MAJALAYA – “Pasar Kojengkang” adalah istilah untuk pasar liar yang tumpah ke jalan. Tekanan kondisi kehidupan mengakibatkan tingkat persaingan yang tidak sehat, para pedagang di “pasar” berprinsip “asal laku dan asal dapat untung”, sehingga berbagai cara berdagang dilakukan. Termasuk memindahkan jongko-jongko mereka ke trotoar jalan umum, lalu dipungut “retribusi formal”, maka pindahlah “pasar” itu di pinggir jalan.
Banyaknya “Pasar Kojengkang” ditambah dengan kerancuan lalu lintas dengan berbagai jenis angkutan yang aturan trayek serta penataan terminalnya yang tak jelas fungsinya. Karena “Pasar” sangat terkait erat dengan transportasi, maka sebanyak “Pasar Liar” berkembang sebanyak itu pula “Terminal Liar” tumbuh. Pangkalan delman atau keretek, pangkalan ojek, mobil mini bus angkutan kota yang mangkal di setiap persimpangan jalan dan ditambah hadirnya bus-bus angkutan karyawan pabrik yang bersasis panjang, semua itu menciptakan “kemacetan baku” di berbagai tempat.
Belum lagi ketidakseimbangan antara panjang dan lebar ruas jalan dengan jumlah kendaraan yang semakin banyak, maka sempurnalah sebuah kota menjadi “fenomena baku” dengan berbagai julukan yang “tak enak didengar”.
Kini saatnya falsafah “teu bobor sapanon, teu carang sapakan” menjadi tindak lanjut untuk menjadikan Majalaya yang “Najan sagoweng sapeser, tetep sareundeuk saigel, sabobot sarimbangan, saketek sapihanean“. by Denni Hamdani.