BMKG Akui Belum Punya Teknologi Deteksi Puting Beliung

oleh
oleh
Gubernur Jabar Ridwan Kamil saat meninjau lokasi bencana angin puting beliung di Komplek Perum Rancaekek Permai 2, Desa Jelegong Kec Rancaekek Kab Bandung, Senin (14/1/19). by Humas Jabar

JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 553 insiden puting beliung di Tanah Air sepanjang tahun 2018. Catatan tersebut menjadikan puting beliung sebagai bencana hidrometeorologi (bencana yang terkait dengan parameter meteorologi) tersering yang melampaui catatan 61 insiden banjir.

Dengan catatan tersebut, Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sebagai lembaga pengamat cuaca, sayangnya belum memiliki teknologi yang bisa mendeteksi dini kejadian puting beliung. Ini karena radar dan satelit cuaca yang dimanfaatkan BMKG baru bisa memperbarui data per 10 menit. Sedangkan puting beliung terjadi dalam periode waktu yang lebih singkat daripada 10 menit.

“Kalau secara spesifik untuk puting beliung, masih susah,” kata Mulyono Prabowo, Deputi Bidang Meteorologi BMKG dilansir indopress.id, Jumat (24/11/18). “Sebab, durasi puting beliung paling lama dua hingga lima menit,” imbuhnya.

Menurut Mulyono, kalaupun berlangsung hingga 10 menit, putaran angin puting beliung biasanya sudah pecah sehingga sulit tertangkap mata radar atau satelit. Selain soal durasi, puting beliung yang terjadi di Indonesia juga tergolong berskala kecil, dengan radius putaran rata-rata hanya 100 hingga 500 meter, sehingga radar BMKG akan kehilangan jejaknya. “Kalau radar dan satelit bisa memonitor per menit, kami bisa mendeteksi puting beliung.”

Radar dan satelit cuaca yang digunakan BMKG hanya bisa menangkap gejala puting beliung, seperti kemunculan awan kumulonimbus. Awan ini akan menghasilkan angin kencang dan kemudian hujan lebat.

Masih Numpang Satelit Cuaca Negara Lain

Mulyono juga menyebutkan, hingga kini BMKG belum memiliki satelit cuaca sendiri. Indonesia masih menumpang satelit cuaca milik Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Satelit cuaca negara-negara itu berada di atas Indonesia.

“Sebab, satelit cuaca akan strategis jika disimpan di atas langit kawasan tropis, yang tidak lain adalah Indonesia,” jelas Mulyono. “Tapi BMKG punya akses untuk memanfaatkan datanya,” akunya.

Baca Juga  Mendagri Wisuda 980 Praja IPDN Jatinangor

Selain satelit, ada 41 radar yang tersebar di sejumlah titik di seluruh Indonesia. Radius tiap radar mencapai 150 hingga 200 kilometer. Radar untuk Jakarta yang berada di Tangerang, misalnya, mampu menjangkau Bandung Selatan dan Kepulauan Seribu.

“Dengan radar, kami bisa mengetahui daerah mana yang berpotensi memiliki pertumbuhan awan kumulonimbus,” kata Mulyono. “Dalam 2 hingga 3 jam, kami akan memberi peringatan dini terkait angin kencang dan hujan lebat, tapi belum secara khusus untuk puting beliung,” tukasnya.***

No More Posts Available.

No more pages to load.