Balebandung.com – Ukur minta Nini menyiapkan sepuluh potong surabi. Dengan surabi itu ia menghampiri rumah Bupati Sutapura. Begitu jarak dirinya dengan gerbang rumah hanya tinggal dua meter, seorang penjaga bangun dari duduknya di gardu dan menghardiknya keras.
“Eureun siah! Setop! Mau apa kemari?”
Bentakan keras itu tak sedikit pun membuat Ukur keder. Ia bahkan menghampiri, menyerahkan surabi yang masih mengepulkan asap harum terbungkus daun jati.
“Silakan, surabi dari sana. Lumayan buat sarapan,” katanya. Rikuh karena dibalas dengan perlakuan seperti itu, si penjaga yang berkumis baplang itu tak mau menerima langsung surabi dari tangan Ukur. Ia meminta rekannya menerima tawaran itu.
“Ambil!” katanya, masih sok kuasa.
Ukur sama sekali tak mempedulikan perlakuan itu. Dengan tangan ia memotong surabi miliknya dalam potongan sekali suap, lalu memakan potongan itu dengan nikmat. Bahkan tanpa dipersilakan ia langsung duduk di kursi panjang yang ada di depan gardu penjagaan.
“Mangga, silakan, ” katanya dengan suara tak begitu jelas karena mulut penuh surabi.
Kalau urusan makan, tak perlu dua kali meminta para penjaga itu. Mereka segera menghambur mengambil surabi, termasuk si kumis baplang. Tak berapa lama Ukur dan lima penjaga asyik meniup-niup surabi panas sebelum masing-masing mereka makan.
“Wah, ngeunyah euy, webun-webun wahal suwabi,” kata si kumis, lupa dengan sikapnya tadi. “Wah, enak juga ya, pagi-pagi makan surabi.” Suaranya tak jelas karena lidah terhalang surabi.
“Heueuh euy. Komo deui teu kudu mayar,” kata yang lain. “Benar, apalagi tak perlu bayar.” Ia masih meniupi surabinya, hingga suaranya masih jelas.
“Kemana Kanjeng Bupati?” tanya Ukur.
“Ada di dalam. Masih tidur,” kata seorang penjaga. Diraihnya surabi keduanya.
Lain dengan penjaga yang tadi menjawab, mata si kumis justru segera mendelik. Langsung dia kembali menghardik Ukur.
“Ada apa? Buat apa Ki Sanak bertanya tentang bupati. Beliau mah masih tidur, di dalam bersama bini mudanya,” kata dia.
“Oh, bini mudanya juga ia simpan di sini?” kata Ukur. Suaranya tak kalah lugas. “Teu kira-kira tah si Burahong teh! Tak pakai kira-kira itu bedebah! Benar kata lagu pupujian,
trong kohkol kalah morongkol,
dur bedug malah murungkut.
Diaadanan beuki tibra
Dasar bupati doraka!
Bunyi kentongan hanya bikin meringkuk
Bunyi bedug membuatnya pulas
Adzan membuatnya pulas
Dasar Bupati durhaka! ”
“Eeh, apa katamu?” si Kumis kini melotot. Sebagian potongan surabi keluar terlempar dari mulutnya. Penjaga yang lain yang sedang asyik menikmati surabi pun tampak terganggu. Hanya reaksi mereka tak sekasar si Kumis, yang dengan cepat menangkap tangan Ukur.
“Sugan kudu diborogod sia! Kau memang harus ditelikung,” katanya.
Dengan gerak yang sukar diikuti pandangan mata, gantian kini Ukur yang justru memegang pergelangan tangan si Kumis. Ditariknya tangan itu, lalu sebuah pukul siku kanan Ukur mendarat telak di pelipis si Kumis, membuatnya tersungkur pingsan.
“Hayoh, saha deui nu hayang ngajurahroh? Siapa lagi yang minta terkapar?” tanya Ukur retoris, karena dengan cepat satu rangkaian gerak membuat empat penjaga lain pun bernasib sama. Pingsan.
Ukur segera menyelinap ke dalam rumah. Terbiasa hidup di pendopo dan keraton membuatnya gampang menemukan kamar utama, kamar Bupati Sutapura. Dengan satu tendangan keras, pintu kayu jati kokoh yang terpalang kuat itu pun jebol.
