
BANDUNG – Sejak 45 tahun silam, pengrajin keramik H. Oma Rukman (72), mendedikasikan dirinya untuk tetap mempertahankan usaha rumahan (home industry) keramik di Jalan Stasion Lama Kiaracondong, Kota Bandung. Menggeluti dunia keramik sejak 1970, membawa Oma jadi salah satu pengrajin keramik yang tersisa di Kota Badung saat ini.
Usaha Oma pada awalnya dirintis dari pembuatan gerabah, keramik yang terbuat dari tanah liat berwarna cokelat. Seiring berjalan waktu, ia membuat inovasi dengan memproduksi keramik hias. Menurut Oma usaha yang ia jalani sempat mengalami pasang-surut akibat melonjaknya harga bahan bakar pendukung pembuatan keramik seperti gas elpiji.
Oma bukan satu-satunya pengrajin yang ada di Kiaracondong. Ia merupakan salah satu dari 7 pengrajin yang tersisa. “Dulu mah lebih dari 30 pengrajin 25 tahun ke belakang, karena harga minyak terus naik, sekarang hanya tinggal sekitar 7 pengrajin,” sebut Oma.

Seorang pekerja sedang membuat motif bunga di keramik yang sudah kering di Jalan Stasiun Lama Kiaracondong, Kota Bandung, Minggu (1/8). Motif bunga smerupakan motif yang paling banyak digunakan untuk mempercantik keramik hias.
Sempat Populer di Era 90-an
Kerajinan keramik sempat populer di era 1990-an. Tapi lambat laun, pamornya makin meredup sebab para pengrajin enggan berproduksi. Mereka menganggap biaya untuk membuat keramik makin mahal. Lantas satu per satu usaha rumahan di Kiaracondong itu mulai gulung tikar. Jumlah produksi keramik pun sudah mulai berkurang hingga kini. Sebanyak 30 usaha rumahan yang biasanya memproduksi keramik di sana, kini hanya tersisa sekitar tujuh pabrik saja.
“Berhubung bahan bakar minyak tanah kan dulu dari Rp1.000, 3.000 naik 5.000 naik 8.000, malah sekarang naik jadi Rp.15.000, juga ga ada subsidi. Sekarang cuma sisa sekitar 7 pabrik, itu juga yang pake gas,” kata Oma.
Kendati dengan adanya gas elpiji yang bisa digunakan sebagai pengganti minyak, namun harga gas yang cukup tinggi pun jadi permasalahan baru bagi usaha rumahan seperti milik Oma ini.
“Gas tabung yang 12 kilo biasanya di rumah satu bulan dipakainya, di sini mah satu jam untuk pembakaran. Sekali pembakaran biasanya memakai 7 gas tabung 12 kilo,” ungkapnya.
Menurut Oma, saat ini untuk pembelian gas elpiji ia harus menyisihkan sekitar 30% dari total biaya bahan baku dan produksi. “Dulu mah hanya 10 sampai 15 persen saja yang dikeluarkan untuk beli bahan,” kenang Oma.
Dalam sehari usaha milik H. Oma hanya melakukan satu kali pembakaran, ini disiasati guna meminimalisir biaya produksi yang dikeluarkan. “Satu tabung Rp150 ribu. Sekarang kalo tujuh tabung udah Rp1 juta lebih, itu dalam sehari. Kalo satu bulan lumayan nguras juga” kata dia.

Terjual Hingga Mancanegara
Meski satu persatu pengrajin keramik di kawasan Kiaracondong mulai gulung tikar, tapi kerajinan hasil tangan ini sudah pernah sampai ke negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Kualitas yang bagus membuat warga negara asing melirik hasil tangan warga Bandung ini.
Selain kualitas, harganya yang cukup terjangkau dan bervariasi membuat kerajinan keramik Kircon jadi daya tarik datangnya para pembeli. Setiap minggunya H. Oma menerima pesanan dari luar pulau Jawa, seperti Bali, Kalimantan, Sulawesi, hingga ke Medan.“Selain dikirim di wilayah Indonesia, saya juga pernah ngirim keramik ke Amerika sama Kanada,” ujar Oma.
Setiap tahun pula, ia mengikuti pameran kerajina keramik yang dilaksanakan Kementrian Perindustrian, Jakarta. “Kalo udah pameran yah, kaya pisang goreng, lakunya cepat,” ungkap Oma. [lam]