BALEBANDUNG – Salah satu legenda pasukan yang terkenal di Divisi Siliwangi (kemudian menjadi Kodam Siliwangi), yaitu Batalion A3W. Lazimnya batalion pada saat itu melekat pada nama komandannya. Batalion A3W atau AW3, identik dengan AW alias Achmad Wiranatakusumah.
A3W sebenarnya kode radio, “Ajax en dree Williem”. Batalion ini juga mempunyai nama lapangan “Siluman Merah”. Sebuah nama yang terdengar seram, tapi itulah pilihan yang lumrah pada era revolusi.
Di antara prestasi pasukan ini adalah “menyelamatkan” masa depan Pondok Pesantren Tremas, ketika mereka membebaskan Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, dari cengkeraman pasukan kelompok kiri, pascaproklamasi “Republik Sovyet Indonesia” di Madiun (18/9/1948). Kedudukan Tremas sangat dihormati di kalangan pesantren. Kini nama Pesantren Tremas semakin populer setelah disebut sebagai tempat kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Setelah menerima perintah pembebasan Madiun, Batalion A3W pun bergerak dengan rute Yogyakarta-Solo-Tawangmangu-Sarangan-GorangGareng-Ponorogo-Pacitan. Rute tersebut sesuai dengan arah gerakan pasukan PKI.
Saat di Ponorogo, Achmad menerima informasi bahwa pasukan inti PKI berkekuatan satu brigade sudah bergerak ke Pacitan. Ia lalu memerintahkan pengejaran dengan metode “blitzkrieg”. Musuh dikejar terus tanpa berhenti secara maraton. Selama tiga hari tiga malam Yon A3W terus berjalan diselingi sembilan kali pertempuran sengit. Jarak sepanjang 60 kilometer yang berliku-terjal mereka lalui dengan spartan.
Yon A3W beruntung memiliki perwira-perwira tangguh seperti Poniman, Maman Darmawan, Seno, Salwi, Muhammad Marcel, Obrien, Pandris Adiredja, Luki Anwar, Enoch Kengkong, Idrus. Juga komandan regu yang berani mati seperti Aben Benyamin dan Sirod.
Tiba di Pacitan menjelang sore (15/10/’48), regu Sirod berhasil membebaskan ratusan tahanan dari penjara Pacitan, yang hampir saja dieksekusi oleh pasukan PKI. Dengan melompati tembok yang cukup tinggi, Sirod melumpuhkan penjaga penjara. Ratusan tahanan kemudian berhamburan keluar seraya berteriak, “Hidup Siliwangi! Hidup Siliwangi!”
Selama 20 hari Yon A3W menjaga Pacitan, lalu menyerahkannya kepada pasukan lain. Mereka harus bergerak kembali ke markas pangkalan di Pabrik Gula di Colomadu, Solo, Mereka menjadi Pasukan Siliwangi terakhir yang kembali ke Jawa Barat.
Di antara tawanan yang dibebaskan itu, terdapat sesepuh dan kiai-kiai muda pesantren Tremas, yaitu Kiai Abdur Rozak, Habib Dimyati, Haris Dimyati, dan Hasyim Ihsan. Abdur Rozak adalah tokoh tarekat yang dihormati di kalangan pesantren. Trio Habib-Haris-Hasyim adalah penerus pesantren Tremas hingga mampu bertahan dan terus berkembang.
Sebelum peristiwa pembebasan itu, Pesantren Tremas baru saja kehilangan pengasuhnya yang paling dikagumi, yaitu Kiai Hamid Dimyati. Pada era Hamid inilah Tremas mengalami era keemasan, banyak di antara santrinya yang menjadi ulama di tingkat nasional, seperti Ali Maksum (Rais Syuriyah PBNU) dan Mukti Ali (Menteri Agama).
Hamid memimpin pesantren dalam periode 1934-48. Ia generasi keempat di pesantren yang didirikan pada 1830 oleh Kiai Abdul Manan itu. Pada masa kepemimpinannya Tremas dianggap pesantren yang maju, karena ia sudah menerapkan manajerial yang baik. Untuk menunjang keilmuan santri, didirikan perpustakaan yang saat itu terbilang paling lengkap di Jawa Timur. Tak ketinggalan ia berlangganan sejumlah media massa lokal (Penyebar Semangat dari Surabaya) dan internasional (Anshor dan Al-Fata dari Mesir).
Pada masa pendudukan Jepang, ia menjadi anggota Shuu Sangi Kai (Dewan Penasehat Daerah) di Madiun dan anggota Badan Penasehat Gerakan Pencak Silat seluruh Jawa dan Madura. Setelah proklamasi kemerdekaan ia menjadi Kepala Penghulu Pacitan, aktif di Partai Masyumi, dan tercatat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat.
Setelah meletus Madiun Affair, kondisi masyarakat Pacitan sangat terjepit. Para santri hampir semuanya dipulangkan ke tempat asal masing-masing. Sebagai tokoh Pacitan, Hamid berusaha mencari kontak ke ibukota negara di Yogyakarta, untuk meminta bantuan pengamanan. Bersama 14 pengawalnya, ia coba menuju Yogyakarta dengan menyamar.
Namun tiba di Pracimantoro, ia bersama pengiringnya ditangkap pasukan PKI lalu dipenjara di Baturetno, dan tak lama berselang dieksekusi di Tirtomoyo. Hanya satu orang pengawalnya yang berhasil lolos dari peristiwa itu.
Hamid dan 13 pengawalnya dikuburkan dalam satu lubang. Peristiwa inilah yang sulit dimungkiri oleh para pelaku Madiun Affair, bahwa eksekusi terhadap kiai pesantren memang benar-benar terjadi. Dan kekejaman itu menimpa pengasuh pondok Tremas yang sangat dihormati di kalangan pesantren.
Sejak kejadian itu Pesantren Tremas pun vakum. Baru pada awal 1950-an, tiga serangkai Habib-Haris-Hasyim, membangun lagi puing-puing pesantren hingga berkembang kembali. Saat ini ketiganya telah wafat. Kepemimpinan Tremas dilanjutkan oleh putra-putri mereka. Berkat fondasi kokoh yang dibangun tiga serangkai itulah, ribuan santri dari seluruh Nusantara terus berdatangan untuk belajar agama.
Tak berlebihan jika Batalion A3W dianggap telah “menyelamatkan” masa depan Pesantren Tremas. Karena kecepatan gerak merekalah tiga kiai muda itu berhasil diselamatkan. Keluarga besar Pesantren Tremas pasti tidak akan pernah melupakan jasa mereka.*** by Iip D. Yahya, 29 Mei 2018.
Mengingat Kostrad, Mengenang Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah (2)
Mengingat Kostrad, Mengenang Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah