-Setelah jatuhnya Majapahit, ratusan tahun kemudian kerajaan-kerajaan taklukan di seluruh Nusantara bangkit memupuk kekuatan. Yang paling mencorong adalah Kerajaan Mataram, pengklaim pewaris kekuasaan Majapahit. Sementara kekuatan asing yakni Portugis, Belanda dan Inggris, mulai pula datang menancapkan kuku kekuasaan mereka. Masing-masing dengan kerakusan dan kekejamannya sendiri. Pada saat itu, di Tanah Sunda muncul kekuatan yang mencoba menolak penjajahan, dipimpin seorang bernama Dipati Ukur.
Balebandung.com – Pada hari Sultan menerima kabar buruk itu, ia langsung menugaskan seorang senapati sebagai respons penghinaan Kompeni. Tugasnya sederhana: membawa ke hadapan Sang Sultan kepala Van der Marct.
Ukur yang saat itu sudah menjadi prajurit Mataram ingat peristiwa sepekan kemudian, ketika senapati itu melaporkan kegagalannya. Pimpinan prajurit yang terkenal tak pernah takut itu, saat itu terlihat bagai celurut terpeleset ke sungai. Duduk bersila di balairung istana sambil menunggu kedatangan Sultan Agung, senapati itu benar-benar kehilangan jiwa. Mengkeret. Hilang sudah kesadaran dan pendidikan olah juritnya selama ini, digantikan kesadarannya sebagai manusia biasa yang menghadapi kematian.
Ya, kematian! Siapa warga Keraton Mataram yang tak tahu hukuman Sang Sultan terhadap kegagalan? Mati! Hanya cara mati saja yang berbeda-beda, tergantung kehendak Sultan saat itu. Ada yang mati karena direbus, ada yang dipenggal lehernya tepat di alun-alun, ada yang dibiarkan tergantung dengan tali menjerat leher, disaksikan sekian ribu rakyat yang diminta datang menonton.
Jadi, di balairung keraton Mataram itu pula sang Senapati tengah menanti malakal maut. Persoalannya hanyalah, dengan cara apa?
“He, hanya diberi tugas sekecil itu, Kowe masih juga gagal, ya?” tiba-tiba terdengar suara membahana. Sultan Agung datang. Ia langsung bicara sesegera tiba.
Senapati gagal itu menyembah-nyembah sujud. Kepalanya rata dengan lantai balairung. Hanya suaranya saja yang terdengar mengiba-iba, sambil melontarkan sejumlah alasan. Balairung hening. Tak seorang pun bicara. Dunia selalu hening manakala terjadi hal yang ganjil. Dan keganjilan itu membuncah di sini: seorang prajurit, senapati gagah perkasa dengan kumis melintang dan tubuh tegap sentana, tengah memohon-mohon agar nyawa tak lepas dari raga.
“Tegakkan dia. Tak pantas seorang prajurit berlaku seperti paria,” kata Sultan Agung memerintah.
Dua hulubalang segera menaati perintah itu. Masing-masing mengapit dua sisi Senapati, memegang pangkal lengannya, mengangkatnya tegak dari posisi sujud. Hanya diperlakukan seperti itu saja, Si Senapati menjerit laiknya meregang nyawa.
Sesegera tubuh si Senapati berhasil ditegakkan, Sultan Agung segera merebut tombak dari tangan seorang hulubalang. Lalu dengan raut muka jijik penuh kebencian, dibenamkannya tombak itu menembus dada Senapati.
“Modar lebih baik buat seorang pecundang!” serunya. Suara itu menggelegar memecah keheningan balairung. Si Senapati menjerit. Pendek saja, sebelum kepalanya terkulai tak mampu lagi disangga leher yang kehilangan nyawa. Sultan masih sempat mencabut sendiri tombak itu, sebelum dikembalikannya kepada hulubalang pemiliknya yang pucat lesi.
**
Ingatan sekelebat itu menyadarkan si pemuda bahwa rajanya tak pernah bertindak setengah-setengah. Rajanya hanya tahu, ia yang tengah diuji yang mati, atau kerbau gila itu yang harus meregang kehilangan nyawa.
Yakin dengan apa yang harus dilakukannya, pemuda itu melepaskan genggaman tangan kirinya dari ekor kerbau. Sebentar diusapnya keris Panunggul Naga yang terselip di pinggangnya. Namun sejenak ia merasa ganjil. Rasanya tak elok membunuh kerbau yang dagingnya bisa dijadikan santapan enak bersama-sama itu dengan keris sakti. Itu ibarat membinasakan lalat dengan gada Rujakpolo milik Aria Bratasena dalam kisah pewayangan.
