Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaBale BandungDipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan : Sarapan Pagi dengan Bakar Mencek

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [17]: Sarapan Pagi dengan Bakar Mencek

Air liurnya seakan tumpah memikirkan daging durian Sindangkasih yang manis dan lengket itu berada di lidahnya. Ilustrasi: gambar karya Gerdi Wirata Kusumah.

Balebandung.com – Ukur bersyukur dirinya telah berani bertanya langsung. Bayangkan, bila ia tetap memelihara pertanyaannya, memelihara kekecewaannya kepada Rangga Gempol, sampai kapan pun nonoman muda di sampingnya itu akan tetap ia pandang enteng. Malah mungkin saja ia lecehkan, sementara sebenarnya pikirannya sendirilah yang dangkal.

“Hatur nuhun Rayi, telah berkenan menghilangkan syak wasangka kakang dengan menjelaskan secara gamblang sikap yang Rayi pilih,” kata Ukur. Tanpa menyatakan langsung permintaan maaf, tangan Ukur terulur, mengajak Rangga Gempol bersalaman.

Saat Wedana itu menyambutnya, tangan Ukur begitu lama menggenggam tangan pengagung yang menyambutnya itu. Mulut Ukur komat-kamit, merapalkan doa dan permohonan kepada Allah yang Maha Kuasa. Ia berharap persahabatan di antara keduanya bisa lebih erat menjadi laiknya saudara.

Penyergapan yang dilakukan Senapati Ronggonoto dan wadya balanya sangat berdampak terhadap perjalanan rombongan Ukur dan Rangga Gempol. Malam itu, saat hari beranjak petang, mereka masih berada di lebatnya hutan. Saat rombongan menemukan aliran sungai kecil yang jernih, Ukur mengajak semua berhenti, menambatkan kuda dan meratakan dataran untuk bermalam.

Sebagian menggunakan sarung untuk tidur, menggantung di antara dua dahan. Sebagian lagi yang tak terbiasa tidur dengan cara itu terpaksa di bawah, mengelilingi unggun api yang segera disulut untuk melawan gelap dan dinginnya malam.

“Kalau besok pagi mau sarapan agak beda, siapkan saja pembagian regu untuk berjaga. Sampai berjaga, sesekali jenguklah tepian sungai. Tak mungkin tak ada binatang yang datang untuk minum. Barangkali saja jadi rejeki kita,” kata Ukur. Para pengawal segera mematuhi saran itu.

Paginya, usai shalat subuh berjamaah dengan Ukur sebagai imam, seorang penjaga mengabarkan semalam mereka berhasil menombak empat ekor kancil. Hasil yang tentu sangat bagus, mengingat mereka tak serius datang ke sini untuk berburu.

“Wah, mencek[1]nya gemuk-gemuk. Bakarlah, kalau tak salah ada yang membawa kecap Cirebon kan?” tanya Ukur. Salah seorang di antara pengawal mengiyakan.

Jadilah pagi itu mereka sarapan daging mencek bakar. Bau bakar daging segar segera meruap ke seantero hutan, mungkin saja merangsang kawanan si belang datang.

Setelah berkuda sekitar sepeminuman empat batang klembak, keluarlah mereka dari alas angker tersebut. Di depan kini terbentang simpang jalan. Satu jalan menuju pesisir Tegal, yang nantinya tembus ke Cirebon, menyusuri yang terus ke arah Sumedang Larang. Satunya lagi ke selatan melalui jalan pedalaman. Jalan itu bila disusuri akan membawa orang ke wilayah Galuh, wilayah bekas kerajaan tua Galuh yang kini telah tiada.

Di simpang jalan itu rombongan berpisah. Rangga Gempol memilih jalan ke Cirebon karena hendak bertemu ayahnya, Panembahan Ratu. Tak elok seorang putra tak mengunjungi ayahandanya saat perjalanannya lewat ke tempat tinggal sang ayah, tentu. Selain itu jalan pesisir pun lebih ramai dan jarang rampok.

Sementara Ukur memilih jalan ke Galuh. Selain memang wilayah Ukur ada di sekitar itu, ia pun sudah sangat ingin sekadar berziarah ke Kabuyutan Gede Kawali yang tak jauh dari sana. Sudah lama Ukur tak berziarah ke tempat-tempat para karuhunnya berkiprah di masa lalu.

