Balebandung.com – Ketiga orang utusan Senapati Ronggonoto itu memacu kuda mereka cepat-cepat. Tak ada satu pun dari ketiga orang itu yang menampakkan raut wajah cerah. Muka-muka mereka menembaga, dengan garis bibir melengkung ke bawah. Mereka semua terlihat sangat kecewa.
Tentu saja pada saat di Balairung, tata sopan santun tak memberi mereka kesempatan membuka kanjut kundang pemberian Bupati Sutapura untuk melihat isinya. Tetapi sifat rakus yang tertanam dalam jiwa ketiga orang itu membuat mereka segera minta diri. Apalagi memang Bupati Sutapura pun seolah memaksa mereka segera pergi, seolah mengusir orang-orang Mataram itu untuk segera enyah dari Tatar Ukur.
Pada saat di istal kuda para tetamu keraton, kesempatan untuk membuka kanjut kundang itu terbuka.
“Oi, Ki Sanak, menunggu apa lagi kita? Bukalah, dan bagi rata,” kata salah seorang dari ketiganya, tak sabar menunggu kepala rombongan membagi upah mereka.
Kepala rombongan, yang dipanggil ki sanak itu mendengus. Mungkin ia merasa otoritasnya terusik.
“Hai Tejo, jaga mulutmu. Bersabar sedikit tak akan membuat kepalamu hilang. Justru hal sebaliknya bisa membuat kau pulang ke tanah Mataram hanya tinggal nama,” kata si kepala rombongan. Matanya mendelik. Kemarahan juga membuat kumis ijuknya terangkat dan kian tajam mengeras.
“Lagian, siapa yang harus membagi adil? Kalian anak buahku, Kanjeng Senapati memintaku mengabari bupati tak tahu diuntung tadi. Aku memilih kalian berdua. Jadi pembagiannya ya terserah aku.”
Orang yang disebut Tejo melengoskan wajah, membuang dan menutupi kekesalannya. Ia merasa dirinya dan kawannyalah yang paling susah selama perjalanan ke Tatar Ukur ini. Sepanjang perjalanan si kepala rombongan seolah bangsawan, minta diperlakukan istimewa. Mencari air, memanah atau menjerat binatang untuk makanan di saat tak ada warung pinggiran jalan, mencarikan tempat berbaring yang nyaman, bahkan kadang si kepala rombongan itu melunjak dengan meminta kedua anak buahnya itu memijatinya bergantian. Lalu alasan apa yang melarang pembagian itu dibuat rata?
“Ya semaumulah,Kakang,” kata rekan Tejo, sesama anak buah si kepala rombongan. “Hanya kalau dibagi rata bertiga, kan lebih gampang, tinggal membuat isi wadah itu menjadi tiga gundukan.”
Rupanya orang itulah yang paling polos di antara anggota rombongan, atau pilon barangkali tepatnya. Dia pikir pembagian uang itu laiknya pembagian beras atau buah duku, dibagi dalam gundukan.
“Yaa sudahlah, mari!” kata si kepala rombongan. Di istal itu terdapat meja kayu kasar dikelilingi empat atau lima kursi tanpa sandaran. Bukan kursi sebenarnya, hanya potongan kayu gelondongan yang tingginya pas sebagaimana kursi. Pada satu di antara kursi kayu itulah si kepala rombongan menghempaskan pantatnya.
Diambilnya kanjut kundang dari balik sabuknya. Dibukanya tali temali yang mengikat kantong itu, lalu curahkannya isinya ke atas meja. Beberapa puluh keeping mata uang tercurah ke atas meja. Tak hanya bunyinya, warna keping-keping mata uang itu segera membuat ketiganya mendengus kecewa. Alih-alih bunyi denting mata uang emas, atau setidaknya perak, puluhan mata uang yang kini tergolek di meja itu segera menambah rasa haus mereka bertiga.
“Sialan! Mata uang tembaga!”
Si kepala rombongan menggebrak meja di depannya dengan marah. Setelah kekecewaan akan penerimaan Bupati Sutapura tadi, tumpukan uang tembaga itu kini telah membuatnya gusar.
