BALEBANDUNG – Semasa kedudukan Belanda di Indonesia pada abad XVIII, wilayah Kabupaten Bandung jadi sebuah kawasan rebutan adu pengaruh untuk berbagai kepentingan dan tujuan.
Jika Belanda hanya berniat mengeksploitasi lahan-lahan produktif untuk kepentingan ekonomi melalui pengembangan produk-produk unggulan seperti kina, teh dan kopi untuk menguasai perdagangan dunia di Eropa, lain halnya dengan Cirebon, Banten dan Mataram yang lebih memperjuangkan agama Islam. Maka politik ekspansi kolonisasi di wilayah Priangan dalam upaya perlawanan terhadap imperialisme Belanda diwarnai pula dengan penyebaran Agama Islam yang dimulai sejak abad ke-16 hingga abad ke-18.
Dalam kurun waktu selama kurang lebih dua abad itu, pengaruh Agama Islam begitu cepat merebak hingga ke pedalaman, termasuk di wilayah pedalaman Kabupaten Bandung. Kompleks makam keramat Pasirmiri-miri di Kecamatan Paseh merupakan bukti penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Eyang Wali Pameget beserta istrinya, Eyang Wali Istri yang berasal dari Mataram berbarengan dengan masa kolonisasi Mataram di Tatar Ukur.
Sementara itu, di Kampung Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung, juga dapat ditemukan makam keramat Embah Dalem Pangudar atau Raden Haji Pangeran Panji Argaloka, seorang tokoh penyebar agama Islam yang berasal dari Cirebon.
Berdasar sahibul hikayat babad Sunda, pemuda bernama Raden Haji Pangeran Panji Argaloka adalah salah seorang pewaris tahta Kerajaan Khanoman Cirebon, yang masih keturunan Sunan Gunung Jati Cirebon. Dikisahkan ketika terjadi pergolakan perang saudara di Cirebon pada awal abad ke XVIII, Pangeran Argaloka diutus Penguasa Kanoman untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah Priangan.
Sesuai dengan misi awalnya yaitu penyebar agama Islam, tantangan yang penuh risiko pun dilalui Pangeran Argaloka. Nyawa merupakan taruhan setiap perjuangannya dalam menegakkan agama Islam. Tantangan itu bukan datang dari pihak luar, tapi juga datang dari saudaranya sendiri yang masih menganut agama Hindu, hingga akhirnya terjadi perang saudara di Cirebon.
Argaloka datang sendirian ke wilayah Priangan hingga sampailah di Cicalengka dengan meninggalkan keluarga di Cirebon. Oleh sebab itu, beliau pun seringkali bolak-balik antara Cirebon dan tempat yang baru ditempatinya.
Argaloka menyamar sebagai tabib dengan nama Rd. Satja Wardana. Ia mengobati masyarakat yang sakit lahir maupun bathin seperti di Cicalengka, Cihanyir, Cikasungka, dan Cikancung. Hingga kemudian namanya melambung dan dikenal luas masyarakat. Konon, namanya pun bukan hanya terkenal di daerah setempat, tetapi di daerah pesisir Jawa namanya dikenal sebagai tabib.
Kehadiran Argaloka di tempat baru itu, rupanya dapat diterima oleh masyarakat sekitar, karena memperlihatkan sikap dan perilakunya yang baik. Ditambah dengan pengetahuan agama Islam yang cukup luas, serta keahlian pengobatannya, hal ini semakin membuat warga merasa simpati. Bahkan, dalam waktu yang relatif singkat, telah banyak yang menjadi pengikut setia untuk mendalami ajaran Agama Islam.
Pengaruhnya makin lama semakin luas dan besar sehingga tidak memungkinkan lagi untuk bolak-balik ke Cirebon, karena harus melayani warga yang begitu antusias terhadap ajaran agama Islam. Akhirnya, atas izin keluarga di Cirebon, beliau pun menetap di Cinangka dengan menikahi seorang perempuan warga setempat. Argaloka mempersunting seorang gadis Desa Cihanyir Kecamatan Cikancung Kabupaten Bandung yang bernama Nyai (Mbah Candra Wulan) binti Embah Gaong (Prabu Sakti).
Setelah menjadi warga Cinangka, Argaloka makin memberikan pengaruh yang sangat kuat dengan pendukung dan pengikut yang dari tahun ke tahun terus meningkat. Keadaan ini membuat gentar Pemerintah Hindia Belanda karena ada kecurigaan munculnya sebuah gerakan perlawanan yang kerap kali dilakukan oleh kalangan pesantren terhadap ketidakadilan yang dilakukan pihak Belanda sebagai kaum imperialis terhadap kaum pribumi.
Kompeni Belanda yang kala itu sedang melakukan politik devide et impera menilai bahwa kegiatan Argaloka adalah suatu kegiatan yang bisa merongrong kepentingan dan kewibawaan pemerintah. Maka, pihaknya memerintahkan kepada seluruh instansi, serdadu kompeni maupun para jawara agar menangkap dan membawanya ke Batavia.
Rencana itu sebenarnya sudah tercium, akan tetapi Argaloka tidak bergeming atau menghindarinya. Dalam suatu kesempatan, puluhan serdadu dan dibantu para jawara berhasil menyergap Argaloka. Sebelumnya ia lolos dari beberapa sergapan. Namun, kali ini pun sebenarnya Argaloka dapat lolos. Setelah diborgol dan digiring menuju kereta tahanan, tiba-tiba Argaloka menghilang secara misterius.
Atas kejadian ini kompeni Belanda gelagapan dan tidak percaya karena hilangnya Argaloka tidak masuk akal. Ia mampu membuka borgol itu tanpa alat (udar atau lepas). Argaloka hilang (tilem) tanpa berbekas. Itulah sebabnya kemudian orang menjulukinya Embah Pangudar.
Masyarakat telah mafhum baik para pengikutnya maupun pasien menilai Pangeran Argaloka bukan orang sembarangan. Ia dilukiskan sebagai seorang pahlawan yang sakti, berwibawa, dan sebagai panutan dalam menjalankan misi agamanya.
Namun para pengikut Argaloka pada waktu itu merasa kehilangan dan mencari kemana-mana. Tiba-tiba di suatu tempat pengkuitnya dikejutkan oleh kemunculan Argaloka di daerah Cinangka, sambil berpesan, “Bila memerlukanku datang saja ke makam ini”.
Makam itu sekarang menjadi tempat ziarah dengan sebutan Makam Keramat Embah Dalem Pangudar. Konon, secara harfiah masyarakat juga menyebut makam itu sebagai tempat pelepas kesialan hidup.
Karena merasa jengkel kompeni Belanda saat itu, makam Pangudar yang terletak di Kampung Cinangka Desa Mandalasari Kecamatan Cikancung (7 Km dari Cicalengka) nyaris dibongkar.
Situs Budaya Makam keramat Eyang Pangudar atau R.H. Pangeran Panji Argaloka terletak di Kampung Cinangka, Desa Mandalasari, Kecamatan Cikancung memiliki luas 1,5 ha. Sarana/prasarana berupa mesjid, pos, bangunan makam berukuran 12 X 14 m. Setiap hari rata-rata dikunjungi sebanyak 15 peziarah domestik yang berasal Pulau Jawa maupun dari luar Pulau Jawa. * berbagai sumber