“Braak!”
Daun pintu itu terlempar menambrak dinding ruangan, membangunkan kedua penghuninya yang kontan menjerit kaget.
“Si..si..siapa Kau? Penjaga!” teriak Bupati Sutapura, masih belum sepenuhnya sadar. Ia berteriak memanggil penjaga. Segera terdengar langkah-langkah kaki berlari dari sekian orang penjaga. Namun baru saja mereka tergopoh-gopoh rikuh masuk kamar, tamparan Ukur yang sebelumnya merapal aji Brajamusti segera mendarat, membuat mereka tersungkur mengaduh tanpa bisa bangun lagi.
“Hai Sutapura,” kata Ukur. “Aku Ukur, laki-laki yang lahir di tanah ini. Aku diangkat Kanjeng Sultan Agung Mataram untuk menggantikanmu. Jujur saja, aku melihat rakyat nagri ini tertindas justru oleh para menak dan nonomannya sendiri, di bawahmu. Alih-alih kau sejahterakan dan bantu mereka, kalian malah membuat rakyat tercekik dengan pajak-pajak kalian yang memberatkan. Kau tahu betapa rakusnya orang-orang Mataram meminta upeti dari kita, eh malah kau mendompleng pajak itu hingga membuat rakyat tak lagi merasakan hasil jerih payah dan keringatnya. Habis kalian peras!”
Ukur sejenak diam, matanya menyapu seluruh ruangan. Istri muda Bupati Sutapura menggigil ketakutan, menutupi badannya yang mungkin telanjang dengan kain kebat panjang yang biasa dijadikan selimut.
“Kau…kau Ukur! Pembohong kau, mengaku-aku utusan Mataram untuk menggantikan kedudukanku.” Bupati Sutapura mulai bisa menenangkan dirinya. Ia kini telah bangkit dan berdiri di tepi ranjang. Keris yang terletak di meja samping ranjang telah berada dalam genggamannya, hanya tinggal ditarik dari warangkanya.
“Sutapura, aku tetap akan menghormati, biar pun hanya bajingan yang hidup dari memeras keringat rakyat. Aku juga tak ingin orang melihatku sebagai bajingan lain yang menjadi bupati dari hasil merampas. Besok, kira-kira waktu pecat sawed[1], setelah wanci rumangsang[2], aku akan datang ke Pendopo. Akan aku buktikan bahwa aku memang menerima perintah dan pengangkatan dari Kanjeng Sultan,” kata Ukur.
“Kalau kau menerima dengan baik-baik, aku pun akan memperlakukanmu dengan baik-baik. Tetapi bila kau mencoba berbuat licik, jangan sambat kaniaya[3] bila darahmu mengalir demi kemaslahatan rakyat Tatar Ukur.”
Usai berkata panjang itu, tanpa menunggu respons Bupati Sutapura, Ukur keluar kamar. Sekitar 10 orang penjaga yang masih berdiri dan sehat walafiat, menyeruak memberikan jalan. Ukur tak hendak berpikir apakah mereka takut akan mengalami nasib seperti rekan-rekannya yang pingsan atau cedera, ataukah justru mereka secara tak langsung merestui dirinya menggantikan Bupati Sutapura, tak dipedulikannya benar.
Nanti sianglah nasib mereka tentukan, oleh mereka sendiri. Sebab kalau saja Bupati hasud hati dan melibatkan para penjaga, kepada mereka pun Ukur sudah berniat untuk menuntaskannya. Ia pikir mereka pun tak sepenuhnya bisa dimaafkan dengan dalih hanya melaksanakan perintah atasan. Tak bisa seorang hulubalang memukul, menyiksa atau bahkan membacok orang hingga mati, lalu dengan enteng mengatakan ia melakukan itu sekadar menjalankan perintah. Memang batok kepalamu kau simpan di mana? [bersambung/gardanasional.id]
Ilustrasi :gambar karya alm Jan Mintaraga
[1] Waktu dari pagi menuju siang, sekitar pukul 10.
[2] Akhir pagi, sekitar pukul 8-9
[3] Merasa terdzalimi
Dipati Ukur ; Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [22]: Pemimpin yang tak Disukai Warganya