BALEBANDUNG – Sejak runtuhnya Kerajaan Sunda pada 1579, pusat kekuasaan di Jawa Barat terpecah-pecah menjadi beberapa bagian. Pada abad ke-17, sebagian wilayah yang nantinya disebut Priangan, dibagi menjadi beberapa kabupaten yang masing-masing dipimpin oleh seorang bupati. Salah satu diantaranya adalah Kabupaten Bandung.
Bupati-bupati di Pulau Jawa mengalami pasang surut dalam kedudukan dan peranannya. Bila pada masa kekuasaan VOC, (1602-1799) para bupati memiliki kekuasaan yang amat besar selaku penguasa tradisional, maka pada masa kekuasaan Hindia Belanda, tepatnya sejak masa Daendels (1808-1811) mengalami kemerosotan karena adanya pembatasan-pembatasan.
Mereka diangkat menjadi pejabat-pejabat penerima gaji yang ditempatkan dalam suatu kerangka kerja yang diawasi secara langsung oleh pemerintah pusat. Pada masa Tanam Paksa (1830-1870), kedudukan para bupati dipulihkan kembali dengan tujuan mendapatkan dukungan mereka dalam pelaksanaan politik eksploitasi itu.
Secara khusus, utamanya sejak masa VOC, di wilayah Priangan diberlakukan Preangerstelsel yang memanfaatkan ikatan tradisional-feodal antara bupati dan rakyatnya untuk kepentingan perdagangan VOC. Dalam sistem ini, para bupati diwajibkan menyerahkan hasil bumi tertentu dengan mendapatkan ganti rugi yang besarnya ditentukan oleh VOC. Penyerahan wajib ini disebut verplichte leverantie.
Pada 1 Januari 1871, Preangerstelsel dihapuskan, bertepatan dengan dilakukannya Reorganisasi Priangan. Wilayah Priangan dibagi menjadi sembilan afdeling yang masih-masing diperintah oleh seorang asisten-asisten. Di antara afdeling-afdeling itu, ada yang bersatu dengan kabupaten, ada pula yang berdiri sendiri. Bandung termasuk dalam kelompok pertama.
Setelah reorganisasi ini, kekuasaan para Bupati Priangan merosot sekali karena adanya asisten-residen yang sebenarnya menjadi pemegang kekuasaan di afdeling/kabupaten; selain itu, wilayah kabupaten juga berkurang karenan sebagian dijadikan wilayah afdeling baru. Bupati dipojokkan dalam status seremonial belaka. Sekalipun demikian, bupati masih diberi peranan sebagai pengatur produksi agraria dalam rangka eksploitasi pemerintah kolonial. Untuk itu, bupati mendapatkan persenan (bagian) dari penghasilan penanaman kopi di samping gaji bulanan.
Dalam situasi demikianlah, Raden Adipati Aria Martanagara diangkat sebagai Bupati Bandung ke-10 pada 1893. [Hanca]
Di-online-kan Dalam Rangka Memperingati Hari Jadi Kab Bandung ke-375, 20 April 2016.
Sumber :
– Garlika Martanegara
– Nina H Lubis, Konflik Elite Birokrasi; Biografi Politik Bupati RAA Martanagara