Apalagi jalan ke sana harus melewati wilayah Rajagaluh dan Sindangkasih, wilayah penghasil durian terbaik di tatar Parahyangan. Air liurnya seakan tumpah memikirkan daging durian Sindangkasih yang manis dan lengket itu berada di lidahnya.

“Aing juga sudah lama tak berziarah ke Pancuran Cikahuripan di Sindangkasih. Mungkin sehari dua hari aing bisa menginap di sana, bertapa ala kadarnya mengkhidmati perjuangan karuhun, terutama perjuangan Prabu Siliwangi,” kata Ukur, membatin.

Di Sindangkasih memang terdapat pemandian jernih segar yang konon sering didatangi Prabu Siliwangi dan Sunan Talaga Manggung di masa lalu. Mereka berdua disebut-sebut sering tirakat, mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa berdasarkan tata cara yang mereka percaya pada zamannya.

“Ya, aing juga barangkali bisa mendekatkan diri kepada Allah di sana. Tempatnya sempurna untuk merenung, caranya mungkin berbeda karena aing bisa melakukannya dengan shalat sesuai ajaran Kanjeng Nabi.”

“Kita berpisah di sini, Kakang,” kata Rangga Gempol, menyadarkan Ukur. Sedikit terperanjat karena terbangun dari lamunan, Ukur segera menerima tangan terulur Rangga Gempol. Keduanya bersalaman dengan hangat. Rangga Gempol bahkan menawarkan sebagian pengawalnya untuk mengantar Ukur sampai ke Tatar Ukur, namun ditolak Ukur dengan halus.

“Insya Allah Kakang bisa menangani sendiri kalau di jalan ada maung ngamuk gajah meta, sih,” kata Ukur.

“Maafkan Kakang, bukan maksud Rayi merendahkan. Rayi maksudkan para pengawal ini untuk menemani Kakang ngobrol sepanjang perjalanan.”

Ukur tersenyum. Dengan sikap hormat ia menolak tawaran itu. “Rayi tahu, Kakang jenis orang pemalu yang lebih senang berjalan sendiri,” katanya. Akhirnya Rangga Gempol pun tak lagi memaksa.

Sementara Ukur dan Rangga Gempol masih terlibat basa-basi sebelum berpisah, dua utusan dari Mataram telah memasuki Tatar Ukur. Mereka adalah utusan yang dikirim oleh jaringan Senapati Ronggonoto, entah siapa di atasnya di keraton. Ketiganya punya kemenangan waktu sekitar dua hari sebelum Ukur dan rombongannya berangkat pulang.

Begitu di internal keraton tersiar berita bahwa ada penggantian Bupati Tatar Ukur, dari Bupati Sutapura kepada Ukur, meski Sri Sultan belum melantik dan memberikan keris sebagai bukti penugasan, tiga utusan itu telah dikirim. Entah apa pesan yang dikirimkan, tetapi jelas kedatangan mereka ke Tatar Ukur jauh dari mendukung kepentingan Ukur.

Sampai di gapura keraton, ketiga utusan itu lantang menyerukan siapa mereka. Namun para penjaga tak begitu saja meloloskan mereka. Bukan tak hormat kepada Keraton Mataram yang mereka atasnamakan. Tetapi siapa tahu itu sekadar atas nama untuk bertemu Bupati dengan kepentingan yang boleh jadi merugikan Bupati?

Penjaga menahan ketiganya di pos penjagaan, sementara seorang penjaga berlari menuju keraton untuk melaporkan kedatangan ketiga ‘utusan Mataram’ itu. Sempat ketiganya menolak diperlakukan birokratis seperti itu. Namun mau tak mau mereka menerima fakta bahwa mereka hanya bertiga, tak akan menang melawan sepasukan penjaga dengan tombak terhunus yang kini berjaga. Akhirnya, meski terus bersungut dengan bahasa Jawa, ketiganya mau juga duduk di pos, menanti jawaban istana. [bersambung/gardanasional.id]

[1] Kancil, bahasa Sunda

Dipati Ukur; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [16]: Penculikan Ratu Harisbaya

 

 

spot_img
BERITA LAINYA

2 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img