Balebandung.com – Sebenarnya, selain mengutus Aria Wirasaba untuk membangun jaringan logistik, tiga tahun kemudian Sultan Agung pun telah mengutus ‘pasukan’ lain secara diam-diam memasuki Batavia. Itu terjadi pada tahun 1627. Tugasnya sederhana, pelaksanaannya yang mempertaruhkan jiwa raga, hidup-mati: membunuh Murjangkung sekeluarga!
Saat itu Kanjeng Sultan meminta pimpinan lembaga telik sandinya Dom Sumuruping Mbanyu [1], Raden Bagus Wonoboyo, untuk mempersiapkan agen yang akan menyusup diam-diam ke dalam benteng VOC di Batavia.
“Wonoboyo, terserah bagaimana caramu, susupkan orang-orangmu ke dalam rumah Murjangkung. Bunuh dia, dan bawa kepalanya ke mari!” seru Kanjeng Sultan, memerintah setahun lalu.
Sebulan kemudian pimpinan tertinggi lembaga intel itu menghadap Sultan. Bersamanya menghadap Tumenggung Kertiwongso dari Tegal dan agen telik sandi terkemuka asal Samudra Pasai yang telah lama mengabdi kepada Mataram, Mahmuddin. Bagus juga membawa serta putrinya, Nyimas Utari Sandijayaningsih.
“Hamba telah mendidiknya sebagai telik sandi terbaik, Kangjeng Gusti,” kata Bagus Wonoboyo saat Sultan bertanya buat apa membawa putrinya menghadap.
“Baiklah,” kata Sultan Agung. “Apa yang terbaik menurutmu, lakukanlah. Yang jelas, pada saatnya aku minta kepala Murjangkung diserahkan di atas nampan. Atau kepalamu!”
Tahun itu pula kelompok pertama pasukan Mataram itu bergerak. Mereka membangun basis jauh dari Batavia, namun masih cukup strategis untuk mengamati perkembangan kota benteng itu. Mereka membuka hutan di bantaran kali Sunter di wilayah Pakuan, sebuah wilayah bekas pusat kerajaan tua Pajajaran. Dari sana, perjalanan ke Batavia bisa ditempuh dengan tiga perempat hari berkuda.
Bertugas bersama, timbullah rasa cinta di antara Nyimas Utari dengan Mahmuddin. Menikahlah keduanya dengan tugas awal yang kian mengukuhkan kedekatan keduanya. Mahmuddin untuk tugas tersebut mendapatkan nama sandi ‘Wong Agung Aceh’. Memang, mereka mengawali penyusupan pun dari Aceh.
Pasangan itu berhasil memasuki benteng VOC dengan kamuflase sebagai pebisnis. Tak hanya itu, kepandaian menyanyi dan suara emas Nyimas Utari pun menjadi modal penting penyamaran keduanya. Suara Nyimas Utari begitu disukai Eva Ment, istri Murjangkung. Kedekatan itu pula yang membuat kapal dagang suami-istri itu kemudian disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar.
Setahun kemudian, kedekatan itu mulai membuahkan harapan akan keberhasilan tugas mereka. Keberhasilan untuk menjaga pula batang leher ayah dan mertua, yakni Ki Bagus Wonoboyo, tetap pada tempatnya. Nyimas Utari kian berhasil menjalin kedekatan dengan keluarga Murjangkung. Pada 1628 itu Nyimas Utari sudah dipercaya dan memiliki akses ke kastil, bergaul sangat akrab dengan Eva Mentdan anak-anaknya!
Jadi, dengan segala persiapan itu, menurut Sultan Agung inilah saatnya Mataram menggempur Kompeni, bangsa bule yang jumawa itu!
***
Dipati Ukur tepekur membaca surat yang baru diterimanya dari utusan Keraton Mataram. Inilah hari yang sejak lama ia sadari akan datang. Hari saat Keraton Mataram menagih janji setianya untuk berbakti. Hari itu 12 Juli 1628.
Surat itu sederhana saja. Sultan Agung memintanya mengumpulkan pasukan dari semua kabupaten di Priangan yang menjadi bawahannya. Pasukan yang ia pimpin itu akan bergabung di Karawang dengan pasukan Mataram yang sudah mulai diberangkatkan dari ibukota. Gabungan pasukan itulah yang akan bersama-sama menyerbu Batavia.
“Dua bulan lalu pasukan Mataram sudah mulai bergerak,” bunyi surat tersebut.
“Hm, kalau perjalanan jalan kaki menempuh waktu tiga bulan, itu artinya serbuan akan dilaksanakan pada bulan yang disebut orang-orang Olanda itu bulan Agustus,” Ukur membatin.
“Baiklah, Utusan,” kata Dipati Ukur kepada caraka yang datang dari Mataram. “Ganti kudamu dengan kuda yang masih segar di istal. Segera kembali ke Mataram. Katakan kepada Susuhunan Mataram bahwa wadya bala Tatar Ukur dan Sumedang siap bergabung dengan prajurit Mataram pada pekan kedua Agustus di Karawang.”
“Sendika Gusti!” kata Caraka tersebut. Kepada salah seorang pejabatnya Ukur memerintahkan agar kedua caraka itu diberi bekal uang yang lebih dari cukup untuk perjalanan pulang.
“Sampaikan salam dariku untuk Kanjeng Sultan!” perintah Ukur manakala keduanya telah siap di atas pelana kuda-kuda yang masih segar, siap membawa mereka kembali ke Mataram.
“Sendika, Gusti!” Setelah menyembah, kedua utusan itu segera melompat ke punggung kuda. Mereka berdua mengangguk hormat sebelum kemudian memacu kuda cepat-cepat ke arah wetan.
