BANDUNG – Bandung Lautan Api adalah sejarah milik rakyat Bandung yang akan selalu dikenang sebagai aksi patriotik warga Bandung dalam mempertahankan tanah airnya. Tanggal 24 Maret 1946 adalah momentum saat rakyat bersatu mencegah sekutu dan NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) menduduki Bandung.
Pada buku Sejarah Bandung (2016), Sejarawan Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Nina. H Lubis, M.S. menulis bahwa pembumihangusan itu merupakan strategi agar sekutu tidak bisa menguasai Bandung. Sementara itu, perintah pengosongan wilayah juga merupakan perintah langsung dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya diplomasinya dengan sekutu demi keselamatan republik.
“Peristiwa ini seolah-olah orang Bandung menyerah kepada sekutu (Inggris) yang juga ada Belanda. Tapi sebetulnya ini taktik saja, karena pemerintah pusat melalui PM Sjahrir sedang melakukan diplomasi dengan NICA dan sekutu,” tutur Nina saat kepada Humas Setda Kota Bandung.
Nina mengungkapkan, pada saat itu Kolonel A.H. Nasution juga mendapat telegram dari Jenderal Sudirman untuk mempertahankan Bandung sampai titik darah penghabisan. Di tengah situasi yang sulit itu, A.H. Nasution harus mengambil keputusan yang berat. Dalam perundingan yang dilakukan oleh pihak militer Indonesia, diambillah keputusan agar rakyat dan tentara meninggalkan Bandung bersama-sama dengan lebih dulu membumihanguskannya..
Setelah ada keputusan tersebut, 100.000 penduduk Bandung (sumber lain menulis 200.000 dan 300.000) mengosongkan Bandung 11 km dari pusat kota. Mereka mengungsi ke Bandung Selatan, seperti Ciparay, Majalaya, Banjaran, dan Soreang; Bandung Barat yaitu ke Cililin dan Gunung Halu; dan Bandung Timur yaitu ke Rancaekek, Cicalengka, dan Sumedang.
Nina menulis, “Sambil meninggalkan Kota Bandung, rakyat dan Tentara Nasional Indonesia sejak pukul 20.00 melakukan pembakaran-pembakaran seperti di Ciroyom, Tegallega Utara, Cikudapateuh, Cicadas, sepanjang Jalan Otto Iskandardinata, Jalan Asia Afrika, Cibadak, Kopo, dan Babakan Ciamis. Itulah peristiwa yang dikenal sebagai “Bandung Lautan Api.””
Dari rangkaian kejadian tersebut, Nina menilai bahwa Bandung Lautan Api tidak hanya menjadi peristiwa lokal yang terjadi di Bandung, tetapi juga menjadi perhatian nasional karena dampak luas yang ditimbulkannya. Kejadian ini sangat berdampak pada aktivitas NICA dan tentara Republik Indonesia.
Terlebih lagi dengan adanya peledakan gudang mesiu yang dilakukan oleh Mohamad Toha empat bulan kemudian, menegaskan peran rakyat Bandung dalam mempertahankan Indonesia dari Belanda. Pada peristiwa 10 Juli 1946 itu, Toha membakar gudang yang berisi 1.100 ton mesiu dan senjata sehingga menimbulkan ledakan yang dahsyat.
“Suara ledakan itu, terdengar sampai ke Cianjur karena amunisinya banyak, 1.100 ton,” ujar Nina.
Amunisi itu, lanjut Nina, merupakan persediaan untuk operasi di wilayah Priangan. Sejak amunisi itu hancur, aktivitas NICA di wilayah Priangan itu terganggu. Nina menyatakan bahwa serangan tersebut berdampak secara nasional, tidak hanya di wilayah Bandung saja.
“Penyerangan ini dampaknya nasional karena gudang amunisi itu gudang perbekalan untuk NICA se-Priangan. Jadi dengan hancurnya itu tentu pasukan NICA itu bingung juga amunisinya hancur. Itu yang saya bilang dampak nasional. Memang yang mati di pihak Belanda tidak ada, hanya luka-luka, tapi dampak perjuanganya itu nasional,” tuturnya.
Dalam bukunya, Nina menulis bahwa sebetulnya Panglima Besar Sudirman juga telah menginstruksikan Panglima Divisi Siliwangi Kolonel A.H. Nasution untuk melancarkan “Serangan Umum” pada awal Juli 1946. Hal tersebut berdasarkan anggapan bahwa pertahanan Jawa Barat bukanlah pertahanan lokal. Menurut Sudirman, jika Jawa Barat jatuh, maka seluruh Indonesia terancam keselamatannya.
Hal tersebut telah menguatkan asumsi bahwa peristiwa perebutan kembali Kota Bandung dari sekutu merupakan peristiwa yang berdampak nasional. Maka, menurut Nina, peristiwa ini sudah layak dijadikan sebagai sejarah nasional.
“Ini sebetulnya sejarah nasional kalau melihat dampaknya. Peristiwanya memang terjadi di Bandung tapi dampaknya itu nasional sebetulnya,” tandas Nina.
Untuk menjadikannya sejarah nasional, Nina menjelaskan, perlu ada langkah-langkah yang ditempuh. Selain adanya kajian ilmiah untuk dijadikan naskah akademik, peristiwa ini juga harus diusulkan oleh masyarakat setempat. Kemudian, hasil kajian juga harus diseminarkan secara nasional untuk mendapat pengakuan dari masyarakat.
“Naskah akademis ini harus memunculkan argumentasi bahwa ini betul-betul bersifat nasional. Buktinya apa, nantinya naskah akademis ini dikirimkan ke Kementerian Sosial (Kemensos). Di Kemensos ada tim penilai, sehingga mereka biasanya mendiskusikan, bila perlu juga mengajak kita berdiskusi, sehingga nanti bisa diputuskan benar tidak ini sifatnya peristiwa nasional. Nanti Kemesos bisa membuat SK bahwa 24 Maret itu layak diperingati sebagai katakanlah Hari Perjuangan Nasional,” terang Nina.