KOTA BANDUNG — Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menghimbau masyarakat Jawa Barat tak mudah tergiur iming-iming rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS).
Masyarakat dihimbau tidak mudah percaya kepada pihak-pihak yang mengaku bisa menjadikan honorer menjadi PNS dan atau seseorang jadi PNS dengan memberikan sejumlah uang.
Bahkan, imbuh gubernur, masyarakat juga harus mewaspadai informasi rekrutmen yang belakangan berasal dari sejumlah portal dan laman palsu karena bukan bersumber dari info valid pemerintah pusat/daerah.
“Saya himbau tidak mudah tergiur, selalu waspada. Sebab, rekrutmen PNS saat ini tidak sembarangan dan prosedur yang ditempuhnya pun demikian ketat. Apalagi harus bayar dulu di muka, itu penipuan,” imbau Heryawan di Bandung, Kamis (18/2/16).
Ketatnya prosedur di Pemprov Jawa Barat terlihat dalam pengangkatan honorer, yang mana batasan masa kerja dan persyaratan lain diatur dengan selektif dan menyulitkan rekayasa.
Aher mencontohkan proses rekrutmen honorer di sejumlah dinas, yang semula kandidatnya banyak, namun kemudian tersisa sedikit ketika proses tanggungjawab dilimpahkan kepada pimpinan di dinas tersebut.
“Ketika saya ubah mekanisme bahwa penanggungjawab utama data validitas honorer kepada kepala dinas, bukan di gubernur, maka dengan sendirinya data yang diajukan menjadi lebih valid,” ungkapnya.
Aher mengungkapkan rekayasa persyaratan honorer masih bisa ditemui. Karena itulah, dia dan jajarannya menyeleksi ketat agar muncul kesetaraan dan keadilan bagi semua pihak.
“Jangan mau enaknya saja (diangkat jadi PNS), tapi tanggungjawabnya ada di saya. Kami kemudian ubah sistemnya dengan keabsahan dan tanggungajwab data harus dari awal, harus dari kepala dinasnya,” kata dia.
Hal senada ditegaskannya terkait rekrutmen PNS dari masyarakat umum. Penerimaan saat ini tak sebanyak sebelumnya, dengan kuota kursi PNS pun relatif terbatas dibandingkan sebelumnya.
Dengan keterbatasan itu, maka jangan mudah percaya kepada para pihak yang menjanjikan bisa memberikan kuota PNS dengan mudah. Terlebih jika harus membayar dahulu, maka situasi tersebut sangatlah ganjil.
“Pastikan masyarakat umum memperoleh informasi resmi dari sumber formal, misalnya laman kementerian atau pemerintah daerah. Bukan dari informasi informal, yang sulit dipertanggungjawabkan,” sarannya.