BANDUNG – Anggota DPR RI, Popong Otje Djundjunan menemui Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dalam rangka memperingati Hari Dewi Sartika yang jatuh pada 4 Desember lalu.
Dengan memakai kebaya biru, ia menceritakan sepak terjang Pahlawan Nasional asal Jawa Barat itu kepada Ridwan Kamil di Pendopo Kota Bandung, Selasa (6/12/16).
Ceu Popong menuturkan bahwa Ibu Dewi Sartika telah melakukan hal besar di masa lampau. Di usia 18 tahun ia sudah mendirikan sekolah untuk perempuan dari hasil menjual semua perhiasannya.
“Jadi ada satu ungkapan yang berbunyi, setiap orang ada waktunya setiap waktu ada orangnya,” ujar Ceu Popong.
Ungkapan tersebut berarti bahwa setiap orang harus memanfaatkan waktu sesuai dengan kapasitasnya. Ia mengatakan, untuk memperingati perjuangan Ibu Dewi Sartika, kita hanya perlu menjadi yang terbaik sesuai dengan siapa kita.
“Kalau wartawan, jadilah wartawan yang baik. Kalau menjadi anggota DPR seperti Ceu Popong, jadilah anggota DPR yang baik,” jelasnya. “Demikian pula menjadi walikota”, imbuh Ceu Popong.
Kepada Emil, sapaan akrab Wali Kota Bandung, Ceu Popong memberikan masukan dan nasehat agar senantiasa menjadi walikota yang amanah dan dicintai warganya. Bagi Ceu Popong, dalam urusan apapun yang terpenting adalah kemampuan untuk mengelola emosi.
“Kalau kita tidak mampu mengendalikan emosi, tidak ada bedanya dengan yang tidak berpendidikan. Karena kalau orang sudah tidak terkendali emosinya, otaknya tidak akan jalan. Makanya nomor satu adalah pengendalian emosi. Dalam keadaan apapun, menghadapi siapapun, sebagai apapun,” pesan Ceu Popong.
Selain itu, Ceu Popong juga menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus memberi teladan yang baik bagi warganya. Seorang pemimpin menurutnya harus menyayangi rakyatnya.
Hal ini ditanggapi positif oleh Ridwan Kamil. Sebagai pemimpin, ia sadar bahwa ia harus menjaga perilaku dan ucapannya. “Pemimpin itu keteladanan. Tindak-tanduknya jadi cerminan, maka ucapan dan perilakunya harus terjaga. Sehingga pelajaran hari, ini saya harus pandai-pandai mengatur kalimat, yang penting diucapkan dan yang tidak perlu diucapkan,” ungkap Emil.
Ia berkaca pada beberapa peristiwa yang berkaitan dengan para pemimpin daerah di Indonesia. Kemampuan mengendalikan emosi yang diajarkan Ceu Popong dan kemampuan memahami kondisi masyarakat yang multikultural menjadi bekal untuknya.
“Semua yang diucapkan, walau ada niat atau tidak ada niat, pasti ada tafsir dalam setiap ucapan dan tindakan seorang pemimpin. Betul-betul harus arif bijaksana, apalagi di Indonesia yang multikultural,” urainya.