
BANDUNG – Pragmatisme dan hedonisme menjadi tantangan bagi kaum muda saat ini. Cara berpikir cepat asal dapat salah satunya menjadi hantu di kalangan kaum muda dalam pembinaan pemuda di Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya.
“Kita khawatir di era gencarnya pemberantasan korupsi saat ini, budaya instan menjadi budaya keseharian pemuda yang menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan dalam keinginan mereka meraih kekuasaan seperti di lembaga legislatif, kita sudah bisa menebak bagaimana cara mereka agar bisa cepat jadi anggota dewan misalnya. Mau bagaimana pun caranya yang penting menang,” ungkap Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga Dewan Pimpinan Cabang Paguyuban Pasundan Jawa Barat, Muhammad Budiana, S.IP, M.Si kepada Balebandung.com saat ditemui di Sekretariat Paguyuban Pasundan Jabar.
Menurut Budiana, kepemudaan itu yang terpenting cara kita pendekatannya baik di kalangan orangtua, Pembina, termasuk pemerintah terhadap aktivitas yang dilakukan terhadap kaum muda saat ini.
“Bukan dengan cara frontal berhadap-hadapan, akan tetapi didekati, didalami persoalan apa saja yang dihadapi pemuda saat ini sehingga bisa dicarikan jalan keluar permasalahannya bersama dengan mereka,” terang Budi yang juga menjabat Ketua DPC Paguyuban Pasundan Kabupaten Bandung ini.
Kendati begitu, Budiana sendiri tetap optimis bahwa hari ini juga kita masuk pada era kebangkitan industri kreatif yang notabene digagas kaum muda. “Tinggal persoalannya lewat pendekatan dari pihak pemerintah bagaimana pemerintah bisa memahami era kebangkitan industri kreatif saat ini,” ujar Wakil Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Barat ini.
Berikut selengkapnya pandangan Budiana yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISP) Universita Pasundan ini, tentang fenomena yang berkembang terkait persoalan kepemudaan, olahraga, pendidikan dan politik yang terjadi saat ini di Jawa Barat.
Apa tantangan pemuda di Jawa Barat saat ini dari pengamatan Anda?
Tantangan yang cukup besar dalam pembinaan kepemudaan di Jawa Barat adalah penyakit hari ini antara lain pragmatisme dan hedonisme. Cara berpikir cepat asal dapat salah satunya menjadi hantu saat ini dalam pembinaan kepemudaan di Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya. Kita khawatir di era gencarnya pemberantasan korupsi, budaya instan menjadi budaya keseharian pemuda saat ini yang menimbulkan kekhawatiran, jangan-jangan dalam keinginan mereka meraih kekuasaan seperti di lembaga legislatif, kita sudah bisa menebak bagaimana cara mereka agar bisa cepat jadi anggota dewan misalnya. Mau bagaimana pun caranya yang penting menang.
Bagaimana mengatasinya? Menurut saya, kepemudaan itu yang terpenting cara kita pendekatannya baik di kalangan orangtua, pembina termasuk pemerintah terhadap aktivitas yang dilakukan terhadap kaum muda saat ini. Bukan dengan cara berhadap-hadapan, tapi didekati, didalami persoalan apa saja yang dihadapi pemuda saat ini sehingga bisa dicarikan jalan keluar permasalahannya bersama dengan mereka.
Sekalipun itu, saya sendiri punya rasa optimis yang cukup besar bahwa hari ini juga kita masuk pada era kebangkitan industri kreatif yang notabene digagas kaum muda. Nah, jangan-jangan inilah kebangkitan kaum muda lewat industri kreatif itu. Tinggal persoalannya lewat pendekatan dari pihak pemerintah bagaimana pemerintah bisa memahami era kebangkitan industri kreatif saat ini.
