Lanjutan pidato Bung Karno yang fenomenal di depan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945:
Tekad hatinya yang perlu, tekad hatinya Samiun kawin dengan satu tikar dan satu periuk, dan hati Sang nDoro yang baru berani kawin kalau sudah mempunyai gerozilver satu kaset plus kinderuitzet, – buat 3 tahun lamanya!
(Tertawa)
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: – kita ini berani merdeka atau tidak? Inilah, Saudara-saudara sekalian, Paduka Tuan Ketua Yang Mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka.
Saya mendengar uraian Paduka Tuan Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan. Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia Merdeka !
(Tepuk tangan riuh)
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita! Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu persatu. Di dalam Sovyet Rusia Merdeka Stalin memerdekakan hati bangsa Sovyet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak disentri, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu. “Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka”.
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit malaria dengan menanam ketepeng kerbau.
Di dalam Indonesia Merdeka kita melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, didalam Indonesia Merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan “jembatan”. Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia Merdeka yang gagah, kuat, sehat kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha penting. Tidaklah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh berpuluh-puiuh pembicara, bahwa sebenarnya international recht, hukum internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun, mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidaklah diadakan syarat yang neka-neka, yang menjlimet, tidak! Syaratnya sekedar bumi, rakyat, pemerintah yang teguh!
Ini sudah cukup untuk international recht. Cukup, saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya, kemudian diakui oleh satu negara yang lain, yang merdeka, inilah yang sudah bernama: merdeka. Tidak perduli rakyat dapat baca atau tidak, tidak perduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak perduli rakyat bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan ada pemerintahannya, – sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau Merdeka apa tidak? Mau merdeka atau tidak’?
(Jawab Hadirin: Mau)
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar. Paduka Tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka Tuan Ketua kehendaki! Paduka Tuan Ketua minta dasar, minta philosophische grondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka Tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.