BALEBANDUNG – Buku Menari di antara Desing Peluru karya Luri Permadi, berisi tentang The Untold Stories Jawara Hantu Maut, pasca peristiwa Bandung Lautan Api. Kisah ini menceritakan gerakan bawah tanah para jawara untuk menghadang pasukan Belanda di sekitaran Bandung.
Siapa sebenarnya Jawara Hantu Maut? Bisa jadi, karena mereka seperti hantu, hanya bayang-bayang, ikhtiar dokumentasinya belum terungkap secara mendetail. Namun, perlu juga diingat, mereka bak hantu, tak terlihat namun adanya tidak diragukan.
Ada sepasukan orang yang bisa membunuh secepat kilat, membantu kemerdekaan dengan silat. Menariknya, para Jawara Hantu Maut itu berlatarkan dari sebuah pondok pesantren. Mereka sengaja dilatih untuk menguasai ilmu silat, dengan kepentingan membasmi penjajah.
Sebelum menulis buku ini, kentara Luri Permadi melakukan riset baik lisan ataupun tulisan. Sebagaimana diceritakan, “Jadi Jawara Hantu maut itu beranggotakan Khazar, Zahra, dan Bangreng? Sedangkan di belakang layar mereka adalah Ajengan Teuku Kara Mustafa, Ustad Jejen dan Kapten Schooder, ya Ki?” tanya Faza sambil mencatat bagian-bagian penting dari keenam tokoh tersebut,” (hlm 61).Percakapan itu terjadi ketika Faza mengunjungi Aki yang diceritakan mengetahui tentang sejarah Jawara Hantu Maut.
“Aksi hebat mereka dilakukan pasca Bandung Lautan Api. Peristiwa itulah yang menjadi latar belakang gerakan bawah tanah mereka, terlebih lagi mereka terinspirasi oleh Mohamad Toha yang dengan aksi heoriknya syahid setelah meledakan bom Belanda di Dayeuhkolot.” (hlm 61).
Pemimpin gerakan itu bernama Khazar Asmarandhana, sang pemimpin laskar santri pelajar. Menariknya, ketika kecil ia berteman dengan Schiffer, seorang gadis berdarah balsteran Jawa-Jerman. Mereka sering kali bermain di tempat-tempat indah di Pangalengan dan Bandung.
Setelah bertahun-tahun berpisah, pecah Perang Dunia II. Pasca kekalahan Jerman di PD II, Schiffer yang bertugas sebagai mata-mata Jerman melarikan diri ke Indonesia, hingga pada saatnya Schiffer bertemu kembali dengan Khazar.
Tidak hanya itu, buku ini mengisahkan juga Pesantren Al-Jihad di daerah Sagala Herang, dipimpin oleh K.H Kara Mustafa dan salah satu murid cerdasnya bernama Euis Zahra Kartadiredja. Di pesantren ini pula, santri tidak hanya belajar ilmu agama, namun mereka wajib belajar pencak silat. Pesantren sengaja mendatangkan jawara-jawara silat.
Namun, konflik terjadi ketika Schiffer—seorang perempuan—yang bertemu Frans, salah satu Komandan Belanda. Sebenarnya, mereka pernah berjumpa pada masa sekolah. Pertemuan kembali terjadi ketika mereka berada di Indonesia.
Melesapkan Sejarah
Membuat cerita atas perjalanan sejarah tidak mudah. Kalau saja tidak pandai meramu, akan terkesan monoton terutama tanpa penyertaan keterangan yang jelas. Sebab kohesi peristiwa penting untuk ditangkap si pembaca, agar isi buku mampu dimaknai. Ini terjadi pada buku ini. Ada kecenderungan kekurangan data dalam meriset faktas sejarah.
Namun, upaya Luri meracik sebuah kisah lampau dengan menggunakan tokoh mahasiswa sejarah bernama Faza patut diapresiasi, meskipun keabsahan kisah ini akan banyak dipertanyakan. Mengingat, fakta, tokoh dan setting sejarah melesap ke dalam alur cerita.
Penting dicatat pula, alur buku ini tidak mudah ditebak, sehingga cerita terkesan sepenggal-sepenggal. Ia dengan sadar, memasukan ungkapan-ungkapan masa kini untuk dialog tokoh. Tentu saja, upaya itu sangat bagus agar bahasa lampau harus tetap masuk kepada pembaca masa kini.
Kemudian, ia membuat mengumpulkan sejumlah data untuk dilesapkan dalam cerita. Sayangnya, ia tidak melengkapi catatan kaki dalam fakta sejarah, hanya menyebut unsur-unsur peristiwa saja. Jadi, Jawara Hantu Maut dan kisah pesantren dan cinta antara Khazar dan Schiffer terkesan susah ditangkap oleh pembaca. by Pungkit W