Penghapusan 5,2 Juta Peserta PBI BPJS Kesehatan Diganti Peserta Baru

oleh
oleh

SOREANG, Balebandung.com – Sebanyak 5,2 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI) APBN, kini dinonaktifkan.

Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan penonaktifan PBI APBN itu karena saat ini PBI itu sudah tidak termasuk kategori basis data terpadu (BDT) warga miskin penerima bantuan .

“Penghapusan daftar PBI sebelumnya itu karena orang tersebut ternyata sudah bukan lagi termasuk warga yang perlu mendapat bantuan, karena kondisi ekonominya sudah berangsur membaik. Dari 5,2 juta PBI sebelumnya itu, nantinya akan diperbaharui lagi dengan data yang baru. Bukan berarti 5,2 juta PBI itu hilang begitu saja. Tapi yang 5,2 juta ini harus diganti (dengan data PBI baru) sesuai data terbaru,” ungkap Dede Yusuf di sela kunjungan kerja ke Kantor BPJS Kesehatan Cabang Soreang dalam reses yang dilakukan, Kamis (1/8/19).

Menurut Dede, pemutakhiran data PBI yang dilakukan Kementerian Sosial ini dianggap kurang pro-aktif. Pasalnya, hal ini sudah berlangsung sejak 2017-2018 agar BPJS Kesehatan dapat memverifikasi jumlah PBI BPJS Kesehatan langsung data terbarukan tersebut. Namun karena data PBI ini berada di Kementerian Sosial dan alokasi anggaran PBI itu berada di Kementerian Kesehatan belum tersinkronisasi dengan baik.

“Mestinya uang (untuk PBI) itu tidak diturunkan di Kemensos, tetapi dikucurkan langsung ke Kemenkes atau BPJS,” ungkap Dede.

Sementara itu, Kepala BPJS Kesehatan Cabang Soreang Fahrurozi mengatakan, sebanyak 80.000 dari 5,2 juta PBI APBN, sudah dinonaktifkan. Tetapi angka tersebut, kata Oji, ada pengganti PBI baru sesuai dengan BDT yang diajukan setiap tahunnya dari Dinas Sosial.
Oji menegaskan 80 ribuPBI lama yang sudah tidak masuk BDT ini, kepesertaan PBI-nya sudah dinonaktifkan mulai Kamis (1/8/19) dan langsung digantikan dengan BDT PBI baru.

Baca Juga  Nih, Catatan Komisi X DPR RI Soal Pembukaan PON Papua

“Sejumlah PBI yang dinonaktifkan ini dulu masuk ke dalam BDT, tapi sekarang sudah tidak masuk lagi. Alasan tidak masuknya PBI yang dulu ke dalam BDT terbaru, itu yang mengetahuinya adalah Dinas Sosial,” jelas Oji.

Defisit BPJSKes

Disinggung mengenai terjadinya proyeksi defisit BPJS Kesehatan 2019 yang mencapai Rp 28 triliun, Dede Yusuf menjelaskan, pangkal persoalan terjadinya defisit itu karena adanya ketidakseimbangan cash in dan cash out.

Cash in ini diperoleh dari penerimaan APBN dan APBD berupa PBI. Kemudian penerimaan dari pekerja penerima upah baik itu perusahaan, PNS, TNI, Polri, maupun perusahaan swasta dan peserta mandiri. Namun, kata dia, perusahaan swasta dan peserta mandiri atau Peserta Bukan Penerma Upah (PBPU) ini belum maksimal melakukan pembayaran BPJS Kesehatan ini setiap bulannya.

“Padahal laporan defisit akhir tahun 2018 lalu sebesar Rp 16 triliun dan proyeksi defisit BPJS Kesehatan pada akhir 2019 mencapai 28 triliun. Artinya, kita bisa melihat ada penambahan defisit hampir sebesar Rp 1 triliun setiap bulannya,” ungkap Dede.

Dalam PBPU ini berdasarkan data yang diterima baik dari pusat maupun dari setiap cabang BPJS Kesehatan, masih ada 45% lagi jumlah tunggakan. Mengenai hal ini, pihaknya pun turut menelusuri alasan peserta mandiri ini tidak melakukan pembayaran di antaranya peserta mandiri ini merasa belum membayar karena belum sakit.

“Kita juga harus melihat ketika orang berpenghasilan hanya UMR, tetapi harus membayar satu keluarga dan tidak dibayarkan oleh perusahaan, tentunya ini akan memberatkan. Ini harus kita tinjau ulang lagi dari sisi itu. Selain itu, memang kalau jaminan sosial itu artinya tanggung jawab pemerintah lebih besar daripada tanggung jawab masyarakat walaupun ini (BPJS Kesehatan) sifatnya gotong royong tetapi pemerintah harus lebih besar lagi melakukan penjaminan universal health coverege (UHC),” kata dia.

Baca Juga  H-1 Lebaran, Begal Grab Ditembak Mati di Dayeuhkolot

Selain itu, terkait besaran angka aktuaria setiap bulannya untuk bisa meng-cover berbagai penyakit dalam satu skala. Saat ini, besaran aktuaria untuk kelas III pada 2018 sebesar Rp 45.000/orang/bulan yang merupakan angka optimal untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Sedangkan besaran PBI untuk kelas III ini, lanjut Dede, masih berada pada Rp 25.500/bulan/orang, artinya masih ada subsidi sekitar Rp 10.000 dari jumlah PBI sebesar 90%.

“Angka aktuaria ini harus sampai pada angka optimal sebesar Rp 45.000/orang/bulan. Itulah sebabnya pemerintah akan menutup defisit ini dengan cara menaikkan premi,” pungkasnya.***

No More Posts Available.

No more pages to load.