“Tidak,” pemuda itu membatin. Bukan dengan keris. Cukup dengan balati yang juga selalu dibawa-bawanya kemana-mana. Senjata yang lebih fungsional untuk memotong dan mengerat, dibanding sebilah keris tentunya.
“Maafkan aku, Sobat.” Ia berbisik dengan mulut yang nyaris menempel ke telinga kerbau itu. Benar, kini pemuda itu merasa sedikit rasa bersalah tengah tumbuh di hatinya. Rasa itu pula yang membuatnya berpikir agar kerbau itu merasakan sakit sesedikit mungkin dalam proses menuju kematiannya.
“Bismillahirahmaanirrahiim..” ucapnya, sesaat sebelum merapal aji Brajamusti yang ia andalkan. Sesegera mantera itu usai dibacanya, tangan kanannya melepaskan tanduk itu dari genggaman. Hanya dengan telapak tangan itu dipukulnya pelipis sang kerbau. Tidak keras, bahkan cenderung lembut tak ubahnya mengusap. Namun efeknya sungguh mencengangkan. Kerbau itu limbung bagai hilang kesadaran. Kaki depannya terlipat tanpa disangga kekuatan otaknya yang kini putus kesadaran.
Pemuda itu sendiri mencelat ke atas dan segera menapak kembali dengan kokoh meninggalkan tunggangannya yang siap menyungkur tanah. Dengan satu lompatan panjang dihampirinya kerbau yang kini terjerembab di pinggir alun-alun itu.
“Bismillahi bi ala millati rosulillah, la haula wala quwwata ila billah…” Dengan sigap pemuda itu mencabut balati yang tersembunyi di balik ikat pinggang kulit selebar telapak tangan yang dikenakannya. Dengan lembut diangkatnya dagu kerbau yang kini semaput itu. Setelah yakin menemukan kerongkongan dan dua urat di leher kerbau itu, si pemuda segera membenamkan pisaunya ke leher kerbau itu seraya mengirisnya dengan gerakan memutar. Beberapa detik kemudian pemuda itu merasakan cairan yang basah hangat menyemprot dan menjalari tangannya yang memegang belati. Darah merah membual deras.
“Allahu Akbar!” serunya, cukup keras. Sebagian orang yang berada di pinggiran alun-alun itu menirukan kata-kata takbirnya.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Selama beberapa saat pemuda itu masih tetap menekankan pisaunya ke leher kerbau, mengiris seraya mulutnya tak henti komat-kamit. Ia baru beranjak dari sikapnya setelah memastikan kerbau itu mati. Setelah mengusap-usapkan kedua sisi belati itu ke badan kerbau untuk membersihkan darah yang menempel, baru kemudian ia bangkit.
Dengan sikap tenang disarungkannya kembali belati yang telah meminta korban itu ke pinggangnya. Dengan sikap tenang yang sama ia menyembah ke arah panggung tempat Sultan menonton pergulatan itu. Baru kemudian melangkah mendekat dan duduk bersila di muka panggung tersebut.
“Bagus! Bagus sekali Prajurit!” kata Sultan Agung seraya bangkit dari duduknya. Sultan segera turun dari panggung, berjalan menghampiri pemuda itu diiringi beberapa hulubalang yang mengawalnya. Si pemuda hanya diam tertunduk dengan posisi kedua tangan menyembah di atas kepalanya.
Namun demikian mata pemuda itu melihat Sultan hari ini ditemani begitu banyak pemangku kerajaan Mataram. Tidak hanya Senapati Ronggonoto, pimpinan pasukan berkuda istana; Tumenggung Bahureksa, pimpinan tertinggi pasukan kerajaan; melainkan hadir pula Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Danupaya, bahkan tampak Raden Mas Sayidin atau Pangeran Adipati Anom Arya Prabu Adi Mataram, yang tak lain adalah raja muda penerus Sultan Agung kelak. Mata si pemuda melihat mata Sang Pangeran berkilat, seolah menemukan sesuatu yang sangat menarik hatinya.
Kecerdasan pemuda itu dengan cepat mengetahui bahwa momen uji coba barusan memang dipandang para pemuka Kerajaan Mataram sebagai momen penting. Mungkin apa yang telah dilakukannya selama mengabdi sebagai prajurit di masa tunggu sebelum uji coba ini telah mengesankan banyak orang. Bukan mustahil kabar kedigjayaannya yang tak pernah mau diperlakukan semena-mena dan menghinakan oleh prajurit-prajurit senior telah sampai kepada mereka. Bukan sekali dua dirinya merobohkan seluruh anggota regu prajurit Mataram yang mengganggunya di kedai makan. Semua ia lakukan dengan tangan kosong, sementara para prajurit Jawa itu kadang lupa malu dan mencabut senjata mereka. [bersambung/gardanasional.id]