SOREANG – Belakangan ini banyak masyarakat yang asal memasang polisi tidur atau marka kejut atau speed bumper di badan jalan, tanpa mengikuti aturan. Padahal jalan merupakan fasilitas umum yang bisa digunakan siapa saja.
Bupati Bandung Dadang Naser mengatakan pembuatan polisi tidur tidak bisa dilakukan sembarangan. “Pembuatan polisi tidur itu ada aturannya, tidak boleh sembarangan,” tandas bupati kepada Balebandung.com, Jumat (22/9/17). Apalagi, imbuh bupati, jika jalan tersebut sudah dibeton.
“Apalagi kalau yang dipasangi polisi tidur itu jalan yang sudah bagus sudah dibeton. Tidak boleh dipasangi polisi tidur sembarangan, karena bisa merusak jalan. Jalan betonnya bisa pecah. Jadi, harus seizin Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan dari Dinas Perhubungan,” imbuh Dadang.
Menurut bupati, idealnya polisi tidur yang dipasang yaitu yang terbuat dari bahan karet atau plastik, bukan lagi berbahan semen.
Tujuan polisi tidur dibuat memang untuk mengendalikan kecepatan kendaraan dan mengantisipasi kecelakaan lalulintas. Tapi banyak juga yang menilai keberadaan “polisi tidur” itu bisa saja malah mengganggu kenyamanan pengguna jalan.
Bahkan sampai menyebabkan kecelakaan dan merusak kendaraan jika pembuatannya tanpa memperhatikan aturan. Misalnya, desain yang dibangun warga juga dinilai tidak sesuai dengan aturan dan jarak yang satu dengan yang lain sangat berdekatan, sehingga mengganggu kenyamanan pengguna jalan.
Karena itu Dinas Perhubungan Kabupaten Bandung mengimbau kepada masyarakat agar memperhatikan aturan dalam memasang polisi tidur di badan jalan, agar tidak mengganggu kenyamanan pengguna jalan lainnya.
Kepala Dishub Kab Bandung Tedi Kusdiana didampingi Kasi Rekayasa Lantas Dishub Kab Bandung, Isnuri Winarko mengatakan, untuk membuat “polisi tidur” sebenarnya baik warga maupun kontraktor atau pengembang perumahan harus mengajukan permohonan izin Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) setempat.
“Tapi sampai saat ini, dari seluruh “polisi tidur” yang ada di jalan lingkungan di Kabupaten Bandung, belum ada satupun yang meminta izin ke Dishub. Bila memang tidak sesuai aturan dan malah membahayakan, tidak menutup kemungkinan “polisi tidur” itu akan ditertibkan, bahkan dibongkar,” ungkap Tedi kepada Balebandung.com, Jumat (22/9/17).
Sebab menurut Kadishub, pembuatannya pun harus memenuhi ketentuan dan persyaratan teknis tertentu yang diatur dalam Keputusan Menteri (KM) Nomor 3 Tahun 1994 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Jalan.
“Untuk ukuran polisi tidur, dimensi tinggi 12 cm, dengan lebar ke atas 15 cm, dan kemiringan 15 % sehingga lebar bawah boleh disesuaikan,” sebut Tedi.
Tedi menegaskan pemasangannya pun harus seizin pemerintah melalui Dishub, karena polisi tidur hanya boleh dibuat pada jalan pemukiman atau jalan kelas IIIC yang sedang dalam kontruksi.
Polisi tidur atau pita penggaduh dibangun dengan beberapa kriteria diantaranya membantu mengurangi kecelakaan, sebagai sinyal seperti jalan rawan kecelakaan, persimpangan, belok, dekat jembatan, dan lainnya. Dengan demikian, polisi tidur tidak diperlukan jika ruas jalan tersebut tidak dinilai rawan kecelakaan.
Namun, kata Tedi, masyarakat sering kali mengabaikan aturan. Bahkan pembangunan polisi tidur sangat tajam dan tinggi sehingga membahayakan para pengguna jalan. Karena itu, Dishub berencana menertibkan dan membongkar seluruh polisi tidur yang tidak sesuai aturan dan belum berizin. “Tidak hanya di jalan raya, tapi juga di jalan-jalan komplek-komplek perumahan,” tegasnya.
Sebelum memulai penertiban, Dishub akan memetakan jalan-jalan mana saja yang ada polisi tidur atau ada portal yang menutup akses jalan. Jika sudah dipetakan, tim gabungan akan diterjunkan untuk menertibkannya.
Sementara wewenang pemberian izin untuk pembuatan polisi tidur kini sudah dilimpahkan ke kecamatan. Hal ini ditujukan untuk mempermudah proses perijinan. Warga tinggal mengajukan permohonan izin pembangunan polisi tidur ke kelurahan dan akan ditindaklanjuti ke kecamatan. Warga harus mengisi formulir permohonan yang disetujui lurah atau kepala desa yang dilampiri denah lokasi, ukuran dan gambar polisi tidur yang dimohonkan.
Menurut Tedi, kecamatan berhak menolak atau menerima permohonan pembuatan rambu itu dari masyarakat. Izin yang diberikan kecamatan akan diteruskan kepada Dishub, untuk selanjutnya dilakukan kajian teknis perlu tidaknya markah kejut di lokasi dimaksud itu.
“Masyarakat diharapkan mengacu pada aturan yang telah ditetapkan, agar tidak mengganggu kenyamanan pengguna jalan lain, atau membuat pengendara celaka. Sering terjadi juga, polisi tidur yang tidak sesuai aturan bisa menyebabkan rasa sakit terhadap ibu hamil atau orang yang punya gangguan kesehatan,” tutup Tedi.
Jika sudah begitu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung pun menyatakan, bila sampai adanya “polisi tidur” ini mencelakai pengendara, maka sudah haram adanya.[iwa]