Selasa, November 26, 2024
spot_img
BerandaBale PolitikBale PolitikRefleksi Harlah Pancasila; Visi Negara Pancasila

Refleksi Harlah Pancasila; Visi Negara Pancasila

“Pancasila merupakan implementasi relasi antara individu dengan individu, individu dengan negara dan individu dengan Tuhan YME – Allah SWT”

***

Hari Lahir Pancasila 1 Juni, menjadi momentum dari kesepakatan dalam kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara Indonesia. Bagi sebuah negara demokratis di belahan dunia manapun pasti mempunyai konsensus atau kesepakatan sebagai urgensi dalam penyelenggaraan negaranya. Di mana kemudian kesepakatan itu harus diterima sebagai acuan secara kolektif, dalam fase untuk memajukan negaranya.

Melihat fase di negara-negara maju, sangat jelas visinya, orientasinya ke depan dan mampu menjawab tantangan masa depan, tidak berputar-putar dan mengulangi kesalahan masa lalu.

Jepang, RRC adalah salah satu negara yang tidak malu mengakui kesalahan atas kebijakan-kebijakan negara yang merugikan rakyatnya. Setelah kalah dalam perang dunia kedua, Jepang meminta maaf kepada rakyatnya karena kesalahan dalam penyelenggaraan negara sehingga rakyat menderita.

RRC mengakui kesalahannya, atas kebijakan ekonominya yang tertutup kemudian mengubahnya menjadi terbuka dan sekarang terbukti RRC menjadi negara yang kuat secara ekonomi. Jadi, jelas sesungguhnya sebuah negara kalau ingin maju harus memiliki visi – cara pandang yang fasenya terarah.

Termasuk juga dalam kontek keindonesiaan, para founding fathers sudah menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara, merupakan kesepakatan bernegara dalam hal penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam kontek kehidupan masyarakat dibutuhkan relasi yang kuat dengan sikap toleran terhadap segala hal perbedaan-perbedan yang ada di masyarakat dan harus dikelola sebagai modal sosial bagi bangsa Indonesia.

Dalam hal berbangsa, Pancasila menghendaki bahwa keindonesiaan yang sudah diikatkan menjadi semakin kokoh dan dalam kontek bernegara segala aktivitas kemasyarakatan serta kenegaraan harus bersumber pada konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945 yang juga di dalam pembukaannya termuat sila-sila Pancasila dalam alinea keempat.

Pancasila sebagai pandangan hidup berbangsa tentunya tidak hadir begitu saja, tetapi melalui sebuah proses yang mendalam bahkan melalui perdebatan panjang dalam hal keberadaannya.

Dimulai dari pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan sidang BPUPKI yang kemudian diakui sebagai hari lahirnya Pancasila. Dalam satu tarikan nafas yang tidak terpisahkan yaitu dengan hasil rumusan Panitia 9 yaitu Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni.

Piagam Jakarta kemudian disepakati oleh seluruh komponen bangsa yang berbeda suku bangsa, agama dan ras, saat ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada tanggal 18 Agustus 1945, di mana di dalam pembukaan UUD 1945 tercantum sila-sila Pancasila.

Sehingga, ketiga momentum tersebut tidak bisa dipisahkan atau terpenggal satu sama lain. Pancasila hadir menjadi kohesifitas atas pertanyaan tentang apa staat ide (dasar negara) yang cocok bagi bangsa Indonesia sebagaimana pertanyaan Radjiman Wedyodiningrat Ketua BPUPKI.

Dalam pidato 1 Juni, Soekarno menghendaki staat ide Republik Indonesia adalah sebuah negara yang dilandasi oleh nasionalime, demokrasi dan ketuhanan. Nasionalisme atau kebangsaan dilandasi oleh semangat adanya persatuan nasional hal tersebut karena dilihat dari akar sejarah bangsa dan realitas keindonesiaan yang begitu majemuk dan heterogen.

Demokrasi, adalah preferensi tepat dalam sistem bernegara Indonesia yang menempatkan rakyat sebagai pihak yang tertinggi dan tidak ada pihak lain yang diminta pendapatnya selain rakyat dan ketuhanan adalah setiap warga negara Indonesia diwajibkan untuk memiliki agama dan mempercayai Tuhan.

