Balebandung.com – Tangan Ukur meraih tumpukan nasi, mengambilnya secomot sebelum nasi itu dibulat-bulatkannya dalam genggamannya. Nasi yang bagus, pikirnya. Sangat pulen dan tak tercerai berai dalam genggaman. Dicarinya apakah ada sambal terasi atau sejenisnya di bungkusan itu, ternyata tak ada.
Sempat terbersit sedikit rasa kecewa di hati Ukur. Baginya, dan nyaris semua perjaka Sunda saat itu, tak sempurna makan tanpa sambal. Sambal terasi tentu lebih disukai. Apalagi bila terasi itu datang dari Cirebon, dengan bahan baku udang yang dilumat halus sebelum dijadikan terasi.
Nikmat sekali bila nasi yang telah dibuntal-buntal genggamannya itu ia cocolkan* ke sambal terasi Cirebon. Tetapi kalaulah tak ada sambal terasi, sambal muncang alias sambal kemiri atau sambal bawang pun jadilah. Ini makan tanpa sambal, deuuuh…
Tapi meski tak ada sambal, cepat juga nasi di bungkusan daun jati itu habis. Ukur tampak menyukai masakan Mataram yang disebut garang asem itu. Rasanya tak membuat lidahnya harus menyesuaikan diri dengan cita rasa Mataram yang cenderung manis. Ia tak bisa menelan sate kambing ala Mataram yang dibumbui dengan aneka bumbu, terutama gula aren dengan proporsi yang dominan.
Buat lidah Ukur, sate kambing cukuplah dengan bumbu cair orang-orang Cina yang disebut kecap, yang rasanya asin itu. Ditambah beberapa potongan bawang merah. Bumbu cair ala Cina itu kini dilihatnya telah ada di berbagai wilayah Mataram. Tetapi tetap saja sebagaimana terasi, kecap buatan orang-orang Cina Cirebonlah yang menurutnya terbaik dan paling enak.
Baru saja Ukur selesai mencuci tangannya di mangkok gerabah, saat telinganya yang terlatih menangkap bunyi kecil namun tak lazim. Semacam bunyi kaki yang berjingkat hati-hati, mengendap-endap agar tak didengar orang. Dan bukan dari satu titik! Ukur memperkirakan paling tidak bunyi itu terdengar dari tiga titik, seolah mengepung posisinya saat ini.
Ukur tahu, benteng Keraton Mataram terlalu tinggi untuk dimasuki para pencoleng kelas teri. Jadi, kalau ada yang mengendap-ngendap ke sini dan berhasil melompati benteng lebih dulu, tentu pencoleng itu bukan sembarang orang. Orang itu pasti punya ilmu kanuragan yang bisa diandalkan. Atau sebaliknya, justru orang-orang penghuni bentenglah yang kini berada mengitarinya dalam persembunyian mereka itu. Hal itu bukan mustahil mengingat bukan sekali dua Ukur berhadapan laga dengan mereka. Entah mengapa, Ukur merasa cukup banyak para penghuni Keraton Mataram ini yang tak menyukainya. Entah sebab apa.
Seolah tak ada apa-apa Ukur melipat tangan kampretnya sampai ke siku, yang akan memudahkannya bergerak bila perlu. Pelan pula ia berdiri tapi dengan sikap seolah tak peduli. Bagaimana pun Ukur tahu, biarlah orang-orang yang mungkin tengah mengincarnya itu hanya tahu bahwa dirinya hanya seorang yang kekenyangan setelah menghabiskan nasi sebungkah besar dalam bungkusan daun jati. Sama sekali tak ada perlunya ia menunjukkan sikap bersiaga yang justru akan membuat para pengintipnya waspada.
Tiba-tiba, dengan iringan teriakan yang terdengar penuh dendam, Ukur merasakan desir angin kuat dari sebelah kiri belakang posisinya. Ukur menduga itu sabetan parang, menilik desir yang biasa ia hadapi.
“Modaaar kowe!”
Kira-kira dua jengkal lagi parang itu akan melahap daging bahu kirinya, Ukur segera menjatuhkan diri sambil berbalik ke belakang. Parang itu lewat sekitar sejengkal dari arah bahunya, memperlihatkan pemegangnya, seorang berpakaian hitam-hitam dengan kedok menutupi mukanya, tampak hilang keseimbangan.
Refleks sudut mata Ukur melihat kaki yang menapak tak sempurna akibat serangan yang luput tak terduga. Kini giliran kakinya membabat kaki-kaki kehilangan keseimbangan itu dengan jurus ‘tejeh kuda beger mindo’.
“Heup ah!,” teriak Ukur. Kakinya yang terlatih membabat tulang kering lawan. Seketika, dengan teriakan kaget lawannya tumbang, tersungkur sebelum cepat membalikkan badan untuk berdiri.
“Bruuk!”
Ukur bermaksud segera menghabisi penyerangnya. Ia melihat dagu lawan yang tengah jatuh itu terbuka, seolah meminta untuk ditendang sekerasnya. Namun belum juga kakinya bergerak, dari samping kanannya seorang berpakaian serupa dengan lawannya yang terjatuh mengayunkan goloknya, menebas kepala Ukur dari atas ke bawah.
“Rasakan kau, Sunda!”
Ukur terpaksa melakukan gerakan suliwa, menjatuhkan badannya hampir menempel tanah guna menghindari tebasan golok tersebut. Senyampang itu, kedua tangannya mengambil salah satu pergelangan kaki lawan, memelintirnya sekerasnya sebelum melancarkan sebuah sepakan keras ke pergelangan kaki yang tidak sedang ia pelintir. Bersamaan dengan hantaman kaki itu, tangannya melepas kaki yang tadi ia pelintir kuat-kuat.
“Kau yang justru harus rasakan, Jawa!” Mendengar perkataannya sendiri itu, Ukur nyaris tertawa sendiri. Lucu sebenarnya. Kelakuan dirinya dan lawan-lawannya ini tak ubahnya kelakuan bocah. Mengejek dengan sesuatu yang tak layak dijadikan bahan ejekan. Apa salahnya, apa pula sialnya lahir sebagai orang Sunda atau orang Jawa? Yang jelas, dengan mengejeknya dengan sebutan ‘Sunda’ itu, Ukur jadi bisa mereka-reka siapa lawan-lawan yang tengah ia hadapi. [bersambung/gardanasional.id]