ARJASARI – Jaman baheula anu nyakrawati ngabahu denda di nagara Tanjungwangi atau yang sekarang dikenal Desa Lebakwangi, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, tersebutlah nama Embah Panggungjayadikusumah. Oleh masyarakat Lebakwangi kini biasa disebut Embah Dalem Andayasakti sebab makamnya ada di Gunung Anday.
Suatu saat, diiringi empat pengawalnya yaitu Embah Lurah Sutadikusumah, Embah Wira Sutadikusumah, Embah Patrakusumah, dan Embah Aji Kalangsumitra, Embah Panggungjayadikusumah sengaja menyusuri perkampungan. Begitu tiba di satu tempat, Embah Panggungjayadikusumah merasa heran melihat timbunan tanah yang mencurigakan.
Karena penasaran, kemudian ia memerintahkan kepala kampung agar mengerahkan rakyatnya untuk menggali timbunan tanah itu. Dipimpin kepala kampung dan para pengawal, tak perlu lama semua rakyat pun sudah menggali tanah. Karena tanahna keras dan tampaknya harus dalam menggalinya, pekerjaan pun tidak beres dalam sehari. Bahkan sampai beberapa hari. Sekitar dua-tiga hari mereka terus menggali.
Tumpukan barang yang mulanya tak ada yang mengetahui karena tertanam di dalam tanah yang dalam, kini makin lama makin jelas. Ketika ditelisik ternyata barang itu tampak seperti seperangkat gamelan. Siapa atuh yang mengubur gamelan itu dan apa maksudnya? Tak seorang pun bisa menjawab.
Mulanya dibiarkan begitu saja dulu, siapa tahu ada warga sekitar yang mengaku dirinyalah yang mengubur gamelan dengan maksud agar suara gamelan jadi bagus dan merdu (agem). Tapi da ini mah nggak ada yang ngaku. Apalagi melihat tanahnya yang melekat membungkus gamelan, sepertinya bukan dalam jangka waktu yang singkat gamelan itu tertimbun. Bisa puluhan bahkan ratusan tahun. Dari bekas galian itu pula, lama kelamaan keluar air yang sanga jernih, yang kini jadi hulu air Cilurung.
Karena tak seorang pun yang mengaku memiliki gamelan itu, seluruh rakyat sepakat untuk mengurus gamelan itu dengan direstui Embah Panggungjayadikusumah selaku penguasa negara Lebakwangi atau Tanjungwangi.
Seperti diduga sebelumnya, benar saja gamelan itu sudah tertimbun di dalam tanah. Soalnya waktu dibersihkan juga tidak beres sehari dua hari. Tapi menghabiskan waktu sampai bulanan. Sampai dua bulan lah. Setelah dibersihkan, jelas sudah sekarang mah, gamelan itu terbuat dari perunggu yang kondisinya masih tampak utuh tidak rusak. Begitu coba ditabuh, euleuh gening meni agem, terdengar merdu. Apalagi kalau ditabuh dalam laras pelog mah, berasa pisan sakralnya teh.
Embah Panggungjayadikusumah merasa berminat gamelan ini dijadikan perkusi yang mandiri di negara Tanjungwangi atau Kabuyutan Lebakwangi. Malah diberi nama segala, disebutnya Gamelan Embah Bandong. Kenapa diberi nama Embah Bandong, alasannya setelah melihat barang pokoknya, yaitu dua goong besar berdampingan yang disebut Goong Renteng. Kan kalau kata ahli bahasa mah, ditilik secara etimologi atau asal-usul kata, kata bandong berarti ngabandung atau berdampingan. Analoginya diambil dari kata perahu bandong, yaitu dua perahu yang berdampingan.
Sejak itulah, Gamelan Embah Bandong mulai ditabuh untuk keperluan rupa-rupa acara yang digelar di negara Tanjungwangi yang kini dikenal Kabuyutan Bumi Alit Lebakwangi. Tapi kini Gamelan Embah Bandong tak bisa ditabuh sembarangan sebagaimana layaknya gamelan biasa. Gamelan ini ditabuh pada saat-saat tertentu. Yang pastinya mah setahun sekali tiap tanggal 12 Maulud, dikaitkan dengan tradisi memperingati kelahiran Nabi.
Selain untuk ditabuh, pada waktu itu Gamelan Embah Bandong dibersihkan oleh warga keturunan Lebakwangi-Batukarut yang dikenal dengan nama upacara ngebakeun (memandikan). Ada yang menyebutkan gamelan ini pernah dipakai di acara-acara resmi pemerintahan seperti saat pelantikan Bupati Bandung, dari sejak jaman Tumenggung Wiraangun-angun sampai ke masa Rd Tumenggung Wiranatakusumah VI. (Aom Male).