CIPARAY,balebandung.com – Hudzaifa, seorang pendamping penderita thalasemia turut memberikan pendampingan kepada anak-anak maupun remaja yang berasal dari kalangan thalasemia yang tersebar di sejumlah wilayah di Kabupaten Bandung.
Ia pun mengajak mereka untuk lebih peka terhadap lingkungan, sehingga diajak untuk berkumpul bersama dengan anak-anak maupun remaja lainnya yang tidak masuk kalangan thalasemia. Hal itu untuk menumbuhkan kebersamaan dan tidak ada perlakuan diskirimansi terhadap penderita thalasemia.
Hudzaifah pun menyadari bahwa dirinya bukan sebagai tim medis atau memahami tentang thalasemia. Tetapi Hudzaifa bersama relawan lainnya berupaya untuk memberikan pendampingan kepada kalangan thalasemia supaya mereka memiliki hak yang sama dalam pelayanan kesehatan maupun pendidikan.
“Karena menderita thalasemia, sehingga ada di antara mereka diperlakukan berbeda dari warga lainnya. Kita berusaha untuk menghindari perbedaan itu, dan kita berharap penderita thalasemia juga mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan maupun pelayanan pendidikan,” kata Hudzaifa didampingi Penggiat Thalasemia Kabupaten Bandung Denni Hamdani dan Ketua Paguyuban Orang Tua Penderita Thalasemia Rumah Sakit Umum Daerah Majalaya Asep di sela-sela pelaksanaan donor darah di Aula Kecamatan Ciparay, Jumat (6/1/2023).
Hudzaifa juga mendapat kabar dan informasi dari warga, disaat anak-anak dari kalangan penderita thalasemia itu sering absen dan tidak masuk sekolah, tiba-tiba disaat ada bantuan, bantuan itu dialihkan ke siswa lainnya.
“Alasannya, anak itu sering tidak masuk sekolah atau keluar masuk sekolah karena harus berobat ke rumah sakit. Anak-anak itu sering tidak sekolah karena kondisi kesehatan, dan harus menjalani transfusi darah di rumah sakit secara rutin,” kata Hudzaifa.
Menurutnya, dengan adanya informasi itu, sehingga harus menjadi pemahaman dari pihak sekolah karena penderita thalasemia tidak bisa diperlukan sama seperti orang-orang normal lainnya. Karena penderita thalasemia harus menjalani transfusi darah rutin di rumah sakit, sehingga ada waktu untuk tidak masuk sekolah.
Hudzaifa mengungkapkan sebagai bentuk apresiasi kepada para penderita thalasemia, pihaknya bersama penggeliat relawan lainnya, yang juga dari para pelajar SLTA dan mahasiswa membuat sebuah karya atau film cerita pendek yang berkaitan dengan kehidupan dan kondisi anak-anak atau remaja thalasemia. “Bukunya juga ada,” katanya.
Dikatakannya, melibatkan para pelajar SLTA dan mahasiswa itu, sebagai peran pengganti yang menggambarkan kehidupan para penderita thalasemia. “Tetapi kita juga tetap anak-anak atau remaja penderita thalasemia sebagai pemeran langsung dalam film pendek tersebut. Untuk menceritakan kondisi sebenarnya, yang dialami oleh mereka,” kata Hudzaifa.
Hudzaifa mengatakan, membuat film pendek itu bukan untuk mengeksploitasi para penderita thalasemia. “Tetapi untuk memberikan gambaran nyata dari sisi kehidupan orang-orang penderita thalasemia,” katanya.
Menurutnya, pada film pendek itu ada pesan yang bisa disimak dari para penderita thalasemia yang memiliki asa dan rasa optimisme untuk menjadi orang sehat dan terbebas dari penderitaan itu.
“Jangan sampai para penderita thalasemia diperlakukan berbeda, karena mereka memiliki harapan dan cita-cita seperti halnya warga normal lainnya,” ungkapnya.
Ia mengatakan ada di antara penderita thalasemia yang bisa bertahan hidup hingga saat ini, dengan usia 40 tahun. “Dia tidak lagi tergantung pada transfusi darah, dan akhirnya terbebas dari kebiasaan transfusi darah. Jadi penderita thalasemia ada harapan untuk hidup lebih lama lagi,” katanya.
Hudzaifa juga berusaha untuk melakukan pendampingan terhadap para penderita thalasemia itu, di antaranya disaat hendak menikah untuk melakukan screening atau pemeriksaan dulu. Hal itu untuk memutus mata rantai penyebaran penyakit thalasemia.
“Berdasarkan informasi, karena tidak semua orang yang menikah karena menderita thalasemia, anaknya menderita thalasemia. Itu ada kejadian, anaknya tetap sehat. Mudah-mudahan informasi ini dapat memberikan harapan baik kepada masyarakat,” tuturnya.
Hudzaifa juga berharap melalui pemeriksaan sebelum menikah itu, dalam upaya memutus mata rantai penderita thalasemia yang dialami oleh generasi penerus.
Disebutkannya, film pendek yang dibuat oleh para relawan dan penggiat sosial itu akan dilaunching disaat mendekati bulan suci Ramadan mendatang.
“Kita berharap film pendek yang dibuat oleh kita bisa diputar di desa-desa yang ada di Kecamatan Ciparay, yang mencapai 14 desa. Supaya masyarakat bisa memahami dan mengetahui kehidupan warga penderita thalasemia. Selain itu road show ke sekolah-sekolah, supaya masyarakat tahu bahwa penderita thalasemia tidak sekolah itu karena sering keluar masuk rumah sakit untuk transfusi darah,” tuturnya.
Ia berharap pemutaran film itu bisa diterima oleh masyarakat, sebagai mana tujuan dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kondisi sebenarnya yang dialami oleh para penderita thalasemia tersebut.
Hudzaifa juga mengaku prihatin ketika anak-anak penderita thalasemia putus sekolah, karena kondisi kesehatan yang terbatas. “Kita berharap untuk memfasilitasi pendidikan bagi para penderita thalasemia itu ada proses pembelajaran khusus, artinya tidak baku harus sesuai dengan kurikulum. Kita juga berharap tidak ada perlakuan diskriminasi terhadap para penderita thalasemia, khususnya dalam mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depan mereka,” katanya.***