BANDUNG – Masyarakat Kota Bandung 89% setuju Kota Bandung memiliki Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Angka tersebut merupakan hasil survei terhadap 364 responden yang dilakukan komunitas pegiat anti-rokok, Smoke Free Bandung dan disampaikan kepada Wali Kota Bandung Ridwan Kamil di Ruang Rapat Bandung Command Center, Senin (5/9/16).
Hal ini mendorong Pemkot Bandung untuk membentuk Satgas Penegakkan KTR, salah satunya melakukan persiapan pembentukkan Perda KTR. Sejauh ini, Kota Bandung telah menggunakan Perda K3 sebagai dasar pelaksanaan berbagai program terkait pengendalian dan pengaturan rokok. Namun menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Ahyani Raksanagara, pelaksanaan perda tersebut belum sepenuhnya optimal.
“Karena pengawasannya belum dibuat sistemnya. Jadi lebih mengandalkan pada kepedulian, dan pemahaman masing-masing. Padahal peraturan itu harus dipaksa untuk dilakukan,” terang Ahyani.
Oleh karena itu ia mendukung pembentukan Perda KTR ini, terlebih lagi karena ini permintaan langsung dari masyarakat. Kendati begitu ia terus mengoptimalkan penegakkan KTR walau belum ada payung hukum yang lebih spesifik.
“Sebenarnya kita target utamanya bukan soal perda-nya, tapi implementasi penegakkan kawasan tanpa rokok yang sekarang sudah ada tertuang di Perda K3-nya. Jadi Pemerintah Kota Bandung sebetulnya sudah memiliki aturan tentang daerah-daerah yang dibolehkan merokok untuk alasan perlindungan kepada masyarakat non perokok,” jelas Ahyani.
Pertimbangan utama pembuatan Perda KTR ini adalah bahwa di Kota Bandung ini belum ada regulasi khusus yang memberikan ruang pisah antara perokok aktif dengan perokok pasif atau yang bukan perokok. Kondisi saat ini, ambang batas ruang rokok antara keduanya masih tercemar. Menurut Ahyani, Perda ini akan mengatur bagaimana membuat aturan agar perokok pasif dan aktif sama-sama memahami hak dan kewajibannya.
“Jadi tadi arahan Pak Walikota, kita punya yang quick win-nya, yaitu mengingatkan, mensosialisasikan, menegakkan aturan sesuai aturan yang sudah ada. Baik itu kawasan tanpa rokok, soal tidak boleh merokoknya, maupun tentang iklan rokok. Kan itu sudah ada juga aturannya,” imbuh Ahyani.
Ia menambahkan, perlu dipahami pula oleh masyarakat bahwa pengaturan KTR ini bukan berarti mendiskriminasikan orang yang merokok. Namun lebih kepada pemberian ruang kepada setiap orang, baik perokok maupun bukan, untuk sama-sama mendapatkan haknya.
“Penegakkan kawasan tanpa rokok itu bukan melarang orang merokok atau mendiskriminasikan orang yang merokok. Karena kan undang-undangnya hanya di daerah-daerah itu. Karena kan itu udah nyata-nyata ada anak kecil, ada bayi, ada orang berhimpun. Jadi sebetulnya kita tidak dibenturkan dengan perokok dan tidak perokok, tetapi menjadi, di tempat-tempat yang memang tidak boleh ya jangan merokok,” ujar Ahyani.
Ia juga menjelaskan bahwa pengaturan kawasan tanpa rokok bukan sebatas tidak boleh ada asap rokok di kawasan tersebut. “Yang dimaksud kawasan tanpa rokok bukan saja tidak ada orang yang merokok di situ tapi tidak ada iklan rokok dan tidak ada penjualan rokok di situ,” imbuhnya. “Makanya kita diminta bapak membentuk satgas untuk penegakkan kawasan tanpa rokoknya itu,” tandas dia.