
MAJALAYA – Rapat paripurna di Gedung DPR RI Kamis (17/3/16) sore, secara bulat sidang paripurna mengesahkan RUU tentang Penyandang Disabilitas dan RUU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan menjadi undang-undang. Ini berarti Undang-undang No 4/1997 tentang Penyandang Cacat dinyatakan tidak berlaku lagi.
Anggota Komisi XI DPR RI Lili Asdjudiredja mengatakan disahkannya kedua UU tersebut di masa persidangan terakhir kali ini dengan pertimbangan aspek kepentingan nasional yang lebih besar serta untuk melindungi dan menyangkut kepentingan banyak orang.
“Target produk hukum yang dihasilkan itu bisa disesuaikan dengan kebutuhan, tapi lebih kita prioritaskan yang menyangkut kepentingan banyak orang tentunya, sehingga mereka yang termasuk ke dalam undang-undang itu sudah ada payung hukumnya,” terang Lili kepada Balebandung.com usai kegiatan reses di Jl Balekambang, Desa Sukamaju, Kec Majalaya, Kab Bandung, Sabtu (19/4/16).
Selanjutnya menurut Lili, usai masa reses Maret ini, pihaknya bersama pemerintah atau Kementerian Keuangan (Kemenkeu) selaku inisiasi akan berupaya memprioritaskan RUU Tax Amnesty atau pengampunan pajak untuk segera disahkan sebab sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Pembahasan lebih lanjut RUU inisiatif pemerintah dilakukan awal April 2016 di Badan Legislasi.
“Tax amnesty ini penting karena sangat esensial dalam rangka akselerasi pembangunan nasional melalui upaya peningkatan penerimaan pajak,” kata Lili yang juga menjabat Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan ini.
Sebab menurut politisi Partai Golkar ini, pengampunan pajak dalam jangka pendek bisa mendongkrak penerimaan pajak pada 2016, sehingga menjamin kecukupan dana APBN guna merealisasikan berbagai program kesejahteraan dan pembangunan pemerintah.
Seperti diketahui, pemerintah menargetkan bahwa kebijakan tax amnesty dapat terealisasi pada tahun ini. Salah satu tujuannya adalah untuk mengejar target penerimaan pajak yang sebesar Rp 1.350 triliun.
Kebijakan tax amnesty ini nantinya akan berlaku untuk wajib pajak yang di dalam dan luar negeri. Tarif pajak yang dikenakan juga beragam, tergantung masa pengajuan permohonan ampunan.
Sebetulnya wacana Tax Amnesty muncul setelah otoritas negara-negara yang tergabung dalam OECD dan G20 akan menerapkan aturan pertukaran informasi (Automatic Exchange of Information atau AEoI) pada 2007. Inisiatif ini diprakarsai oleh Financial Transparency Coalition (FTC).
Aturan global ini dapat mendorong efektivitas dari pengenaan Tax Amnesty pada tahun ini. Pasalnya bukan pertama kalinya aturan Tax Amnesty keluar di Indonesia. Catatan sejarah menulis pertama kali Tax Amnesty ditetapkan pada 1964 oleh Presiden RI kala itu melalui aturan No.5 Tahun 1964. Aturan ini dilaksanakan melalui Keppres No.26 tahun 1984, tetapi hasilnya sangat rendah.
Lalu pada 2008, muncul aturan Sunset Policy yang mirip dengan Tax Amnesty, hanya saja aturan ini hanya memberi pengampunan pada denda pajak. Sedangkan pokok utang pajak masih tetap harus dibayarkan.Hal ini membuat hasilnya kurang efektif. Pada 2008, pemerintah hanya berhasil menambah 5,6 juta Wajib Pajak terdaftar baru dengan penerimaan PPh Rp7,6 triliun.
Yang menarik, pada 2008 realisasi penerimaan pajak lebih besar ketimbang yang dianggarkan pada tahun itu. Dalam catatan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), persentase realisasi penerimaan pajak dibandingkan dengan yang ditargetkan dalam APBNP 2008 mencapai 108,1 persen. Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya persentase tersebut ambrol disebabkan pelemahan ekonomi akibat krisis di Amerika. (iwa)