Kepergian kedua utusan tersebut meninggalkan kepulan debu yang mempercepat hilangnya mereka dari pandangan. Begitu punggung mereka tak lagi terlihat, Ukur segera memanggil seorang hulubalang.
“Senapati, segera pilih 10 orang utusan. Sebar mereka ke 22 wilayah Kandage Lante dan 18 umbul yang ada di wilayah kita. Perintahkan semua umbul dan kandaga lante untuk mengumpulkan pasukan. Sepuluh hari lagi semua harus berkumpul di alun-alun Tatar Ukur, sebelum kita bersama-sama berangkat ke Karawang,” kata Ukur. Perintahnya jelas, membuat hulubalang itu tak harus bertanya lebih jauh.
“Kaula Nun Gusti, mangga! Siap!“ katanya. Setelah unjuk sembah, segera ia berlari hendak melakukan tugasnya.
Sore itu, sambil menunggu maghrib Ukur bersama Nyimas Saribanon menikmati senja. Layung di langit barat tampak megah memulas langit dengan sepuhan warna emas. Burung-burung pulang ke sarang, digantikan kepak sayap kelelawar yang satu persatu tampak keluar beterbangan.
Kelelawar pemangsa serangga saat itu pun sudah bisa mulai berpesta menyambari serangga-serangga yang beterbangan. Capung terutama. Sementara kelelawar buah belum bisa memakan buah-buahan, harus bersabar sementara waktu menunggu datangnya malam.
“Nyai, hari ini datang utusan Mataram, meminta Kakang membantu mereka menyerbu Batavia,” kata Ukur. Diraihnya sepotong pisang yang digoreng dengan minyak kelapa buatan Galuh. Wanginya khas, menunjukkan gorengan itu menggunakan minyak buatan wilayah yang kaya pohon kelapa itu. Lain dengan minyak buatan daerah lain, minyak kelapa Galuh tak pernah membuat gorengan berbau tengik.
“Iya, Dinda melihatnya tadi. Begitu tergesa, hingga setiap orang pun tahu ada persoalan besar yang dibawanya dari Keraton Wetan,” kata Nyimas Saribanon. “Sebenarnya, bisakah seandainya Kakang menolak perintah Sultan?” Nyimas Saribanon bertanya.
Ukur tersenyum. Ia tahu istrinya itu tak menginginkan ia pergi jurit. Apalagi jurit untuk kepentingan Sultan Agung yang terkenal tak pernah mau menerima kegagalan. Tampaknya cerita tentang dipancungnya Adipati Rangga Gempol karena gagal menyerang Kerajaan Madura telah membuatnya trauma.
“Bisa saja, mengapa tidak?” kata Ukur.
“Nah, lalu mengapa Kakang tidak langsung menolak?” Paras muka Nyimas Saribanon berkerut, mempertanyakan sikap suaminya.
Ukur kembali tersenyum. Ia tahu betapa pun istrinya itu istri seorang prajurit, tetap saja ibu rumah tangga yang tak banyak bersentuhan dengan urusan politik dan tata negara.
“Karena itu artinya sama dengan langsung meminta Kanjeng Sultan menyerang dan membunuh kita,” kata Ukur.
“Apalagi yang diminta Kanjeng Sultan juga masuk akal, meminta bantuan untuk menyerang orang-orang Olanda kafir yang watak jahatnya tak kurang dengan sebagian orang-orang Wetan. Belum lagi Kakang pun terikat janji untuk mengabdi. Apa namanya Kakang sebagai prajurit dan nonoman Sunda bila mengabaikan janji yang pernah diucapkan lidah, keluar dari mulut? Kakang harus menepati janji setia. Itu aturan sinatria, Rayi.”
Nyimas Saribanon terdiam. Hatinya gundah. Bagaimana pun ia tahu, perang, apalagi menghadapi senjata bedil yang bisa menjatuhkan musuh jauh lebih dari jangkauan anak panah, bukanlah sebuah kondisi yang bisa memastikan pelakunya selalu dapat kembali pulang. Tak jarang, yang pulang hanya nama, karena jasad telah menjadi mayat, ngababatang[2] di medan juang.
“Jangan sedih, Rayi. Sejak awal kita membangun rumah tangga bukankah kemungkinan ini telah Kakang bicarakan?”
Nyimas Saribanon mengangguk. Ia menghela nafas panjang.
“Semoga saja Allah memberi kemenangan untuk Kakang,” kata dia, setelah sekian lama terdiam.
“Terima kasih, Rayi. Kakang berharap Rayi bisa tegar. Bukan hanya Kakang yang berangkat ke medan perang, melainkan juga seluruh prajurit Ukur dan Sumedang. Bagaimana nanti, bila Rayi, istri Kakang yang akan memimpin jurit para prajurit, justru menunjukkan kesedihan? Yang terbaik adalah selalu sabar, doakan Kakang dalam setiap shalat Rayi,” kata Ukur.
Istrinya mengangguk, meski matanya kini terlihat mulai basah. Nyimas Saribanon menubruk Ukur, menangis di pangkuan suaminya. Dipati Ukur terus membesarkan hatinya sambil tak henti mengelus-ngelus rambut istrinya, hingga adzan maghrib berkumandang. [bersambung/gardanasional.id]
1] Arti harfiahnya jarum yang dimasukkan ke dalam air
[2] Terbujur (Sunda)
https://www.balebandung.com/dipati-ukur-pahlawan-anti-kolonisasi-tanah-pasundan-27-telik-sandi-mataram-masuk-caravam/