Sehingga jika dilihat dari tiga aspek tersebut, maka Pancasila memiliki relasi yang kuat antara individu dengan individu, individu dengan negara ,dan individu dengan Allah SWT- Tuhan pencipta alam semesta. Ketiga relasi yang dibutuhkan tersebut kemudian tentunya perlu peran negara untuk mengatur, sehingga kehadiran negara dirasakan ada oleh warga bangsa Indonesia.

Dalam hal hubungan individu dengan individu, konsep silih asah, silih asih dan silih asuh menjadi hal yang relevan dalam kontek kekinian untuk menjaga harmoni sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat saat ini yang nampaknya semakin menjauh dari spirit tersebut.

Konsep hubungan individu dengan negara yang sudah diakomodasi dalam UUD 1945 menjadi hal yang perlu diingatkan lagi, karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disepakati konstitusi sebagai acuan, bukan yang lain. Hal ini sejalan dengan konsep Negara demokrasi konstitusional yaitu adanya jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Hal menarik disampaikan oleh Moh. Hatta, dalam menentukan staat ide bagi bangsa Indoneisa adalah pernyataannya, bahwa negara ini didasarkan pada Agama maka hanya berlaku bagi satu agama saja.

Oleh karenanya Hatta setuju dengan konsep negara kebangsaan yang didalamnya mengakomodasi semua agama yang ada karena melihat realitas religiusitas yang ada di nusantara, yang kemudian ditajamkan oleh Soekarno yang menyatakan bukan saja bangsa Indonesia ber- Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknyalah ber-Tuhan, Tuhannya sendiri sesuai dengan agamanya.

Maka, menjadi jelas tentang konsep Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimaksud dalam Pancasila adalah Negara Indonesia mempercayai adanya Tuhan dan setiap warga negaranya untuk memiliki agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing dan tentunya negara perlu menjaminnya dengan memberikan kepastian rasa aman.

Di tengah arus globalisasi di mana kecenderungan adanya dua ideologi yang tengah menguat dalam kontek internasionalisme yaitu paham liberalisme dan paham radikalisme agama, maka bagi bangsa Indonesia perlu untuk keluar dari dominasi kedua ideologi tersebut dan tentunya adalah kebutuhan akan kokohnya Pancasila sebagai ideologi negara.

Liberalisme yang mengagungkan paham individualisme menghendaki adanya kebebasan yang tak terbatas dimiliki oleh setiap individu dalam sebuah negara, sehingga peran negara menjadi sedikit dan dipraktekan dengan demokrasi mayoritas.

Dalam konteks Indonesia, paham individualisme selain tidak sesuai dengan budaya gotong royong juga sejatinya sudah ditinggalkan oleh negara-negara di dunia sebagaimana diungkapkan oleh Arend Lijphart. Arend memandang kebanyakan pemerintah demokratis lebih menganut model konsensus atau demokrasi yang mengarusutamakan konsensus. Dan hal ini sudah sejalan dengan Pancasila yang mengambil jalan musyawarah mufakat sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.

Menerapkan paham agama, bagi Indonesia sesungguhnya hal yang sudah usang. Sebab sama saja membuka perdebatan lama dan akan menguras energi bangsa yang tidak produktif bagi kemajuan bangsa, karena lagi-lagi sesungguhnya tidak cocok dengan realitas keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.

Sementara paham primordialisme, politik identitas harus kita resapi bersama bahwa kita tidak bisa menegasikannya dan menjadi keniscayaan atas segala perbedaan yang merupakan rahmat dari Allah SWT.

Maka, Visi Negara Pancasila merupakan cara pandang kita dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bahwa tidak ada staatide (konsep negara) lain yang tepat bagi bangsa Indonesia yang secara rasional dapat memperkokoh persatuan, keutuhan dan kesatuan Indonesia dari Sabang sampai Merauke, selain lima dasar yang ada di dalam Pancasila yang harus dipedomani dan dipraktikan secara sadar.

Oleh karenanya, penting bagi segenap komponen bangsa untuk menajamkan kembali visi Negara Pancasila karena masih banyak agenda penting bagi kemajuan Negara yang harus diutamakan. Sehingga, dalam kontek Indonesia menjadi penting untuk memperkuat komitmen kebangsaan Kita dan meluruskan kembali terhadap jalan Visi Negara Pancasila. *** by Abdy Yuhana, Sekretaris DPD PDI Perjuangan Jawa Barat.

spot_img
BERITA LAINYA

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

TERKINI

spot_img