SOREANG, Balebandung.com – Tahun 2020 ini, Kabupaten Bandung menjadi dua dari lima percontohan korporasi petani di Indonesia. Yang pertama korporasi petani kopi dan yang kedua korporasi petani sayuran. Sedangkan tiga lainnya yaitu korporasi padi di Indramayu dan Demak, serta korporasi peternakan di Subang.
Di Indonesia akan dibentuk 350 unit korporasi di seluruh kegiatan pertanian. Bagi Kementerian Pertanian (Kementan), korporasi merupakan hal baru. Oleh karenanya melalui tim, Kementan mengidentifikasi bentuk korporasi yang tepat dan apa saja komoditasnya.
“Dari kelima korporasi percontohan itu, komoditas kopi merupakan yang paling lengkap dari sisi prosedur yang ditempuh. Korporasi percontohan ini akan didukung kebijakan dari Kementerian Pertanian, Koperasi dan UKM, Perdagangan dan Perindustrian dan Kementerian Luar Negeri,” papar Penjabat Sekretaris Daerah (Pj. Sekda) Kabupaten Bandung H. A. Tisna Umaran, saat membuka acara Focus Group Discussion (FGD) Major Project Kopi di Bale Winaya Soreang, Kamis (17/12/20).
Korporasi, tutur Pj. Sekda, adalah kelembagaan ekonomi petani berbadan hukum yang bisa berbentuk koperasi ataupun Perseroan Terbatas (PT). Untuk kopi, pihaknya sudah menyepakati bahwa badan hukumnya berbentuk PT.
“Tapi kepemilikan sahamnya itu nanti diarahkan sebesar-besarnya menjadi saham petani. Para petani sendiri akan didorong untuk bergabung dalam koperasi tani. Sudah ada beberapa koperasi yang lengkap dari sisi prosedur, dalam arti sudah menyetor modal. Pihak Kementan juga sudah mem-back up dari sisi penganggaran,” tutur Tisna Umaran.
Tisna mengungkapkan, Presiden mengarahkan kepada Kementan, untuk membentuk korporasi petani. Dengan pertimbangan bahwa selama ini petani di Indonesia tidak terintegrasi di dalam bisnis.
“Petani selama ini dianggap merupakan sub bagian di pinggir, sementara bisnis dikelola oleh pedagang. Tentu banyak persoalan yang dihadapi oleh petani. Pada saat komoditas melimpah harga anjlok, pada saat komoditas sedikit harga melambung tinggi. Tapi di sisi lain, yang menikmati harga tinggi itu bukan petani, tapi malah pedagang,” bebernya.
Ia berharap, dengan dibentuknya korporasi, akan menjadi satu kesatuan antara petani dengan manajemen bisnis. “Jadi, dulu ada definisi atau pengertian, bahwa pertanian itu adalah kegiatan bercocok tanam, sekarang harus bergeser ke arah bisnis. Petani sekarang diharapkan berorientasi pada bisnis,” ucapnya.
Persoalan pada komoditas kopi yang dialami petani saat ini, menurut Tisna yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung itu, adalah varietasnya yang belum seragam. Walaupun sebenarnya, keberagaman varietas memiliki kelebihan karena memiliki pasar peminatnya.
“Tapi dalam skala bisnis, ini harus di-mapping. Misalkan Jepang suka varietas Linie S, jadi satu hamparan kebun itu Linie S. Sehingga jika nanti ada bisnis atau peninjauan ke lokasi, kita tinggal tunjuk di mana lokasinya. Sedangkan saat ini, satu petani menanam beragam varietas di satu hamparan kebun. Tentu ini kurang baik dari sisi manajemen bisnis,” terang Tisna.
Sekda juga mengungkap persoalan lain yang masih dihadapi, di mana para petani kopi masih memiliki budaya hortikultura “Kebanyakan ingin setelah panen, secepatnya dijual. Padahal untuk komoditas ini, bila melalui pengolahan terlebih dahulu, itu ada nilai tambahnya. Selain itu juga akan menyerap tenaga kerja,” kata Sekda Kabupaten Bandung.***