada Fatmawati putri Hasan Din, aktivis Muhammadiyah. Fatmawati adalah teman sekolah putri angkatnya, Ratna Juami. Dari sini pula, hubungan dengan Inggit mulai retak.

Ketika Jepang mendarat di Palembang ia dilarikan pemerintah Belanda ke Padang. Ia kemudian dibawa tentara Jepang ke Jawa dan pada bulan Juli 1942 mendarat di pelabuhan Pasar Ikan Jakarta.

Jepang yang mempropagandakan diri sebagai “saudara tua” memanfaatkan Sukarno untuk menghimpun massa melalui Putera (Pusat Tenaga Rakyat) bersama Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K.H. Mas Mansyur. Melalui Putera Jepang, mengerahkan romusha (kerja paksa) yang mendapat protes dari para pemuda. Putera kemudian dibubarkan dan pada tahun 1944 berdiri Jawa Hokokai yang dipegang Gunseikan dan Sukarno menjadi penasihatnya.

Jepang melaui PM Koiso pun berjanji akan memberi kemerdekaan. Jepang mengundang Sukarno dan Hatta ke Saigon pada 9 Agustus 1945 dan memberi wewenang kepada keduanya menentukan saat kemerdekaan Indonesia. Kembali ke Indonesia Sukarno berpidato, bahwa sebelum jagung berbunga Indonesia sudah merdeka.

Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 lewat pidatonya Bung Karno mengajukan lima butir pemikiran yang kemudian ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia merdeka dan diberi nama Pancasila. Karena itu ia dipandang sebagai penggali Pancasila.

Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945 menyusul dijatuhkannya bom atom oleh AS di Nagasaki dan Hiroshima. Para pemuda menculik Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 dan membawa mereka ke Rengasdengklok.

Namun malamnya mereka dibawa kembali ke Jakarta atas upaya Ahmad Subardjo. Malam itu diadakan rapat PPKI. Menjelang dinihari teks proklamasi sudah tersusun. Pada hari Jumat bulan Ramadhan, tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 Sukarno -atas nama bangsa Indonesia- membacakan teks proklamasi kemerdekaaan itu di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Lahirlah Negara Indonesia yang merdeka.***

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img