DAYEUHKOLOT, Balebandung.com – KH Amilin Abdul Jabbar atau Mama Iming lahir tahun 1896 di Kampung Cimencek Desa Cintarakyat Kecamatan Samarang Kabupaten Garut. Putra ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan H. Sarbini dan Hj. Imoh.
Dayat Asmara Hadi, juru kunci makam Mama Iming menuruturkan, pada usia 7 tahun (tahun 1903), Amilin masuk ke Sekolah Rakyat Subsidi, di Samarang Garut selama 6 tahun, dan lulus pada tahun 1909. Selanjutnya pada tahun itu juga mulai belajar mengaji Al-Qur’an (masuk pesantren) kepada Ajengan Roji di Kampung Tanjungsinguru Garut. Pada tahun 1915, Iming melanjutkan pendidikan kepesantrenan pada Ajengan Imam Podjan di Garut.
Setelah menimba ilmu keagamaan, maka pada tahun 1921 ia mulai mengajar ngaji kepada anak-anak di Kampung Pangsor Desa Sukarasa Kecamatan Samarang Garut.
Pada tahun 1928, Amilin pergi menunaikan ibadah haji. Di Mekah, ia pun sempat memperdalam ilmu tauhid kepada Syekh Fathoni dan mendapat gelar Haji Abdul Jabbar, yang berarti “Hamba Allah yang Gagah Perkasa,” sebelum akhirnya ia pulang ke Garut.
Pada tahun 1945, Mama Amilin Abdul Jabar beserta pengikutnya kurang lebih 3.000 orang, berhijrah menuju ke Kota Bandung, untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Mereka bermarkas antara lain di Jalan Kepatihan, Jalan Tikukur (Jalan HB), Jalan Kebonmanggu, Jalan Lengkong Besar.
Mama Amilin bersama pasukannya memakai tanda gelang berwarna merah di pergelangan tangan saat hendak bertempur melawan Belanda, sehingga rombongan KH. Mama Amilin Abdul Jabar dinamakan “Pasukan Gelang Merah”. Adapun sasaran serbu pertama yaitu Hotel Homan yang jadi markas besarnya tentara Belanda.
Dalam menghadapi Belanda, Pasukan Gelang Merah tidak menggunakan senjata alias hanya menggunakan tangan kosong. Walaupun santrinya banyak berguguran menghadapi Belanda yang bersenjata lengkap, tapi Mama Amilin dan pengikutnya atau pala putra tetap berhasil memenangkan perang melawan Belanda.
Mama Amilin kerap memanggil para santri dan pengikutnya dengan panggilan “Pala Putra”. Karena hanya menggunakan tangan kosong menghadapi Belanda, tangan pala putra banyak berlumuran darah, sehingga mereka juga dikenal dengan julukan “Si Tangan Merah”.
Mama Amilin bersama seluruh pasukan Gelang Merah mundur teratur. Pasukan tersebut dibagi menjadi dua markas di Ujungberung dan Majalaya, semuanya mundur secara teratur pindah ke Garut, kemudian bermarkas di Kampung Sanding Desa Sukarasa Kec Samarang Kab Garut.
Pada tahun 1946, ada perintah harus pergi ke Jogja dan sebagian pasukan dipimpin oleh Suripno, serta sebagian lagi menjelma menjadi Laskar Rakyat.
Setelah pasukan itu tercerai-berai, maka pada tahun 1950 KH Amilin bersama pala putra pergi ke Jakarta. Tapi itupun tidak lama, karena Mama Amilin harus kembali ke Garut yang sedang genting. Saat itu di sekitar Garut timbul berbagai kekacauan yang ditimbulkan para gerombolan DI/TII. Pembunuhan dan pembakaran merajalela. Rumah pala putra Mama Amilin pun habis dibakar.
Akibat kekacauan itu, tahun 1952 pala putra Mama Amilin bersama keluarga seluruhnya pindah ke Desa Lengkong Besar Kota Bandung. Sejak tinggal di Kota Bandung, pasukan KH. Amilin Abdul Jabar membentuk Usaha Korban Perjuangan Republik Indonesia (UKPRI). KH Amilin dan Persatuan Rakyat Desa (PRD), ia sendiri jadi ketuanya.
Mama Iming wafat pada usia 66 tahun di kediamannya, Jl Ancol Timur 3 No 20 Kota Bandung tanggal 22 September 1962 atau 21 Maulud 1383 Hijriah, meninggalkan 10 istri dan 23 anak. Oleh para pengikutnya di Bandung dan Garut, ia dipanggil gelar Mama Amilin atau Mama Iming ata Mama Abdul Jabar.
Atas wasiatnya ia dimakamkan di Kp. Bojong Asih Gg. Budi Asih, Desa/Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Makamnya berada di samping Lapang Sepak Bola Markas Yon Zipur Armed Dayeuhkolot. Di pemakamannya berdiri Mushola Baitul Jabar.***