CIPARAY, balebandung.com – Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat H. Dede Yusuf M. Effendi mengatakan, bahwa Indonesia ini tidak bisa digeneralisasikan semua sama.
Ia mengungkapkan hal itu setelah ditanya wartawan, terkait kesiapan pihak lembaga pendidikan dalam melaksanakan kurikulum merdeka di Graha Wira Karya Ciparay Kabupaten Bandung, Kamis (4/8/2022).
“Kita bicara Jawa Barat saja. Jawa Barat ada daerah-daerah urban, dengan insfrastruktur yang baik dan bagus. Kalau bicara Kabupaten Bandung saja, wilayah selatan banyak yang insfrastrukturnya belum siap,” kata Dede Yusuf.
Ia menegaskan, kurikulum merdeka esensinya adalah mengurangi beban siswa. “Jadi bukan merubah kurikulum. Tapi kalau dulu jumlah mata pelajaran (mapel) mencapai hampir 20 mapel, maka sekarang dikurangi menjadi delapan atau 10 mapel sesuai jenjang pendidikannya,” katanya.
Dikatakan Dede Yusuf, metode hybrid atau metode daring tetap diberlakukan, jika insfrastrukturnya ada. “Itu sebabnya kurikulum merdeka adalah sebuah opsi yang diberikan. Ada opsi yang tetap ingin kurikulum lama, jika kapasitas insfrastruktur dan kapasitas gurunya belum sanggup, maka pakai kurikulum lama. Maka jika kapasitas guru, kapasitas sekolah, insfrastruktir sudah siap, boleh pakai kurikulum baru. Kami sendiri pasti akan mengawasi ini, dan apabila ada pemaksaan dari Kemendikbud, untuk semua mengikuti kurikulum tanpa memedulikan delapan kesiapan pendidikan,” tuturnya.
Menurutnya, delapan kesiapan pendidikan itu, mulai dari sekolahnya, insfrastrukturnya, gurunya, mata pelajaran, kurikulumnya, dan kesiapan lainnya.
“Itu ada delapan yang harus disiapkan. Kalau delapan ini belum disiapkan, tentu tidak ada paksaan. Misalnya, tidak ada paksaan terhadap siswa yang ada di atas gunung di sana, untuk menggunakan daring sementara BTS atau towernya belum ada. Signal belum ada, termasuk insfrastruktir dan ruang kelas belum siap, juga tidak bisa dipaksakan,” ujar Dede Yusuf.
“Sekali lagi kurikulum merdeka ini adalah sebuah opsi berdasarkan janjinya Kemendikbud dengan kita. Bagi yang bisa mengikuti silahkan. Bagi yang belum bisa mengikuti bisa menggunakan kurikulum yang lama,” imbuhnya.
Apakah kurikulum merdeka ini juga diterima di jenjang perguru
an tinggi, Dede Yusuf mengatakan, harus dikaji. “Kurikulum merdeka ini sudah diuji di sekolah-sekolah penggerak. Kita akan minta penjelasan dari sekolah penggerak ini apa. Apakah lulusannya sudah bisa diterima dijenjang pendidikan yang lebih tinggi?” ungkapnya.
Dede Yusuf menyatakan, bahwa tetap DPR belum setuju kalau kurikulum merdeka ini disamakan di semua wilayah. “Kita harus secara bertahap,” katanya.
Ia pun sempat datang ke daerah-daerah atau kecamatan yang diinformasikan belum ada SLTA. “Bagaimana mau menerapkan kurikukum merdeka, kalau di situ sekolahnya belum ada. Kalau bangunanya belum ada atau RKB-nya belum ada, bagaimana memaksakan anak-anak SMP harus pergi ke kecamatan lain,” katanya.
Akhirnya, menurutnya, yang terjadi orang tua tak mengijinkan anaknya sekolah karena cost biaya. Ini tugas bagi pemerintah provinsi, yang memiliki kewenangan pengelolaan SMA, membantu sekolah di kecamatan yang belum ada SMA-nya.
“Jadi jangan bicara kurikulumnya dulu, kita bicara suprastruktur dan infrastruktur,” katanya.***