“Kurang ajar, bupati gila! Sekian hari berkuda menghadapi ancaman di perjalanan, membawa kabar untuk kepentingan dia, kita hanya dihargai keping-keping tembaga ini! Buat bekal selama perjalanan pun belum tentu kepeng-kepeng ini bersisa,” kata dia.
Dua anak buahnya tentu saja merasakan kekecewaan serupa. Bahkan mungkin saja lebih besar. Keduanya merasa waktu sepekan perjalanan akan lebih bermanfaat bila mereka gunakan untuk pekerjaan lain di Mataram.
“Kita rampok saja orang-orang kaya Tatar Ukur ini,” kata Si Tejo, memberikan usul. “Kita lari ke wilayah Mataram setelah cukup mendapatkan harta benda mereka. Paling tidak, kerugian kita bisa diganti.”
Rekannya dan kepala rombongan tak menanggapi. Tetapi mata-mata mereka yang merah menyala menegaskan usulan Tejo itu layak untuk dicoba.
Kenyataan yang mereka hadapi di istal itulah yang membuat ketiga utusan itu memacu kuda mereka kencang-kencang. Dalam perjalanan ke Ukur sebelumnya, mereka memang sedikit menandai beberapa rumah di dukuh-dukuh yang mereka lewati. Di beberapa dukuh itu mereka melihat para tengkulak hasil bumi dan para rentenir hidup berkelebihan.
Saat mereka makan di satu warung, mereka menyaksikan sebuah kereta kuda membawa istri seorang tengkulak berbelanja di pasar yang mereka singgahi. Tak hanya pakaian mahal dari sutera dan kain batik buatan Mataram yang mereka tahu ketinggian harganya yang dipakai istri tengkulak itu.
Perhiasan emas berlian yang dipakai istri tengkulak itu pun membuat ludah mereka mencucurkan liur saking tergoda. Saat itu pun sebenarnya rencana jahat itu mulai muncul. Kini, tipisnya imbalan kerja mereka membuat rencana itu menjadi keharusan untuk diwujudkan.
Di sebuah tikungan tajam, hampir saja mereka menabrak seorang penunggang kuda putih yang datang dari arah berlawanan. Untunglah, baik kuda mereka maupun kuda putih yang ditunggangi seorang anak muda pertengahan 20-an tahun itu termasuk kuda jempolan. Tabrakan pun bisa terhindar.
“Eiit!”
Si kepala rombongan menarik tali kekang kudanya, membuat kuda itu berhenti menghindari tabrakan. Kedatangan kuda putih dari arah berlawanan di tikungan setajam itu memang layak membuat mereka kaget.
“Hati-hati, Ki Sanak!” teriaknya gusar.
“Ah, kau juga mesti hati-hati,” teriak anak muda di punggung kuda putih gagah itu. Tetapi anak muda itu tak berhenti. Ia terus memacu kudanya tanpa menghiraukan mereka lagi.
“Anak muda sialan! Kalau berhenti. Aku akan pisahkan kepala congkaknya itu dari badan dia.” Si kepala rombongan menggerutu.
“Ah, biarkan saja Kakang. Dia takut, makanya lari terus,” kata Tejo. Tapi sejenak kemudian ia berkata,” Hanya sepertinya aku pernah melihat orang itu. Di mana ya?”
“Ah kau, Tejo. Ternyata bukan hanya perempuan cantik yang kau ingat. Laki-laki tampan pun masuk dan tersimpan dalam benakmu. Ha ha ha ha…” Rekan Tejo tertawa ngakak. Si kepala rombongan pun akhirnya ikut tersenyum.
“Kau suka gemblak juga ternyata, Tejo.”
Tejo sebentar terpancing untuk melayani kelakar bersemu hinaan dari dua teman seperjalanannya. Hanya segera itu pula ia terpikir mengurungkan.
“Tidak, aku memang pernah melihat orang itu. Sebentar aku pikirkan. Silakan kalian tergelak, tapi aku merasa soal ini akan jadi masalah kita ke depan. Naluriku mengatakan begitu,” kata Tejo. [bersambung/gardanasional.id]
Dipati Ukur: Pahlawan Anti-Kolonisasi Tanah Pasundan [18]: Kehormatan Sekanjut Kepeng