Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale Kota BandungMilangkala 132 Raden Dewi Sartika

Milangkala 132 Raden Dewi Sartika

Monumen Dewi Sartika di Bale Kota Bandung
Monumen Dewi Sartika di Bale Kota Bandung

BANDUNG – Bagaimana caranya agar bangsa kita bertambah maju? Hal itu oleh para pembesar sudah dipikirkan, yaitu kaum wanitanya harus maju pula, pintar seperti kaum laki-laki, sebab kaum wanita itu akan menjadi ibu. Merekalah yang paling dahulu mengajarkan pengetahuan kepada manusia, yaitu kepada anak-anak mereka, laki-laki maupun perempuan. (R. Dewi Sartika, 1911)

Hari Minggu ini, 4 Desember merupakan milangkala 132 tahun Raden Dewi Sartika, pejuang bagi kemajuan kaum perempuan. SMP Dewi Sartika di Jl Kautamaan Istri No 12 biasa memperingatinya. Sekolah itu memang didirikan oleh Dewi Sartika sendiri.

Dewi Sartika lahir di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, 4 Desember 1884, dan meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun. Dewi adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda akibat tuduhan memberontak pemerintahan yang ada, hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika ke sekolah Belanda pula.

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka, Kab Bandung. Dari pamannya, Dewi mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang Gedong Kepatihan, Dewi sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar 10 tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Berbakat dalam mengajar dan mempunyai jiwa yang kritis serta peduli pada sesama terutama kaum perempuan, Dewi Sartika prihatin akan nasib perempuan pada jaman itu; dinikahkan ketika usia muda tanpa pernah mengenyam pendidikan.

Dewi lalu mempunyai cita-cita mendirikan sekolah untuk kaum perempuan agar bisa berdiri sendiri dan menikah tidak di usia yang muda sekali. Cita-citanya tersebut dituangkan dalam buku berjudul “De Inlandsche Vrow” pada usia 15 tahun.

Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, Bupati Bandung saat itu, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sakola Isteri”.

Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kapatihan Bandung.

Awalnya, muridnya hanya 20 orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.

Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid-murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kapatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid.

Untuk mengatasinya, Sakola Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sakola Istri sedikit diperbarui menjadi Sakola Kautamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa jadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya.Di sana tidak hanya diajarkan berhitung, membaca dan menulis, tapi juga menjahit, memasak, merenda, menyulam, dan pelajaran agama.

Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.

Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan).

Memasuki usia sekolahnya 10 tahun, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.

Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang sudah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.

Dewi Sartika wafat 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung. wikipedia

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img