Pak Jokowi sudah menjanjikan dalam kampanyenya bahwa keberpihakan terhadap industri kreatif ini menjadi bahagian yang akan dilakukan pada masa kepemimpinannya. Mudah-mudahan merealisasikannya, tidak hanya bualan kampanyenya saja, sehingga ada dukungan dari kaum muda. Dukungan kaum muda sendiri terhadap Jokowi sudah luar biasa, sekarang tinggal dibuktikan dukungan Pak Jokowi terhadap kaum muda dalam mengawal, memfasilitasi dan membesarkan industri kreatif itu tadi.
Kalau dalam konteks revolusi mental bagaimana dalam membangun karakter pemuda di Jawa Barat?
Yang saya sebutkan bahaya pragmatisme dan hedonisme tadi salah satu solusinya dengan revolusi mental itu. Akan tetapi bagi kaum muda jangan berharap terus sama pemerintah, karena pemerintah sendiri punya keterbatasan. Yang terpenting bagaimana kaum mudanya itu berpikir untuk kaum muda itu sendiri.
Menurut saya revolusi mental yang digagas pemerintahan Jokowi itu mulai saja dulu dari lingkungan istana, mulai saja dari lingkungan para pemimpin hari ini untuk menjadi contoh mewujudkan revolusi mental itu.
Fenomena baru yang muncul di Jawa Barat khususnya Bandung Raya, banyaknya kasus korupsi yang dilakukan para politisi. Apa yang salah kalau dilihat dari kacamata perpolitikan kita?
Tampaknya ada disorientasi dari para politisi dan para pemimpin yang bermasalah itu. Ketika awal mereka berniat jadi pemimpin, lebih banyak berpikir dan bertindak instan. Disorientasi itulah yang harus di re-orientasi. Contohnya di partai saya PDI Perjuangan mengadakan sekolah politik untuk para calon kepala daerah. Sekolah ini dalam rangka mengeliminir pola-pola disorientasi yang terjadi hari ini, dari yang mementingkan hal-hal yang mementingkan pragmatisme dikembalikan kepada track-nya yaitu menjadi pemimpin semata-mata hanya untuk mengabdi kepada masyarakat.
Sebagai akademisi, apa pandangan Anda soal pendidikan berbasis budaya?
Pendidikan berbasis budaya harus terwujud secara terintegrasi, di tataran pelaksananya sudah harus siap. Jangan sampai ujung-ujungnya pendidikan berbasis budaya itu dilecehkan bangsa lain.
Misalnya Indonesia dikenal sebagai adat timur yang memiliki kehalusan budi pekerti. Kalau kita menggagas pendidikan berbasis budaya, semuanya harus memiliki kehalusan budi pekerti dulu. Sementara kita masih mensinyalir adanya praktik-praktik yang berlawanan dengan konsep pendidikan berbasis budaya. Seperti masih banyaknya fenomena bully, adanya pelanggaran amoral yang dilakukan pendidik.
Jadi, pendidikan berbasis budaya itu harus bisa diterima secara menyeluruh dari mulai penyelenggaran pendidikan, bagaimana kurikulumnya, bagaimana cara menyampaikannya kepada siswa dan bagaimana lingkungan di sekitar pendidikan itu.
Jangan terlalu memaksakan juga, sebab kebudayaan itu harus muncul dari kesadaran bersama, bukan misalnya hanya kesadaran kepala daerahnya sosoranganan. Boro-boro ke seluruh masyarakat di daerahnya, di lingkungan sekretariat daerahnya saja sudah bisa terkondisikan apa belum? Jangan sampai mereka merasa terpaksa untuk memakai iket Sunda misalnya seperti kepala daerahnya. Padahal budaya itu tidak harus sedemikian. Sebab menurut saya, terjadinya gerakan budaya itu harus muncul berdasarkan kesadaran bersama.
Konsep pendidikan politik seperti agar ada muatan lokal sehingga bisa dijadikan sikap politik di Jawa Barat?
