
SOREANG, Balebandung.com – Tembang Sunda Cianjuran tetap menggeliat di tengah hiruk pikuk terpaan globalisasi budaya. Dalam Pasanggiri tembang Sunda Cianjuran dan “Talawungan Béntang Tembang Cianjuran” yang digelar di Gedung Budaya Sabilulungan Soreang, asa untuk bangkit dan kembali menjadi tuan di negeri sendiri itu mencuat.
Salah seorang seniman tembang Sunda Cianjuran, Rina Oesman, yang hadir sebagai juri di perhelatan bergengsi yang digelar oleh Daya Mahasiswa Sunda (Damas) itu antusias menceritakan, betapa seni Tembang Sunda Cianjuran ini memiliki kedudukan terhormat. Bahkan, melebihi tingkatan musik klasik seperti seriosa di Eropa.
“Seni tembang Sunda Cianjuran sangat bergengsi, karena memang diperlukan keahlian. Bayangkan saja jika dalam olah vocal biasa, power seseorang itu ada di kaki. Sedangkan penembang Cianjuran itu harus bisa mengolah suara dengan penekanan power pada perut dan sambil duduk. Ini sangat sulit dilakukan. Dan karena saya ini penembang Cianjuran, bisa dikatakan tingkatannya setara dengan musik klasik di Eropa seperti seriosa dan lainnya,” kata Rina di Gedung Budaya Sabilulungan Soreang, Selasa (10/10/16).
Rina menuturkan, saat ini pelaku seni tembang Cianjuran yang ada di Jawa Barat memang masih ada. Namun harus diakui jumlahnya terus menurun. Adapun regenerasi dalam seni tembang ini lebih banyak dilakukan oleh institusi pendidikan yang memang mengajarkan seni budaya Sunda, seperti di ISBI, UPI, SMKI dan beberapa tempat lainnya. Selain itu, ada juga regenerasi yang terjadi secara turun temurun, misalnya orang tuanya pelaku seni tembang Cianjuran, anak-anak mereka juga tertarik untuk mempelajarinya.
“Tembang Sunda Cianjuran itu untuk pasamoan (perjamuan) bukan musik konser atau pagelaran yang hinggar bingar penonton. Ini sangat unik. Bahkan saat mendengarkan tembang orang yang hadir di ruangan itu tidak boleh berbicara, tapi harus diam menyimak isi dari tembang itu sendiri. Makanya, kalau sedang ada mamaos atau pertunjukan tembang Cianjuran itu tidak boleh ada orang keluar masuk ruangan,”ungkapnya.
Dalam perjalanannya, lanjut Rina, kondisi saat ini memang sedikit memprihatinkan. Karena, sudah semakin langka orang yang menanggap kesenian asli Sunda ini. Kalaupun ada, cuma mengisi acara-acara hajatan sebagai pengantar para tamu makan. Padahal sejatinya, tembang Cianjuran ini adalah seni para menak Sunda, bahkan para menak ini tak jarang terlibat langsung menjadi penembang. Selain mulai jarang yang menanggap, minat masyarakat Sunda untuk mempelajari seni tembang inipun dirasa semakin menurun. Ini terjadi karena kurangnya pembinaan, serta minimnya fasilitas untuk belajar dan berkesenian.
“Tapi walau begitu kita harus tetap bersyukur, masih ada masyarakat Sunda yang mengapresiasi. Dengan menanggap di berbagai acara itu. Untuk minat masyarakat belajar juga memang kurang yah, banyak yang nanya ke saya pingin belajar, tapi bingung di mana dan siapa yang mengajarkannya,” tutur Rina.
Namun dengan digelarnya Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran XXI Damas tahun 2016 ini, ada harapan bagi Rina dan para pelaku seni Tembang Cianjuran di Jawa Barat. Karena ternyata, antusiasme anak-anak muda untuk mengikuti pasanggiri ini tetap ada. Meski memang dari sisi jumlah peserta terjadi penurunan. Untuk tahun ini hanya diikuti oleh 35 orang peserta. Padahal, pada beberapa tahun sebelumnya, jumlah peserta lebih dari 50 orang.
“Jumlah peserta memang ada penurunan, tapi kami tetap optimis. Penurunan ini mungkin karena beberapa hal. Seperti peserta dari Garut biasanya paling banyak sekarang sedikit, karena sebagian dari mereka ada yang menjadi relawan bencana di sana,” kata dia.
Karena seni Tembang Sunda Cianjuran ini cukup bergensi dengan tingkat kesulitan yang tinggi dan menekankan pada kualitas dari seorang penembangnya, sehingga wajar jika penilaian oleh juri sangat ketat dan selektif. Penilaian oleh juri dilakukan secara objektif dengan mengacu kriteria yang ditetapkan. Para juri tidak mau mempertaruhkan nama besar Paguyuban Damas dalam memberikan penilaian terhadap pesertanya.
“Dalam penilaian Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran itu ada beberapa kriteria. Penilaian suara yakni, bagaimana seorang penembang menggunakan teknik mengolah suaranya, lalu ekspresi penembang dan wirahma-nya. Setiap peserta dia harus membawakan empat tembang pilihan dan dua tembang panambih (tambahan). Kalau katagorinya ada lima wanda,” sebut Rina.
Meski ini jenis musik bergengsi, namun diakui Rina peminat masyarakat Kabupaten Bandung memang sangat kurang. Buktinya, penuhnya penonton di Gedung Budaya Sabilulungan ini, hanya pada saat pembukaan saja. Sedangkan pada babak penyisihan, gedung budaya yang cukup luas ini bisa dikatakan cukup lengang.
“Padahal Kabupaten Bandung itu gudangnya seniman dan budayawan di Jabar. Ini sangat disayangkan. Alangkah baiknya kalau penonton itu dihadirkan dari sekolah-sekolah. Yah, paling tidak para guru keseniannya hadir untuk menyaksikan pasanggiri ini,” tutur Rina yang juga juara Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran Damas tahun 1988 ini.