“Waas mun nempo urut jalan kareta api. Sok hayang apal jeung nempo jaman baheula,” ceuk Mang Bale anteang ngalamun. Nya kitu oge mun ti imahna nu teu jauh jeung rel kareta, ngadenge sora klakson tarompet jeung mesin kareta nu ngaliwat teh ku matak waas…ngookkhh… gujes-gujes,…..
BALEBANDUNG – Carita ini terungkap ketika Mang Bale menanyakan kepada Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan saat Jalan Raya Soreang-Ciwidey terkena longsor pada 11 November 2012. Tepatnya di Kampung Sungapan, Desa Sadu, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung.
Jalur Soreang-Ciwidey pun terputus akibat longsor menutupi badan jalan. Seorang ibu bernama Rostini (46) dan anaknya Siti Tresna Asih, tewas dalam musibah ini, kedua jasadnya tidak berhasil ditemukan.
Menurut Ahmad Heryawan, sebagian besar wilayah Jabar, khususnya di wilayah tengah dan selatan memang sangat rawan longsor. Hal ini disebabkan tofografi wilayah ini yang terjal dan berbukit.
“Sehingga sulit juga mencari alternatif jalan untuk wilayah ini, karena tofografinya yang terjal. Seperti gawir yang longsor ini,” kata Heryawan sambil menunjuk titik longsor.
“Bagaimana kalau dibuka lagi jalur kereta api Ciwidey?” tanya Mang Bale ke gubernur. “Mau lewat mana?” timpal Aher.
“Kan itu ada jembatan rel kereta api yang digunakan para pengendara motor jadi jalan alternatif menembus jalan yang kena longsor,” jawab Mang Bale sambil nunjuk bekas jembatan kereta api yang kini jadi rongsokan besi.
Tapi gubernur bilang waktu itu, hingga kini belum ada pemikiran membuat jalur alternatif di wilayah tersebut. “Karena selain sulit, juga membutuhkan perencanaan yang sangat lama,” tukas Heryawan.
Kendati begitu,Gubernur Jabar bakal mendorong aktivasi kereta api Soreang-Ciwidey ke PT KAI akibat longsor yang memutuskan akses Jalan Raya Soreang-Ciwidey. Heryawan mengaku aktivasi rel kereta bisa saja dijadikan transportasi alternatif jika longsor terjadi lagi di jalur Soreang-Ciwidey.
“Agar akses perekonomian tidak terganggu, kami akan dorong aktivasi rel. Memang hal ini merupakan jangka panjang karena kewenangannya pun ada di pemerintah pusat,” kata Aher.
Selain aktivasi jalur kereta, Heryawan juga mengatakan pihaknya bisa membangun jalan alternatif, asalkan ada tanah yang bisa dibebaskan. “Silakan saja kalau mau bikin jalan alternatif baru. Tapi harus ada lahan yang harus disiapkan,” kata dia.
Dulunya, kereta api rute Bandung-Ciwidey merupakan jasa angkutan massal pertama yang pernah ada di kawasan Bandung Selatan. Selain kereta penumpang juga berfungsi mengangkut barang-barang komiditi perkebunan. Jalur ini dimulai dari Stasion Cikudapteuh, Pasar Kordon Buahbatu, Pamengpeuk, Banjaran, Soreang dan berakhir di Ciwidey.
Menurut Kuncen Bandung, Haryoto Kunto dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (PT Granesia, Cetakan III April 1985) jalur ini dibangun 2 tahap. Tahun 1918 Bandung-Kopo, lalu diteruskan ke Ciwidey pada tahun 1921 oleh Perusahaan Kereta Api Negara (“Staats Spoorwegen”/ “SS”) untuk keperluan alat angkutan hasil produksi perkebunan Wilayah Priangan, yang kala itu menjadi barang komoditi ekspor yang laku keras di pasaran dunia. Selain itu juga sebagai sarana pendukung dalam rencana pemekaran wilayah Gemeente Bandung di tahun 1919.
Dengan mundurnya permintaan hasil perkebunan Priangan di pasaran dunia, maka sedikit demi sedikit jalur KA itu tak lagi digunakan. Apalagi setelah kendaraan truk yang lebih fleksibel mengangkut muatan “door to door”, mulai beroperasi di kawasan Bandung, maka fungsi KA waktu itu cuma jadi alat angkutan penumpang. Yang nota bene, tidak begitu menguntungkan. Hingga akhirnya jalur ini di nonaktifkan pada tahun 1975.
Kejayaan si Kuda Besi di Jalur Selatan hanya tinggal kenangan, yang sering terlihat adalah bekasnya saja, seperti dijembatan di Dayeuhkolot, Stasiun Banjaran dan jalur rel yang sisi kanan kirinya telah berdiri bangunan permanen maupun permukiman kumuh. Begitu pula jalur antara Banjaran dan Soreang, yang terlihat hanya onggokan rel tua yang tidak terurus dan beberapa jembatan melintasi sungai kecil yang sudah karatan. by mang bale