Berangkat dari provinsi dengan jumlah penduduk terbesar mencapai lebih dari 40 juta jiwa, tentunya ini menjadi potensi bahwa Provinsi Jabar menjadi lumbung suara dalam setiap Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Setiap ada pilpres, pemilukada, tidak pernah ada muncul kekerasan di Jawa Barat. Jadi, Jawa Barat ini harus punya peran bagi peta politik nasional. Bagaimana kita bisa mengambil peran seperti itu, ya ini harus kita pikirkan bersama
Tapi kendalanya kan risiko sistem politik dan sistem pemilu di negara ini. Sementara yang saya perhatikan harus ada satu pola pembangunan politik sehingga bisa diikuti oleh seluruh warga Jawa Barat dengan penuh kesadaran. Tapi karena risiko Undang-undang Politik dan Undang-undang Pemilu, sementara kepala daerah itu dari unsur partai, maka mau tidak mau warga Jawa Barat pun harus ikut memilih dari unsur partai.
Kita punya pemikiran adanya konsep pembinaan politik yang betul-betul bisa menciptakan kesadaran politik di lingkungan masyarakat Jawa Barat. Sebab setiap daerah punya budaya politik yang berbeda-beda. Harusnya yang baik itu munculnya sosok kepala daerah yang betul-betul bisa menjadi bapak bagi seluruh warganya, tanpa melihat bendera partai. Tidak atas nama partai, tapi atas nama kebenaran, keikhlasan dan atas nama kesejahteraan rakyatnya. Tapi saya tidak menilai dalam konteks kepala daerah yang ada hari ini maupun sebelumnya.
Anda terpilih lagi secara aklamasi sebagai Ketua Paguyuban Pasundan DPC Kabupaten Bandung dalam konfercab tanggal 17 Desember 2014, bagaimana peranan dan keistimewaan Kabupaten Bandung sendiri bagi Paguyuban Pasundan Jawa Barat?
Dalam posisinya sebagai salah satu daerah tertua di Jawa Barat dan memiliki latar belakang sejarah sangat erat hubungannya dengan Paguyuban Pasundan dalam konteks aktivitas paguyuban, tentunya Kabupaten Bandung dengan keberadaan para tokohnya dan para pejuangnya seperti Otto Iskandar Dinata dan Dewi Sartika, karena itu Kabupaten Bandung harus memiliki posisi strategis dalam lingkup organisasi Paguyuban Pasundan ini.
Sebagai organisasi tertua di Jawa Barat khususnya, apa yang membedakan Paguyuban Pasundan dengan organisai lainnya yang masih eksis sekarang ini?
Yang paling membedakan itu Paguyuban Pasundan benar-benar ikhlas berjuang membela rakyat. Hal ini sudah banyak dipraktikan di Paguyuban Pasundan dari sejak berdiai pada 1913 melalui program-program kerja yang pro rakyat. Makanya itu tantangan bagi saya sebagai Ketua Paguyuban Pasundan DPC Kabupaten Bandung dan sebagai Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga di DPD Paguyuban Pasundan Jabar harus bisa berbuat seperti itu. Harus bisa berbuat seperti yang telah dilakukan para sesepuh di Paguyuban Pasundan, baik di tingkat Jawa Barat maupun secara nasional.*** by iwa/bbcom
BIODATA
Nama : Muhammad Budiana, S.Ip,M.Si
Kelahiran : 2 April 1970
Pendidikan :
S1 Hubungan Internasional Universitas Pasundan
S2 Ilmu Politik Universitas Parahyangan
S3 Ilmu Politik Unpad (belum selesai)
Istri : Sany Megawati, S.Sos (PNS Dinas Pariwisata Kota Bandung)
Anak :
1. Rifany Azwa Azila, kelas 2 SMP Taruna Bakti Bandung
2. Ganisa Laila Bagjani kelas 2 SD Priangan Bandung
3. Fadli Muhamad Kamil, kelas 1 SD Istiqomah Bandung
Baca juga : http://www.balebandung.com/dekan-fisip-unpas-dr-m-budiana-terjun-langsung-ke-politik-dengan-ikhlas/